Penulis: Muhammad Hanif
2 Hari lalu, Dibaca : 122 kali
Oleh Muhammad Hanif
(Ketua Bidang
Penelitian dan Kebijakan Strategis)
Langkah-langkah
kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, makin menimbulkan pertanyaan
publik. Dua isu menonjol—kerja sama dengan institusi militer untuk mendidik
remaja dan promosi program vasektomi massal—bukan hanya menuai kritik etik,
tapi juga diduga bertabrakan dengan prinsip hukum, hak asasi manusia dan agama.
Barak Militer:
Tempat Pembinaan atau Komersialisasi?
Dedi Mulyadi
secara aktif mempromosikan ide agar para pelajar bermasalah “dibina” di barak
militer, seolah-olah lembaga militer adalah tempat suci yang mampu menyucikan
moral generasi muda. Narasi ini menyesatkan. Barak militer bukanlah tempat
reformasi sosial, dan TNI bukan solusi tunggal atas problem pendidikan.
Kerja sama yang
intens antara Dedi dan institusi militer menimbulkan kecurigaan. Apakah ini
bentuk kemitraan strategis atau hanya proyek yang sarat nilai anggaran? Komnas
HAM sendiri pernah menolak pendekatan militeristik terhadap anak dan remaja.
Menurut Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Pendidikan dengan pendekatan kekerasan fisik dan mental bukan
solusi, tapi bentuk pelanggaran hak anak.
Vasektomi Massal:
Pemiskinan Reproduksi dan Pelanggaran HAM
Lebih
mengkhawatirkan lagi, Dedi Mulyadi mendukung program vasektomi terhadap
masyarakat kurang mampu dengan iming-iming bantuan ekonomi. Kebijakan ini tidak
hanya merendahkan harkat kemanusiaan, tapi juga bisa dikategorikan sebagai
pelanggaran hak hidup dan hak atas tubuh sendiri.
Dari perspektif
agama, Fatwa MUI No. 26 Tahun 2014 dengan tegas menyatakan bahwa vasektomi dan
tubektomi hukumnya haram, kecuali dalam kondisi darurat medis atas dasar
pertimbangan tenaga kesehatan terpercaya.
Melakukan
sterilisasi atas dasar kemiskinan atau tekanan kebijakan jelas tidak memenuhi
unsur kedaruratan.
Dalam aspek hukum
nasional, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (1)
menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.” Kebijakan vasektomi yang mengkondisikan
sterilitas sebagai syarat bantuan dapat ditafsirkan sebagai bentuk pemaksaan
dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar HAM.
Politik Sensasi
dan Gimik Populis
Jika dicermati,
gaya politik Dedi Mulyadi kini berbaur antara populisme murahan dan gimik media
sosial. Ia tampak mewarisi gaya Mulyono yang gemar menyusuri gorong-gorong,
teknik viralisasi ala Ridwan Kamil, dan janji bombastis khas Prabowo yang minim
realisasi.
Jawa Barat butuh
pemimpin yang berpihak pada keadilan struktural, bukan sekadar pengais simpati
melalui konten dramatis dan kebijakan instan. Membungkus pelanggaran hak asasi
dalam narasi “demi rakyat” adalah bentuk manipulasi publik yang harus dikritisi.
Kesimpulan
Pemimpin yang
ideal bukan hanya harus populer, tetapi juga berpijak pada nilai hukum,
kemanusiaan, dan agama. Kebijakan barak militer dan vasektomi massal yang
didorong Dedi Mulyadi justru menunjukkan arah kepemimpinan yang problematis.
Masyarakat Jawa Barat patut berpikir ulang sebelum menyerahkan masa depan
provinsi ini pada figur yang lebih mengandalkan gimmick ketimbang prinsip.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer