Loading

Memperkokoh Persatuan Nasional


Agil Nanggala, S.Pd.
4 Tahun lalu, Dibaca : 680 kali


Oleh Agil Nanggala

(Mahasiswa S2 PKn UPI)

           

Dinamika pesta Pemilihan Umum 2019 cukup berhasil kita lewati, walau pun menguras banyak energi. Sikap visioner perlu kita terapkan, sebagai konsekuensi bangsa yang modern, dengan melihat tantangan global ke depan, jangan terus terjebak pada dendam politik lama. Mental bangsa akan hancur apabila terjebak pada konflik tidak produktif. Masih banyak permasalahan bangsa yang menjadi perhatian serta perlu untuk dibenahi, mulai dari ketidakadilan hukum, kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan yang lainnya. Sebagai upaya dalam mewujudkan negeri Indonesia yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.

Berikrar untuk Hidup Rukun

Pemilu merupakan pisau bermata dua, apabila sebagai bangsa kita tidak memiliki pemahaman yang memadai dalam menanggapi dinamika pemilu, yang semakin jauh dari ranah esensialnya. Idealnya pemilu menjadi wahana dalam menyampaikan serta beradu gagasan dan program kerja, sehingga menjadi landasan masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.

Faktanya masyarakat terjebak pada fenomena saling caci, padahal mereka merupakan saudara sebangsa dan setanah air. Ditakutkan apabila fenomena tersebut dibiarkan, akan menjadi kebiasaan dan menghancurkan mental bangsa. Merupakan rahasia umum, sebagai bangsa multikultural, Indonesia cukup efektif untuk dipecah dengan menggunakan isu sara.

Terbesit dalam ingatan kita, ketika Presiden Soekarno pertama kali berkuasa, Indonesia cenderung terjebak pada konflik ideologi, yang berakibat pada maraknya pemberontakan di berbagai daerah, seperti pemberontakan DI/TII, Permesta dan yang lainnya. Tentu kita tidak berharap bangsa ini kembali dihadapkan pada konflik yang berakibat pada jatuhnya korban jiwa, karena termaktub jelas pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa bangsa ini memiliki tujuan filosofis sebagai pelindung bagi rakyatnya.

Pasal 1 Ayat 3 menegaskan Indonesia sebagai negara hukum, tentu memiliki mekanisme untuk mengakomodir ketidakpuasan masyarakatnya dalam menganggapi kebijakan pemerintah yang diklaim tidak adil. Mengakomodir ketidakpuasan tersebut, bisa melalui mekanisme lembaga pengadilan, dan lembaga lainnya yang diberi wewenang oleh undang-undang.

Mekanisme tersebut merupakan konsekuensi logis Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, karena hukum tanpa demokrasi akan elitis dan diskriminatif, demokrasi tanpa hukum akan anarkis. Sehingga penting kedua unsur tersebut diterapkan dengan penuh komitmen, dalam sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai ikhtiar dalam mempercepat terwujudnya tujuan diberdirikannya negara Indonesia.

Konflik tidak produktif yang terjadi pada pemilu 2019, mengakibatkan hilangnya karakter bangsa ini, yang direpresentasikan melalui nilai-nilai luhur Pancasila, mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah berhikmat, sampai pada nilai keadilan sosial. Perlu menjadi kontemplasi bersama, apakah fenomena saling menghardik tersebut, menjadi peluang dalam menumbuhkan perilaku individualistik dan sekuler dalam kehidupan bangsa ini.

Kiranya problematika tersebut perlu dikaji dan diberi solusi secara komprehensif, negara ini tumbuh atas usaha sadar bersama, tanpa memandang golongan, karena perbedaan merupakan anugerah Tuhan, yang perlu kita sikapi secara arif dan bijaksana. Soliditas dan solidaritas bangsa yang mulai luntur akibat klaim politik pada pesta pemilu. Mulai dari klaim paling nasionalis sampai klaim paling agamis.

