Loading

Tragedi Rektor Universitas Indonesia Prof. Ari Kuncoro Sebagai Outokritik Pendidikan


Penulis: Mansurya Manik
2 Tahun lalu, Dibaca : 1467 kali


Mansurya Manik

Oleh Mansurya Manik

(Pegiat Pendidikan/Ketua Litbang Partai Amanat Nasional Jawa Barat)

 

Jagad politik dan pendidikan sedang heboh tentang rangkap jabatan seorang rektor sekaligus merangkap menjadi pejabat di Badan Usaha Milik Negara sebagai Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI. Mengapa menjadi heboh, karena peraturannya melarang rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan merangkap sebagai pejabat pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah maupun swasta.

Adalah Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D. Rektor Universitas Indonesia periode 2019-2024. Rektor Universitas Indonesia yang satu ini dikenal khalayak luas karena kontroversi yang ada padanya. Dimulai dari keputusannya mencopot wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan, yang keputusannya itu kemudian digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Lalu kebijakannya memanggil pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia terkait unggahan di media sosial berjudul Jokowi, The King of Lip Service. Dan yang paling menghebohkan serta mencuri perhatian masyarakat adalah beliau sebagai Rektor Universitas Indonesia sekaligus merangkap sebagai pejabat Badan Usaha Milik Negara yaitu Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI sebagaimana yang tertera di laman Bank BRI (htps://bri.co.id. dilihat tanggal 24/7/2021). Sama diketahui rangkap jabatan ini telah melanggar statuta Universitas Indonesia pasal 35. Sebelum statuta akhirnya diubah oleh pemerintah.

Setelah khalayak ramai memperbincangkannya dan menyatakan protes, bukan Profesor Ari Kuncoro yang dicopot sebagai Rektor UI, tetapi malah statutanya yang diganti oleh pemerintah, dengan tujuan supaya Prof. Ari Kuncoro dinyatakan tidak melanggar statuta Universitas Indonesia. Walaupun pada akhirnya, karena tidak tahan terhadap tekanan masyarakat, pada tanggal 21 Juli 2021, Prof. Ari Kuncoro mengirimkan surat pengunduran diri sebagai Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI kepada Kementerian BUMN dan Bank BRI. Tetapi beliau tidak mengundurkan diri sebagai Rektor Universitas Indonesia periode 2019-2024. Apalagi sampai bunuh diri dengan membuat wasiat sebagai bentuk pertanggung jawaban telah bersalah sebagaimana biasa dilakukan oleh para samurai di Jepang.

Dengan melihat secara kasat mata dan mendengar dengan telinga terbuka, bagi para pendidik dan pegiat pendidikan yang masih mempunyai hati nurani tentang pentingnya etika moral “sebagai puncak keberadaban manusia” maka perilaku Prof. Ari Kuncoro yang dengan penuh kesadaran melanggar statuta Universitas Indonesia dan dengan penuh kesadaran pula melihat statuta itu diubah agar dirinya dinyatakan tidak melanggar statuta adalah “tragedi yang luar biasa”. Bagaimana tidak disebut sebagai tragedi yang luar biasa, seorang Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, adalah pendidik (dosen) pemilik gelar akademik yang luar biasa sebagai bentuk pengakuan bahwa telah menempuh jenjang pendidikan formal sampai pada tingkatan yang paling tinggi sehingga dinyatakan lulus dan diperbolehkan menggunakan gelar akademik tersebut. Dengan demikian beliau telah menempuh pendidikan formal tidak kurang dari 20 (dua puluh) tahun lamanya, selain itu beliau juga adalah pimpinan tertinggi (rektor) dari lembaga pendidikan tinggi tertua dan ternama di Indonesia, namun telah nyata bahwa dalam keadaan sadar, sehat, mengerti dan tidak ada paksaan dari pihak manapun dengan penuh bahagia dan senyum manis tanda sukacita, melanggar statuta Universitas Indonesia pasal 35 demi untuk meraih jabatan Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI.

Pelacur saja, yang perilakunya dilaknat oleh masyarakat dan agama, dan melakukan pelacuran itu karena ketidak berdayaan ekonomi, walaupun bibirnya tersenyum tetapi hatinya menjerit sedih tiada bergembira atas apa yang dia lakukan.

