Loading

Kuliah Umum Ibu Runi di Bali


Penulis: Yayat Hendayana
4 Tahun lalu, Dibaca : 1677 kali


Ibu Runi Adrian Palar

Laporan: Yayat Hendayana

 

Sehabis melaksanakan tugas pokok, yaitu berdialog dengan para pejabat di lingkungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali  di daerah Renan, rombongan Dewan Kebudayaan Jawa Barat (DKJB) pun menghabiskan hari itu dengan mengunjungi berbagai objek budaya yang sudah tentu tak terhitung jumlahnya di Bali. Salah satunya adalah melihat-lihat rumah tradisional Bali di Ubud. Kadung ke Ubud kami pun mampir ke Runa Museum of Jewelry and Design. Runa itu akronim dari Runi dan Adrian Palar, sang suami. Ya, siapa tak kenal Runi Palar, pembuat perhiasan  dari perak, yang sebelum hijrah ke Bali amat terkenal di Bandung.

Kebetulan, di dalam rombongan DKJB ada Miranda Risang Ayu Palar, SH. LLM, Ph.D putri dari pasangan pemilik museum perhiasan tersebut.

            Berlokasi di banjar Adiansemal, Ubud, museum perhiasan dan desain Runa, terletak di samping rumah yang telah dihuni keluarga Runi Palar puluhan tahun lamanya. Saya sempat berkeliling di musium, sementara teman-teman lain beristirahat seraya minum kopi di sekitar kolam renang di belakang rumah. Kami diundang pula memasuki rumah tinggal keluarga kecil, yang luas dan asri itu. Kami lesehan di sembarang tempat. Bebas sebebas-bebasnya. Nyonya rumah yang ramah, membuat kami serasa di rumah sendiri. Tuan rumah, sedang keluar rumah untuk sebuah keperluan.

            Dari percakapan yang semula tidak formal, perbincangan mulai mengerucut, topiknya pun kian mengarah ke persoalan upaya mengakrabkan dua kebudayaan, antara budaya yang dimiliki pribumi dengan budaya yang dibawa pendatang. Dari penuturan Bu Runi, dalam hal kebudayaan, pendatang mesti mengalah kepada pribumi. Mengalah, dalam arti: pendatang dengan budayanya, harus selalu berusaha menyesuaikan diri dengan budaya pribumi. Dengan begitu,  mnurut Bu Runi, keakraban budaya dengan sendirinya akan terbangun. “Ketika saya mulai pindah ke sini, saya memperoleh bantuan luar biasa dari masyarakat di sini,” kata Bu Runi. “Kunci utamanya terletak pada sikap kita sendiri. Hindarkan sikap jumawa, lalu menoba larut ke dalam kebiasaaan pribumi. Budaya Bali adalah budaya yang luar biasa tinggi. Tentu tak rugi buat kita untuk menyesuaikan diri dengan budaya yang tinggi itu,” lanjut Bu Runi. Pembicaraan perkara kebudayaan pun kian menghangat. Kami memrasa memperoleh bayak pencerahan tentang budaya Bali dalampraktik sehari-hari.

            Puluhan tahun pasangan Runi Palar tinggal di Bali, setelah malang-melintang di Bandung, berkiprah dalam urusan perhiasan perak. Memilih pindah ke Bali btentu didasari oleh pertimbangan tersendiri. Bali kota turis, wisnu dan wisman. Bali tempat wisatawan mancanegara membunuh waktu dan membuang uang. Juga mencari kepuasan batin, lewat aneka keindahan melalui rekayasa kebudayaan, baik budaya benda maupun takbenda. Bagi Runi Palar, Bali adalah pilihan yang sangat tepat. Orang-orang asing yang datang itu sungguh sangat menghargai keindahan, serta sangat menghargai orang yang berhasil menciptakan keindahanitu. Runi Palar dihargai rang asing karena keahliannya membuat perhiasan perak yang tentu saja harus didesain terlebih dahulu. Pembuatan rancangan itulah yang dihargai orang asing. Karena keahliannya membuat rancangan perhiasan, Runi Palar sering diundang ke luar negeri. Ketika kami berkunjung pun, Ibu Runi sedang bersiap-siap berangkat ke mancanegara. Itulah sebabnya Runi dengan percaya diri memasang label Runa Museum of Jewelry and Design.

            Orang Bali ternyata memiliki kesetiaan tinggi. Kesetiaan itulah salah satu aspek budaya yang menjadi penciri Bali. Pegawai di museum Runa adalah orang Bali yang bekerja sejak gadis dan kini telah berputra, hasil perkawinannya dengan seorang lelaki Bali. Sebuah contoh kesetiaan, yang membuat Runi Palar merasa leluasa untuk bepergian ke luar negeri, seberapa hari pun ia mau. Di Bali, Runi dan Adrian Palar sudah merasa di tanah kelahirannya sendiri. Padahal Runi berlatarbelakang budaya Yogya, sedang Adrian berdarah Manado. Di Bali,  dengan sadar mereka menerapkan peribahasa Sunda Ciri Sabumi Cara Sadesa, yang artinya “masing-masing daerah meiliki ciri dan cara (budaya) tersendiri, Peribaha itu sama artinya dengan peribahasa di mana bumi dipijak, di sana langit dinjunjung.

Di saat kami berpamitan, karena hari hampir senja, Adrian Palar baru saja pulang. Sayang, kami tak sempat berbincang. Kami pun hanya sempat bersalaman.***

 

 

Dr. Yayat Hendayana, M.Hum

Pengajar pada program sarjana

dan pascasarjana Unpas.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tag : No Tag

Berita Terkait