Loading

Reformasi Sebatas Kulit


Yayat Hendayana
4 Tahun lalu, Dibaca : 643 kali


Oleh YAYAT HENDAYANA

 

SEHABIS menyerahkan penghargaan dan anugerah kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berprestasi di tahun 2019, Selasa (14/1) di Jakarta, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan bahwa reformasi birokrasi merupakan salah satu prioritas dalam program nasional pemerintah. Tujuannya membuat kinerja birokrasi pemerintah menjadi lebih baik lagi dalam pelayanan kepada publik dan menopang profesionalisme dan integritas penyeelenggara negara (“Kompas”, 15/1).

Sebuah tujuan yang tentu saja baik. Tetapi rencana reformasi birokrasi itu, terutama tentang pemangkasan eselonisasi menjadi hanya tinggal Eselon I dan II, tak juga terlaksana. Rencana itu tak urung menimbulkan kegelisahan pada tingkat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Menurut Kemenpan RB Tjahjo Kumolo, kelak hanya ada Eselon I dan II, sedangkan eselon di bawahnya ditempatkan pada penugasan fungsional. Namun demikian, Eselon I dan II yang dianggap tidak diperlukan atau tidak relevan bisa juga dipangkas.

Rencana melakukan reformasi birokrasi itu sudah sudah terdengar rencananya sejak Presiden Jokowi membentuk Kabinet Indonesia Maju. Tetapi sampai kini belum juga teralaksana. Rencana itu kadung membuat kegelisahan di lingkungan ASN yang menempati posisi di bawah eselon II. Tjahjo baru pada tahap mengumpulkan para sekretaris jenderal, sekretaris kementrian, dan sekretaris daerah di Jakarta untuk menginformasikan rencana itu. Padahal reformasi birokrasi adalah kunci dari gerakan reformasi di bidang lain yang seharusnya sudah bergulir.

Benar bahwa Reformsi sebagai sebuah gerakan sudah dimulai sejak tahun 1998, yaitu sejak rezim pemerintahan Orde Baru tumbang. Gerakan itu secara membabi buta menghapus semua hal yang dianggap peninggalan Orde Baru. Penghapusan membabi buta itu menyebabkan hal-hal yang baik di masa Orde Baru yang seharusnya dilanjutkan dengan sejumlah perbaikan di sana-sini pada Era Reformasi, tidak dilakukan. Akibatnya, kita seolah-olah menjadi sebuah negara yang baru terbentuk, yang sedang mencari-cari bentuk penyelenggaraan negara yang seharusnya dilaksanakan. Wapres Ma’ruf Amin menyatakan bahwa reformasi yang kita jalankan itu baru sebatas kulit. Artinya sma sekali tidak menyentuh substansi.

Akibatnya, Gerakan Reformasi yang sudah berlangsung 22 tahun itu tidak menghasilkan perbaikan apa-apa. Korupsi misalnya, justru semakin menjadi-jadi.  Lebih dahsyat dari apa yang terjadi dalam rezim pemerintahan yang lalu. Rakyat yang semestinya semakin bersatu dalam upaya meraih Indonesia Emas Tahun 2045, malah justru semakin terkotak-kotak. Intoleransi seakan memperoleh angin. Demikian pula dengan radikalisme dan terorisme. Gerakan Reformasi tak menghasilkan apa-apa, selain kebebasan adu mulut untuk memperdebatkan persoalan omong-kosong.

Tentang reformasi birokrasi yzng teramat sering didengung-dengungkan itu, Wapres berpendapat, “Ada istilah bahwa reformasi ini sudah kita mulai, tetapi baru menyentuh kulit-kulitnya, dan belum menyentuh jantung dan paru-paru, sehingga perlu ada pembedahan-pembedahan terus. Perlu ada motivasi-motivasi sehingga akhirnya birokrasi kita itu memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan dan juga memiliki komitmen terhadap kebangsaan dan kenegaraan kita.”

Begitulah angan-angannya. Kita memang selalu terlambat memulai. Gerakan Reformasi bukan gerakan yang  berusaha untuk “menyelesaikan masalah”. Usaha kita hanya sebatas “memecahkan masalah” dalam arti yang sebenarnya. Sebuah masalah yang dihadapi dipecah-pecah menjadi sekian banyak masalah, tanpa kita upayakan untuk diselesaikan masalah itu dengan solusi yang tepat.***

 

Dr. Yayat Hendayana, S.S., M.Hum

Dosen Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Tag : No Tag

Berita Terkait