Loading

Pembangunan Gedung Disnakertrans Mangkrak, Potret Buruk Pengadaan Barang Jasa Pemdaprov Jawa Barat


Penulis: IthinK/Editor: Mbayak Ginting
4 Tahun lalu, Dibaca : 1610 kali


Foto kiri: Anggota Komisi IV Drs H Daddy Rohanadi, Foto tengah: Pembangunan Gedung Kantor Disnakertrans Tahap II mangkrak. (Foto: Medikom), Foto kanan: Ketua Umum ARM Mujahid Bangun.

BANDUNG, Medikomonline.com Ironis, Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Tahap II pada tahun 2019 lalu berakhir mangkrak.

Dengan mangkarknya pembangunan gedung Disnakertrans Jawa Barat yang dikerjakan kontraktor PT Luxindo Putra Mandiri dengan nilai kontrak Rp 6,5 milyar, secara nyata tidak sesuai dengan tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi dan penyedia.  

Melihat kondisi tersebut, Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat Drs H Daddy Rohanadi menilai, Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Tahap II yang mangkrak sebagai potret buruk pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. “Pasti begitu,” kata Daddy kepada Medikom di Bandung, Jumat (21/2/2020).

“Kalau kondisi ini terus dibiarkan, apa yang akan terjadi? Tidak aneh kalau banyak proyek mangkrak karena pelaksana proyek tak cukup lagi dananya,” kata Daddy yang menyayangkan mangkraknya Pembangunan Gedung Kantor Disnakertrans Jawa Barat tersebut.

Di sisi lain kata Daddy yang berasal dari Daerah Pemilihan Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Indramayu, sebuah perusahaan yang di-blacklist mestinya beberapa tahun tak boleh lagi ikut tender di mana pun. “Bukan hanya nama PT-nya, nama orangnya pun diperlakukan begitu. Dengan demikian akan menjaga segala kemungkinan terburuk,” tegasnya mengomentari sanksi yang harusnya dikenakan kepada kontraktor Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Tahap II yang tidak dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan kontrak.

Daddy yang juga Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat ini menilai, di Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berpotensi muncul masalah ketika penawar terendah menjadi pemenang. “Inilah masalahnya. Perpres menyebutkan bahwa penawar terendah jadi pemenang tender. Itu bisa membuat banting-bantingan harga.  Lantas di mana letaknya kualitas yang diharapkan?” tanya Wakil Ketua DPD Gerindra Jawa Barat ini.

Lagi pula lanjut Daddy, ketika DPRD menyepakati APBD, Badan Anggaran yakin sepenuhnya bahwa plafon anggaran untuk tiap pekerjaan sudah diperhitungkan dengan matang. “Lantas bagaimana dengan kondisi banting harga di penawaran lelang? Pasti buntutnya di penawaran, kualitas,” tegasnya.

Melihat kondisi banting harga penawaran lelang ini, Daddy menyarankan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah cepat direvisi. Kebijakan Perpres adanya di pemerintah pusat, bukan ranah kewenangan DPRD Jawa Barat.

“Semestinya Perpres 16/2018 cepat direvisi. Dampaknya sangat membahayakan semua tingkatan. Kawan-kawan di ULP hanya bisa melaksanakan karena mereka juga tak mungkin melakukan penolakan terhadap Perpres,” tegas Daddy yang selalu tampil kritis sebagai wakil rakyat.

“Saran saya, gunakan nurani. Pikirkan bahwa pembangunan untuk seluruh masyarakat, bukan kepentingan sebagian kecil orang. Perusahaan, termasuk nama pemimpinnya, yang sudah di-blacklist catat baik-baik dan dalam waktu cukup panjang (lima tahun misalnya) tidak boleh lagi ikut tender di mana pun,” ungkapnya mengingatkan para pejabat di Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Disnakertrans Jawa Barat.

“Perhatikan dengan sangat-sangat dan sekali lagi sangat amat serius setiap SPH (surat penawaran harga) yang nilainya tidak logis. Saya yakin ULP sangat mahir dalam hal ini. Sekali lagi tolong gunakan nurani,” tegas Daddy mengingatkan kepada yang terkait pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

 

Sanksi ke Kontraktor Tidak Jelas

Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengamanatkan bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bertujuan untuk menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi dan penyedia dengan menerapkan prinsip-prinsip efisien; efektif; transparan; terbuka; bersaing; adil dan akuntabel.

Namun Ketua Umum Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) Mujahid Bangun menilai tujuan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diamanatkan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tidak tercapai dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah Provinsi (Pemdaprov) Jawa Barat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat. “Salah satunya dalam proyek Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II tahun 2019,” kata Mujahid kepada Medikom di Bandung, Kamis (20/2/2020).

Sebagaimana diketahui dalam hasil lelang tahun 2019 pada LPSE Jawa Barat, proyek Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II dimenangkan oleh PT Luxindo Putra Mandiri dengan nilai kontrak Rp 6,5 milyar.

Masih pada tahun 2019, PT Luxindo Putra Mandiri juga memenangkan dua paket proyek lagi, yaitu: Pekerjaan Revitalisasi Taman Depan dan Taman Belakang Gedung Sate pada Biro Umum,  dengan nilai kontrak Rp 14,9 milyar dan Renovasi Gedung Creative Centre Kota Bogor pada Dinas Perumahan Dan Permukiman Jawa Barat, dengan nilai kontrak Rp4,1 milyar.