Perilaku Prof. Ari Kuncoro seorang pendidik yang terdidik dan pimpinan dari lembaga pendidikan tinggi dengan sadar melanggar peraturan adalah fakta. Pertanyaannya kemudian adakah fakta ini hanya sekadar yang tampak atau sesungguhnya ini merupakan fenomena puncak gunung es? Yang terlihat di permukaan sedikit saja, tetapi masalah yang tidak terkuak lebih mengerikan lagi. Sebab yang mengubah statuta Universitas Indonesia itu adalah pejabat pemerintah yang pendidikannya juga tidak sembarangan. Tidak mungkin mereka hanya tamatan pendidikan setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), tentulah mereka para pemegang gelar pendidikan yang tinggi.

Bisa jadi Prof. Kuncoro dan yang lainnya merupakan korban dari sistem pendidikan yang kapitalistik yang lebih mengedapankan angka-angka siap kerja dan nilai rangking individu serta koneksi daripada nilai-nilai humanis. Kita bisa lihat mulai dari penerimaan peserta didik baru, antara angka kuota yang disampaikan ke masyarakat melalui data dalam jaringan (online) dengan data ril yang diterima di sekolah sekolah yang lebih banyak siswa yang mendaftar daripada kuota yang disediakan dipastikan ada perbedaan. Pertanyaannya kemudian darimana para siswa itu bisa diterima, apa landasannya? Perilaku ini akan terus terbentuk sampai akhir hayatnya.

Kegelisahan ini pun sesungguhnya dirasakan oleh Prof. Ari Kuncoro, karena itu beliau membuat model pendidikan bagi mahasiswa dengan berbasis kolaborasi. Fokusnya adalah kerja sama tim, karena berdasarkan pengamatannya, selama ini target hasil lulusan perguruan tinggi adalah mahasiswa IPK tinggi, namun individualis sehingga ketika disuruh bekerja dalam tim selalu berantakan. Tetapi yang dilupakan oleh Prof. Ari Kuncoro bahwa untuk membangun tim yang kuat yang utama adalah kukuhnya ideologi “Etika Moral” sebagai prinsip berkehidupan. Hal yang prinsip ini pula yang telah ditabrak oleh dirinya sendiri.

Pekerjaan berat memang mengurai masalah pendidikan, hampir tidak diketahui ujung pangkalnya. Dulu dikira urusan biaya yang jadi utama, sudah besar biaya dikeluarkan belum juga terlihat hasilnya. Kemudian muncul lagi pernyataan, bahwa kesejahteraan para guru yang menjadi penyebab merosotnya hasil pendidikan atau sarana dan prasarana, atau kurikulum yang katanya setiap ganti menteri ganti pula kurikulum pendidikannya. Entahlah yang mana? Tapi yang pasti perilaku Prof. Kuncoro dan kawan-kawan sebagai buah dari pendidikan telah kita lihat hasilnya.

Kalau dipakai prinsip pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Seharusnya yang dimunculkan adalah nilai-nilai positif dalam mempertahankan ideologi etika moral. Ternyata, karena teladan sebagai pimpinan tertinggi, orang yang terdepan yang dicontohkan oleh Prof. Ari Kuncoro menabrak peraturan dan etika moral, akan itu pulalah yang kelak akan dilakukan oleh mahasiswanya, karena mereka menjadikan perilaku rektornya sebagai teladan. Karena karya yang dibuat rektor dengan cara menabrak aturan dan etika moral, akan itu pulalah yang kelak akan dilakukan oleh mahasiswanya. Karena dorongan dari belakang juga menabrak aturan dan etika moral, akan itu pulalah yang kelak akan dilakukan oleh mahasiswanya. Terus lingkaran setan ini tiada bertepi.

Bagi pendidik yang bercahaya lembut hati, mengelus dada atas perilakunya, pertanda sedih dan kecewa. Tetapi para pendidik yang orientasinya sebagai pekerja di bidang pendidikan dan yang penting mendapatkan upah, ditambah lagi keras hatinya, peristiwa ini hanyalah peristiwa biasa, yang berlalu begitu saja, bagai hilangnya embun seiring datangnya panas matahari. Tidak ada hikmah yang menjadi pelajaran untuk didiskusikan!

Tag : No Tag

Berita Terkait