Loading

PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISATA TERHADAP WISATAWAN


Idris Apandi
3 Tahun lalu, Dibaca : 4458 kali

Oleh IDRIS APANDI

(Pemerhati Masalah Sosial)

 

Kasus harga dagangan yang tinggi atau di luar batas kewajaran (nekuk harga) di beberapa tempat wisata menjadi viral di media sosial (medsos). Hal tersebut menjadi perhatian juga bagi pemerintah setempat dan pedagang-pedagang di lokasi yang sama. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena kelakuan 1-2 oknum pedagang, maka citra semua pedagang di wilayah tersebut menjadi rusak. Para wisatawan tidak mau lagi datang ke tempat tersebut, tidak mau jajan atau belanja lagi karena takut ditekuk harganya. Dampaknya, tempat wisata sepi, warung pedagang sepi, dagangan tidak laku, dan akhirnya banyak pedagang yang gulung tikar alias bangkrut.

Hal tersebut tentunya membuat khawatir pedagang dan pemerintah daerah setempat karena pastinya akan berdampak terhadap aspek ekonomi. Dunia pariwisata yang diharapkan mampu mendongkrak ekonomi masyarakat apalagi pada masa pandemi ini, justru sebaliknya redup karena kelalakuan aji mumpung oknum pedagang tertentu. Sebagian pedagang mungkin berpikir bahwa para wisatawan adalah sasaran empuk untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Bahkan ada tempat wisata yang melarang para wisatawan membawa makanan dan minuman dari luar supaya makanan dan minuman di lokasi tidak laku. Hal ini bisa dibaca sebagai sebuah monopoli pengelola wisata terhadap wisatawan.

Mungkin pola pikir mereka adalah saat berani berwisata harus siap membawa uang yang banyak. Pastinya setiap wisatawan membawa uang untuk bekal. Mereka bahkan rela menabung sekian lama agar bisa berwisata ke tempat tujuannya. Walau demikian, jumlah uang yang dimiliki oleh setiap wisatawan tentunya beragam. Ada yang terbatas dan ada pula yang uangnya seolah tidak berseri. Jika uang cash habis, cukup gesek di-ATM atau membayar secara online.

Wisatawan yang membawa uang terbatas tentunya dia harus mengatur keuangannya dengan baik. Apalagi wisatawan backpacker, dia harus benar-benar memperhitungkan setiap pengeluaran untuk menginap, makan, oleh-oleh, dan sebagainya. Wisatawan yang memiliki banyak uang pun bukan berarti tidak hitung-hitungan. Mereka tetap hitung-hitungan karena mereka pun tidak mau membayar mahal untuk suatu hal yang mereka nilai bisa dibayar lebih murah. Oleh karena itu, pedagang pun jangan aji mumpung. Juallah barang atau jasa dengan harga yang wajar. Pedagang jangan terjebak dengan penampilan dengan penampilan wisatawan Indonesia yang pada umumnya tampil gaya dan necis. Beda dengan wisatawan dari luar negeri yang tampil cenderung asal saja. Kadang cukup pakai celana pendek dan T-Shirt untuk jalan-jalan di lokasi wisata.

Adalah hal yang wajar saat orang yang berdagang ingin mendapatkan keuntungan, tetapi keuntungan yang dikejar sebaiknya yang normal-normal saja. Mutu pelayanan dan harga yang kompetitif justru akan menjadi pemikat bagi wisatawan untuk kembali ke toko atau warungnya. Pedagang yang cerdas tidak akan menjadikan wisatawan sebagai ajang nekuk harga atau ajang aji mumpung tetapi menjadikan mereka tamu yang wajib dilayani dengan baik, ramah, dan diberikan harga yang normal.

Pedagang yang cerdas akan berprinsip biar untung sedikit tapi mengalir dengan lancar. Mereka menempatkan wisatawan baru yang datang ke toko atau warungnya sebagai pelanggan yang loyal karena seorang pembeli kalau sudah percaya dan nyaman datang ke sebuah toko atau warung maka dia akan datang kembali ke sana bahkan merekomendasikan kepada teman-temannya untuk datang ke warung atau toko yang sama. Sebaliknya, pedagang yang tidak cerdas hanya menempatkan wisatawan yang datang ke toko atau warungnya sebagai sapi perahan dan sarana untuk mendapatkan keuntungan dengan cepat. Tapi, yakinlah bahwa mereka datang ke warung atau toko tersebut cukup sekali saja. Setelah itu, wisatawan tidak sudi datang lagi karena merasa ditekuk harga oleh pedagangnya.

