Loading

Sengketa Sehabis Pesta


Yayat Hendayana
4 Tahun lalu, Dibaca : 539 kali


TERNYATA, pesta berbuntut sengketa. Pesta demokrasi Pemilu yang berlangsung beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 17 April 2019, masih belum berakhir di bulan Juni sekarang ini. Terbukti, pemilu itu tak layak disebut Pesta Demokrasi. Sebagaimana lazimnya pesta, setiap orang yang terlibat mesti merasa gembira. Tapi di pemilu, hanya yang menang yang gembira, sedangkan yang kalah tetap merana. Masih mending disebut kontestasi, ketimbang pesta. Di dalam kontes, selalu ada pemenang yang pasti gembira, dan ada yang kalah yang pasti merana.

Pemilu 2019 yang lalu, menurut banyak pengamat termasuk pemilu paling rumit di muka bumi. Bagi penyelenggara mungkin tidak, tapi bagi pemilih Pemilu 2019 lalu luar biasa rumit. Bayangkan, ada empat lembar kertas suara berukuran lebih lebar dari meja di bilik suara, serta selembar kertas suara berukuran tidak bisa dibilang kecil. Kertas suara yang tidak bisa dibilang kecil itu kertas suara untuk memilih presiden, sedangkan kertas suara yag erukuran lebih besar dari meja bilik suara adalah kertas suara untuk memilih anggota DPR-RI, anggota DPD-RI, anggota DPRD-Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Memang, di Pemilu 2019 lalu itu, pilpres (pemilihan presiden) dan pileg (pemilihan anggota legislatif) disatukan. Jadi, seorang pemilih dibekali oleh petugas di TPS dengan lima lembar kartu suara.

Terbukti, yang rumit itu bukan cuma pemilih tetapi juga petugas pelaksana pemunguan suara. Kerumitan yang mereka hadapi di saat mesti menghitung suara dan mengisikannya ke beberapa lembar formulir. Kerumitan semacam itulah yang membuat banyak petugas kelelahan, dan berujung kematian. Kerumitan-kerumitan semacam itulah, yaitu kerumitan bagi pemiih dan kerumitan bagi petugas di lapangan, yang tidak diperhitungkan KPU. Wajar bila kemudian KPU (dan pemerintah) didesak untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemilu agar kerumitan Pemilu 2019 tidak bakal terulang lagi di pemilu-pemilu lima tahunan mendatang.

Diusulkan agar dilakukan pemisahan waktu penyelenggaraan antara pemilu tingkat nasional dengan pemilu tingkat daerah. Pilpres dan pileg anggota DPR dan DPD-RI disatukan dalam sekali pemilu, sedangkan pilkada dan pileg tingkat daerah diselenggaran pada waktu yang lain yang jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi, jika hal itu dilakukan, kerumitan tetap saja ada. Perlu dicari alternatif lain dalam penyelenggaraan pemilu itu. Termasuk juga alternatif dalam keseluruhan sistem pemilihan, baik bagi presiden, kepala daerah, maupun anggota legislatif. Sehingga sehabis pemilu tak selalu berbuntut “seengketa sehabis pesta”.

Dalam pilpres selalu saja terjadi sengketa antara pasangan capres-cawaapres yang dinyatakan menang oleh KPU dengan pasangan capres-cawapres yang dinyatakan kalah oleh KPU. Dalam pilpres di Pemiu 2019 lalu, pasangan nomor urut 02 (Prabowo-Sandiaga Uno) mengajukan tutuntan sengketa pemilu ke Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai satu-satunya lembaga pemutus sengketa pemilu. Pasangan nomor urut 02 merasa menang berdasarkan perhitungan internal. Tapi KPU menetapkan pasangan nmor urut 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) sebagai pemenang. Pasangan 02 lantas menuding KPU dan pasangan 01 melakukan kecurangan yang menyebabkan raihan suaranya mengalahkan pasangan 02.

Menurut jadwal MK, sengketa pemilu itu diperkirakan baru akan berakhir pada bulan Juli akhir. Harus ditunggu terlebih dahulu siapa pasangan calon yang dimenangkan MK. Hal itu menyebabkan KPU terlambat untuk mengumumkan secara resmi siapa-siapa yang menjadi anggota legislatif di semua tingkatan. Dari 17 April 2019 ke akhir Juli 2019 tentu saja rentang waktunya cukup panjang. Rentang waktu yang  cukup panjang itu wajar kalau dikategorikan “tidak wajar”.***

 

Dr. Yayat Hendayana

Dosen Program Sarjana

dan Pascasarjana Unpas.   

 

Tag : No Tag

Berita Terkait