“Semuanya ada tiga paket yang dimenangkan oleh PT Luxindo Putra Mandiri pada tahun 2019 lalu di lingkungan Pemprov Jawa Barat. Tapi ironisnya, ada satu paket proyek yang dihentikan pengerjaannya sehingga mangkrak sampai sekarang, yaitu Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II,” kata Mujahid yang juga Ketua Satgas Anti Korupsi Forum Ormas Jawa Barat.

Mujahid menguraikan, ada keanehan dalam penghentian pengerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II. “Soalnya, dasar penghentian pekerjaan tersebut oleh pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat tidak jelas sampai sekarang. Apakah penghentian pekerjaan PT Luxindo Putra Mandiri berdasarkan kontrak berhenti karena terjadi keadaan kahar atau pemutusan kontrak?” tanya Mujahid terheran.

Dijelaskannya, berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 52 ayat (1) mengatur tentang Pelaksanaan Kontrak yang di antaranya pada huruf g) mengatur Penghentian Kontrak dan Berakhirnya Kontrak, dan huruf h) mengatur Pemutusan Kontrak.

Sedangkan dalam Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun  2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, dalam Lampirannya pada Bagian VII Pelaksanaan Kontrak juga mengatur pelaksanaan kontrak, yang diantaranya pada huruf p) Penghentian Kontrak atau Berakhirnya Kontrak, dan huruf q) Pemutusan Kontrak.

Lebih lanjut Mujahid menjelaskan, Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun  2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, dalam Lampirannya pada Bagian 7.16.1 Penghentian Kontrak menjelaskan, bahwa kontrak berhenti apabila terjadi dalam keadaan kahar.

Penghentian kontrak karena keadaan kahar dilakukan secara tertulis oleh Pejabat Penandatangan Kontrak dengan disertai alasan penghentian pekerjaan. Penghentian kontrak karena keadaan kahar dapat bersifat sementara hingga keadaan kahar berakhir; atau permanen apabila akibat keadaan kahar tidak memungkinkan dilanjutkan/diselesaikannya pekerjaan.

Dalam hal kontrak dihentikan karena keadaan kahar, maka Pejabat Penandatangan Kontrak wajib membayar kepada penyedia sesuai dengan kemajuan hasil pekerjaan yang telah dicapai setelah dilakukan pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil audit.

Perpres Nomor 16 Tahun 2018 sendiri menjelaskan, Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi.

Masih kata Mujahid yang dikenal sebagai aktivis anti korupsi tersebut, merujuk Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun  2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, dalam Lampirannya pada Bagian 7.17.1 Pemutusan Kontrak oleh Pejabat Penandatangan Kontrak, dijelaskan pada ayat:

huruf e, Penyedia gagal memperbaiki kinerja setelah mendapat Surat Peringatan sebaganyak 3 (tiga) kali.

huruf g, Penyedia lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki

kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

huruf h, berdasarkan penelitiaan Pejabat Penandatangan Kontrak, Penyedia tidak akan mampu  

menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerejaan.

huruf i, setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan,  penyedia barang/jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan.

“Jika merujuk aturan di atas mengenai alasan penghentian kontrak atau pun pemutusan kontrak harusnya dapat dijelaskan oleh pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat terkait karena ada kosekuensi hukumnya Jika pekerjaan dihentikan karena keadaan kahar tentu harus jelas seperti apa keadaan kahar tersebut,” ujar Mujahid.

Sedangkan jika penghentian pekerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II karena pemutusan kontrak, tegas Mujahid lagi, ada konsekuensi hukum berupa sanksi kepada pihak penyedia atau kontraktor PT Luxindo Putra Mandiri.  

“Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia, maka dilakukan:

1)    Jaminan pelaksanaan dicairkan

2)    Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau jaminan uang muka dicarikan

3)    Penyedia dikenai sanksi Daftar Hitam

Apakah pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat telah mencairkan jaminan pelaksanaan, mencarikan jaminan uang muka,  dan mengenakan sanksi Daftar Hitam kepada penyedia PT Luxindo Putra Mandiri selaku pelaksana pekerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II?” tegas Mujahid lagi.

Masih kata Ketua Umum ARM, dalam Peraturan LKPP Nomor 17 Tahun  2018 tentang Sanksi Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Bagian Ketiga Tata Cara Penetapan Sanksi Daftar Hitam, Pasal 8 menjelaskan,  Penetapan Sanksi Daftar Hitam dilakukan melalui tahapan yang meliputi:

a.   pengusulan

b.   pemberitahuan

c.   keberatan

d.   permintaan rekomendasi

e.   pemeriksaan usulan, dan

f.     penetapan

Merujuk pada aturan di atas, Mujahid mengatakan, ARM mendesak Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat segera menjelaskan secara terbuka apakah penghentian Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II disebabkan keadaan kahar atau pemutusan kontrak karena kesalahan penyedia (pemutusan kontrak-red). “Selanjutnya, dijelaskan juga sanksi yang telah diberikan kepada kontraktor,” ujar Mujahid.

Sementara Redaksi Medikom sendiri sejak tanggal 10 Februari 2020 telah meminta penjelasan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat secara tertulis tentang penyebab penghentian pekerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II beserta sanksi yang diberikan kepada kontraktor. Namun sampai saat ini, Jumat (21/02/2020)  tidak ada tanggapan atau penjelasan dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat.

Tag : No Tag

Berita Terkait