Fenomena tersebut menegaskan terjadinya kemunduran berpikir (regres) dalam masyarakat kita. Konflik berdasar pada klaim tersebut, jauh telah terjadi pada orde lama, yang berakibat pada timbulnya berbagai pemberontakan, yang pada akhirnya merugikan bangsa itu sendiri. Idealnya seseorang yang telah mengklaim dirinya bagian dari kaum nasionalis atau agamis, memberikan peran nyata dalam terwujudnya kehidupan kebangsaan yang adil, damai dan makmur.

Kaum nasionalis lihatlah, negerimu sedang dilanda konflik horizontal, yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, jangan diam saja, padamkan api pemicu konflik, sosialisasikan kembali nilai-nilai Pancasila. Bukankah negara ini berdiri tegak akibat rakyatnya memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan, dan merdeka akibat memiliki kepentingan yang sama.

Kaum agamis lihatlah, negerimu sedang mengalami fenomena kemunduran akhlak, lalu mulai tumbuh subur sekulerisme, yang mengarah pada atheisme. Sebarkanlah nilai-nilai Ketuhanan, selamatkanlah negaramu dari kehancuran, bukankah negara ini lahir atas berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa.

Menyelamatkan Indonesia perlu usaha kolektivitas yang sistematis, terukur dan terencana, serta perlu memohon ridho, petunjuk, dorongan Tuhan yang Maha Esa, karena Indonesia menganut paham negara Berketuhanan, termaktub jelas pada sila dari Pancasila, dan pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Memperkuat Persatuan dan Kesatuan

Bangsa yang mampu mengatasi berbagai ancaman, baik internal maupun eksternal, adalah bangsa yang memiliki jati diri yang kuat, serta persatuan yang kokoh. Tentu apabila Indonesia ingin bertahan, bahkan menjadi pemenang dalam seingitnya persaingan dunia internasional, harus memiliki jati diri dan  persatuan bangsa yang kokoh.

Dimulai dengan saling menurunkan ego sektoral, dan menjunjung tinggi kepentingan umum, seperti menempatkan persatuan dan kesatuan di atas segalanya. Perlu sikap kesatria dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai warga negara, atau makhluk politik, agar bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat bahkan berguna bagi pembangunan negara.

Mental manusia Indonesia yang Pancasilais, merupakan jawaban konkret atas problematika mengenai karakter bangsa saat ini. Tentu penanaman karakter tersebut harus dilakukan tersurat melalui program dan kebijakan pemerintah, tersirat melalui keteladanan tokoh masyarakat maupun tokoh bangsa. Mewujudkan kehidupan kebangsaan yang religius dan beradab, merupakan tanggung jawab kita semua, sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai warga negara. 

Masyarakat harus sadar, bahwa Indonesia merupakan negara yang multikultural, sehingga menjadi kewajiban dalam melakukan sikap yang mendukung tegaknya  persatuan dan kesatuan bangsa. Saling mencaci dan mencela tidak memiliki satu pun dampak positif, yang ada hanya melahirkan penyakit mental di masyarakat, serta mewariskan dendam politik pada anak cucu kita.

Sebagai warga negara kita harus berpikir futuristik dan visioner, akan dibawa ke mana bangsa ini, apabila terus berkonflik akibat kontestasi politik yang sementara. Kiranya kita perlu memegang teguh falsafah hidup bangsa, sebagai acuan dalam melaksanakan partisipasi politik, guna meminimalisir terjadinya dampak negatif dari pesta demokrasi, yaitu pemilu.

Bangsa ini memiliki karakteristik unik, yaitu selain percaya pada spirit persatuan sebagai bangsa yang muktikultural, juga percaya pada spirit Ketuhanan sebagai bangsa yang religius. Bahkan ditegaskan secara tersurat, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, maupun Pasal 29 UUD 1945, sebagai upaya memperkokoh landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga bangsa ini selalu selamat saat dihadapkan pada situasi dan konflik apa pun.

Atas rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, maka bangsa ini lahir, maka sudah sepantasnya sebagai generasi penerus bangsa, kita memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Cukup dilakukan melalui perilaku terpuji, sesuai bidangnya masing-masing. Semoga Sang Maha Esa, Allah SWT selalu melindungi dan menyayangi bangsa ini. ***

Tag : No Tag

Berita Terkait