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pedagang tidak menjual barang atau jasanya dengan harga yang wajar. Pertama, suasana akhir pekan atau hari libur, harga sewa lapak dagang yang mahal, ada pungutan-pungutan yang tidak resmi dari pihak tertentu, pembebanan pajak kepada pembeli, dan melihat wisatawan sebagai ajang aji mungpung bagi mereka.

Apapun alasannya, menjual barang dan jasa dengan harga yang tidak wajar, apalagi di lokasi wisata rakyat dalam artian tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh berbagai lapisan masyarakat hanya akan menjadi “bunuh diri” ekonomi bagi sang pedagang. Kecuali, jika memang tempatnya sejak daeri awal sudah diperuntukkan bagi kalangan the have seperti café atau resto mewah, maka bisa saja menjual dengan harga yang relatif mahal. Wisatawan yang uangnya pas-pasan jangan berani masuk ke tempat yang dari sisi tampilan tempatnya diduga sudah menetapkan harga mahal untuk layanan barang dan jasanya.

Pembeli yang Kritis

Walau mungkin terkesan agak mempemalukan diri sendiri, tetapi demi “keselamatan isi dompet”, alangkah baiknya jika wisatawan bertanya kepada pedagang terkait harga pelayanan barang dan jasa, karena menurut saya hal tersebut sebagai bentuk antisipasi daripada menanggung malu atau terkejut dengan harga yang harus dibayar. Jika sekiranya setuju dengan harganya silakan lanjutkan, tetapi sekiranya keberatan dengan harganya, maka dia bisa mempertimbangkan untuk batal membelinya.

Walau ada tempat wisata tertentu yang melarang membawa makanan dan minuman dari rumah, tapi masih cukup banyak tempat wisata yang membolehkan membawa makanan dan minuman dari rumah. Bahkan para wisatawan sengaja datang ke sebuah tempat wisata dengan tujuan untuk botram atau makan-makan. Mereka membawa makanan, minuman, dan alas tempat makan dari rumah masing-masing.

Penyeragaman harga layanan barang dan jasa di tempat wisata disamping akan meminimalisasi persaingan usaha yang tidak sehat antarpedagang, juga akan memberikan kepastian terhadap para calon pembeli. Alangkah baiknya setiap pedagang memasang daftar menu disertai harganya di depan warung atau tokonya sehingga calon pembelai atau wisatawan tidak perlu harus bertanya tentang masalah harga.

Untuk mendongrak peningkatan ekonomi, maka tempat wisata baru banyak bermunculan. Badan Usaha Milik Desa (BUMD) dan Karang Taruna Desa pun ada yang menjadi pengelola tempat wisata yang baru. Potensi dan kekayaan alam di desa di eksplorasi dan ditata sehingga bisa menjadi tujuan wisata yang menarik bagi para wisatawan. Dengan adanya tempat wisata, maka akan terjadi efek domino terhadap penataan infrastruktur dan lahirnya sumber-sumber usaha baru. Dampaknya, maka kehidupan ekonomi masyarakat akan meningkat.

Pemerintah dan pengelola tempat wisata harus memastikan atau menjamin bahwa tempat wisatanya aman, nyaman, bersih, dan tidak akan nekuk harga karen hal tersebut akan sangat mendukung jalannya pariwisata di tempat tersebut. Jika ada oknum pedagang atau penyelenggara usaha yang nekuk harga, maka pemerintah harus berani menindaknya demi kelangsungan usaha di tempat tersebut. Jangan sampai sudah viral di media sosial (medsos) baru ada tindakan atau evaluasi karena walau keluhannya sudah ditangani, tetapi jejak digital kasusnya akan tetap ada. Wallaahu a’lam.

Tag : No Tag

Berita lainnya