Loading

Kami Bangga Pernah Belajar di SD Inpres Ajijulu


Penulis: Mbayak Ginting
4 Tahun lalu, Dibaca : 1988 kali


“Satu kebanggan kepada kami. Ternyata kalian masih mengingat kami guru dan sekolah SD Inpres Ajijulu ini. Siapa lagi yang mengangkat derajat SD Inpres Ajijulu ini, kalau bukan para alumni SD Inpres Ajijulu sendiri. Supaya adik-adik kalian yang dulu sekolah di sini suatu saat bisa berkumpul semua,” kata Guru SD Inpres Ajijulu Murni br Sinuhaji berpesan kepada Simponi Sinuhaji dan Predi Ginting di SD Inpres Ajijulu, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Selasa (16/04/2019) waktu itu.

Kebetulan pada hari itu, Simponi Sinuhaji dan Predi Ginting memang sengaja berkunjung ke SD Inpres Ajijulu untuk meminta data nama-nama siswa yang belajar di SD Inpres Ajijulu pada tahun 1982. Para guru SD Inpres Ajijulu dengan gembira memberikan data nama-nama siswa SD Inpres yang masuk tahun 1982.

Ternyata lebih dari 40 orang siswa angkatan tahun 1982. Siswa angkatan tahun 1982 ini pindah belajar ke SD Inpres Ajijulu pada tahun 1983 ketika sudah naik ke kelas 2. Sebelumnya kami belajar kelas 1 di SD Negeri Ajibuhara, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo.

Sudah 36 tahun berlalu ketika pertama kali menginjakkan kaki di bangku sekolah SD Inpres Ajijulu. Selama 6 tahun menempuh pendidikan sekolah dasar di sekolah yang penuh kenangan ini.

Ketika Simponi Sinuhaji menyampaikan pesan Guru SD Inpres Ajijulu Murni br Sinuhaji dalam sebuah Grup Whastapp Forum Alumni SD Inpres Ajijulu Angkatan 1982, beberapa teman sesama angkatan SD tahun 1982 langsung merespons positif. “Kata guru kita, siapa lagi yang dapat membuat citra SD Inpres baik,” ujar Simpon yang mengaku terharu (megogo) mendengar pesan guru tersebut.

Ternyata pesan guru ini menambah rasa kebersamaan sesama Alumni SD Inpres Ajijulu. Sebagai Alumni SD Inpres Ajijulu Angkatan 1982, kami merespons pesan guru kami Murni br Sinuhaji yang begitu menyentuh hati. Dengan satu rasa dan satu hati kami sampaikan, kami bangga pernah belajar di SD Inpres Ajijulu.

Ketika melihat foto sekolah SD Inpres Ajijulu yang dikirim Simponi ke Grup Whatsapp, Johanis Sinuhaji, yang dulu Ketua Kelas Angkatan 1982 berkata, “Sudah bagus sekali bekas sekolah kita.” Namun ungkapan bagus sekali ini juga sedikit menggelitik karena terlihat ada sederetan bangunan SD Inpres Ajijulu sudah tidak beratap lagi sehingga kurang elok dipandang.

Demikian juga ketika melihat nama-nama teman SD satu angkatan yang sudah hampir terlupakan, Johanis kembali berujar, ”Sudah sangat rindu untuk bertemu kembali.”

Isma br Surbakit menambahkan, ”kebersamaan Alumni SD Inpres Ajijulu berkunjung ke SD Inpres Ajijulu sebagai bentuk penghargaan jasa para guru kita.”

Atas jasa para Guru SD Inpres Ajijulu ini, Karmila br Sitepu juga mengakui, “Karena kesibukan masing-masing, kita kurang menghargai jasa para guru yang sudah mendidik kita. Jadi malu sendiri.”

Demikian sekilas ungkapan para alumni SD Inpres Ajijulu yang selama enam tahun menempuh pendidikan dasar di sekolah tersebut. Kurun waktu enam tahun bukanlah waktu yang sebentar, banyak pengalaman dan kenangan yang indah untuk diingat kembali sebagai pengikat tali silaturahmi (mburo ate tedeh) sesama alumni.

Ketika membuat tulisan ini, dari tanah Parahiyangan Bandung, saya mencoba mengingat kembali masa-masa kecil yang telah 36 tahun berlalu di SD Inpres Ajijulu yang penuh kenangan. Di sekolah ini lah pertama kali kami diajari membaca, menulis dan menghitung atau yang lebih populer dengan istilah Calistung pada zaman kini.

Ketika di kelas 1 dan 2 SD, mungkin sebagian dari kami masih ada yang belum bisa membaca. Maklum, karena pada waktu itu kami tidak ada yang menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak atau pun Pendidikan Anak Usia Dini seperti yang ada saat ini.

Mengutip Khalil Gibran, penulis dari Lebanon-Amerika mengatakan, “Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat serta keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta.”

Tentunya kami pun para Alumni SD Inpres Ajijulu sangat berterima kasih kepada semua guru kami, karena darimu-lah kami memperoleh pengetahuan dan pelajaran sebagai modal kami melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, SMA, dan perguruan tinggi.

Di papan tulis yang lebar berwarna hitam, guru kami waktu itu menuliskan kalimat dengan kapur tulis putih, “Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi.” Dengan sabar para guru kami mengajari kami untuk bisa membaca dan menulis. Kalimat “Ini Ibu Budi, Ini Bapak Budi” kini masih sering terngiang ketika mengingat belajar membaca di SD Inpres Ajijulu tercinta.

Pendidikan karakter untuk hidup jujur, disiplin, bekerja keras, bergotong royong, saling membantu juga ditanamkan oleh guru kami di SD Inpres Ajijulu waktu itu. Saya masih mengingat ketika waktu itu di SD Inpres Ajijulu belum ada air dari Perusahaan Daerah Air Minum, kami pun dengan senang hati membawa air dari rumah masing-masing. Air ini ditampung di bak air toilet. Untuk membersihkan kelas dan sekolah, kami juga sering bergotong royong agar kami bisa belajar dengan aman dan nyaman.

Ketika kami melakukan kesalahan di sekolah, kami juga sering dihukum oleh guru agar kami agar hidup disiplin dan jujur. Tidak jarang kami disuruh berdiri di depan kelas sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Bahkan pukulan sapu lidi juga sudah biasa kami terima untuk menebus kesalahan kami. Tetapi hukuman itu tidak menjadi masalah bagi kami untuk memperbaiki diri.

Sebagaimana dikatakan dalam Kitab Amsal 10:17, “Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan,   tetapi siapa mengabaikan teguran, tersesat.” Demikian juga Kitab Amsal 12:1 mengatakan, ”Siapa mencintai didikan, mencintai pengetahuan; tetapi siapa membenci teguran, adalah dungu.” Justru kini ketika mengingat pernah dihukum oleh guru kami, hanya rasa terima kasihlah yang pantas diucapkan. Belajar dari ganjaran hukuman, ternyata bisa mendidik dan memperbaiki diri lebih baik lagi.   

Bermain di halaman SD Inpres yang luas juga tidak bisa kami lupakan kenangannya. Siswa pria banyak yang bermain kelereng, bahkan permainan ekstrim ertipak pun dilakukan. Siswa perempuan ada yang bermain karet, main lompatan (cengkah-cengkah), dan lainnya. Permainannya berbeda sekali dengan permainan di era zaman digital sekarang yang banyak disuguhi aplikasi game di smartphone.

Jajanan sekolah di SD Inpres Ajijulu pada tahun 80-an tentu sangat berbeda dengan jajanan zaman now. Dulu memakan tebu (ngengus) sudah hal biasa kami lakukan ketika jam istirahat sekolah. Demikian juga memakan jambu kelutuk (galiman). Itulan jajanan alami pada masa itu.

Kini setelah lebih 30 tahun berlalu, telah banyak para alumni SD Inpres Ajijulu melanjutkan pendidikan ke berbagai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Beberapa alumni SD Inpres Ajijulu ada yang melanjutkan pendidikan ke  perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia seperti Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Univeristas Sriwijaya, Universitas Riau, Universitas Negeri Medan, Universitas Sumatera Utara dan lain sebagainya. Bahkan ada juga alumni SD Inpres Ajijulu yang berhasil lulus di Akademi Kepolisian yang saat ini berdinas sebagai perwira menengah di Kepolisian Republik Indonesia. Tidak hanya itu, ada juga alumni lain menempuh pendidikan di sekolah bidang kesehatan dan teologi.  

Mereka kini pun sudah berpencar di berbagai pulau dan provinsi yang ada di Negara Indonesia tercinta ini dengan berbagai profesi. Ada yang menjadi pengusaha angkutan, pengusaha pertanian, pedagang, pegawai swasta, pegawai negeri sipil, polisi, pendeta, dokter, paramedis, guru, dan lain sebagainya. Jarak dan waktu kini pun memisahkan para Alumni SD Inpres Ajijulu satu sama lain.

Tentu ada kerinduan untuk bisa bertemu mburo ate tedeh sesama alumni SD Inpres Ajijulu dengan guru SD Inpres Ajijulu untuk berbagi cerita masa kecil dan pengalaman hidup. Seorang teman kami, Predi Ginting menuliskan puisi kerinduannya dalam Bahasa Karo seperti ini, “Tengah berngi, berngina simelenget.Kutatap kulangit simeganjang,bulan ras bintang lalit ersinalsal. Nambah-nambahi lengetna pusuh si kubaba. Ndauh kal kugargari, engkai maka sempat pusuhku termampa-mampa bage ateku. Berngi ras terang lalap terbaba-baba, piah sampur la erkesehen. Ate metedeh lalap jadi temanku ibas kudalani wari-wariku. Mesikel kal aku jumpa ras kaina, gia kentisik malem kal tedehku. O kam angin sirembus, pesehndu sitik kata tenahku, nandangi ia kerina temanku si enggo ndauh nadingken kuta.”

Puisi yang senada juga disampaikan sahabat kami Masmur Sinuhaji dalam Bahasa Karo. Dia berkata, ”Berngi terang bulan, langitna mangko-angko. Rikutken udan gembura, nuriken ate megogo. Mentas angin silumang, tempa-tempa erdilo-dilo. Oh,,,,pusuhku kepe rate metedeh, metedeh nangdangi teman meriah. Si enggo ibayu paksa danak-danak ndube. Tapi,,,uga ningku ari,,,nahe kujingkang.”    

Saya berulang kali membaca puisi sahabat kami ini, terharu dan juga rindu mengingat kenangan masa lalu. Ketika hanyut dalam perasaan membaca puisi karya sahabat kami ini, tak terasa mata pun berkaca-kaca. Mungkin begitu juga dengan teman-teman saya yang lain.  

Akhir kata saya pun membalas puisi sahabat kami ini dengan sebuah pantun Karo, “Bandung nari lawes ku Pasar Tangerang, ula lupa nukur duku Palembang. Kerna tedeh nggo me lanai teralang, jumpa kita pagi ukurta pe terang.” Mejuah-juah kita kerina.  (Penulis, Mbayak Ginting/Alumni SD Inpres Ajijulu) 

Tag : No Tag

Berita Terkait