Penulis: Daddy Rohanady, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
3 Tahun lalu, Dibaca : 854 kali
Oleh:
Daddy Rohanady, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
"Ironis", demikian ungkapan singkat
paling pas terkait dioperasionalkannya Pelabuhan Patimban Tahap I. Betapa
tidak, ada paradoks yang begitu nyata terkait perhubungan di Jawa Barat:
Patimban dioperasionalkan, tetapi Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB)
Kertajati justru tutup.
Patimban merupakan pelabuhan yang terletak di
pantai utara Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat menjadikan Patimban sebagai salah satu proyek prioritas. Pelabuhan yang
dinaungi Kementerian Perhubungan ini dikategorikan sebagai pelabuhan utama.
Artinya, dari pelabuhan ini dapat dilakukan ekspor.
Pengoperasian Patimban pasti akan mendongkrak
dana bagi hasil pajak, baik untuk Subang maupun Jawa Barat. Hal itu dikarenakan
pajak ekspor akan diberikan kepada kabupaten dan provinsi tempat barang naik
kapal untuk diekspor.
Luas Pelabuhan Patimban direncanakan 356,23
hektare. Pembangunannya secara keseluruhan akan menelan biaya sebesar Rp43,22
triliun. Sumbernya adalah utang dari Jepang plus APBN dan BUMN.
Semula pembangunannya dibagi menjadi tiga
tahap. Tahap I 2017-2019, Tahap II 2019-2026, dan Tahap II 2026-2036. Adapun
kapasitasnya 7,5 juta teus dan 600.000 CBU (2036).
Selain akan menambah pendapatan daerah,
keberadaan Pelabuhan Patimban diharapkan memberi manfaat lain. Misalnya,
mengurangi tingkat pengangguran terbuka karena pastilah dibutuhkan cukup banyak
tenaga kerja di sana.
BIJB
Kertajati
Di sisi lain kondisi berbeda terjadi dengan
BIJB Kertajati. Bandara Internasional yang diseting sebagai bandara kebanggaan
masyarakat Jawa Barat tersebut justru ditutup. Selain karena pandemi covid-19,
dengan berbagai pertimbangan, Pemerintah Pusat memindahkan operasional maskapai
dari dan ke Jawa Barat ke Bandara Husein Sastranegara di Kota Bandung.
Akibatnya, BIJB Kertajati seolah-olah "mati suri".
Hasilnya: tidak ada lagi penerbangan dari/ke
bandara yang terletak di Kabupaten Majalengka tersebut. Kini bandara tersebut
lebih mirip salah satu studio foto terbesar. Banyak pengunjung yang datang ke
sana hanya untuk melihat-lihat. Bahkan, tidak sedikit yang melakukan
pengambilan gambar untuk foto pra-nikah.
Penutupan BIJB Kertajati ini konon kabarnya
hanya sementara. Lalu sampai kapan? Sangat tidak elok rasanya bandara yang
secara keseluruhan menelan APBD Jawa Barat sekitar Rp6 triliun lebih itu
dibiarkan terbengkalai. Belum lagi kalau dibiarkan terus seperti itu pasti
operator (PT BIJB dan PT Angkasa Pura II) juga harus menutup kerugian untuk
beberapa pos pembiayaan yang jumlahnya tidak kecil.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah tidak menyatakan bahwa Provinsi mempunyai wewenang dalam
hal kebandarudaraan. Tampaknya kebandarudaraan memang tidak menjadi masalah
pelik untuk semua provinsi maupun kabupaten/kota. Ada masalah serius dengan Jawa
Barat karena Jawa Barat memiliki aset yang sangat besar di sektor ini.
Bagaimana dengan aset yg ada, pembebasan lahan
sudah 1.040 hektare dari rencana 1.800 hektare? Bagaimana kelanjutan aerocity
Kertajati?
Apa karena tanpa utang, Kertajati ditendang,
sedangkan Patimban dibiayai utang?
Jangan tanyakan soal peluang atau keuntungan
yang bisa diperoleh dari BIJB Kertajati. Jumlah penumpang yang akan menggunakan
bandara tersebut pasti sangatlah banyak. Betapa tidak, jumlah penduduk Jawa Barat
hampir 20 persen dari total penduduk nasional. Jadi, setiap tahun minimal ada
tiga sampai empat kelompok penumpang potensial. Jumlahnya juga tidak sedikit.
Ada jamaah haji yang rutin berangkat karena
mayoritas penduduk Jabar adalah muslim. Ada pula yang tidak kalah jumlahnya,
yaitu jamaah umroh. Selain itu ada juga potensi dari pekerja migran Indonesia
asal Jawa Barat. Bahkan, kalau semua sepakat dan memegang komitmen, perjalanan
dinas semua ASN, pejabat, dan pengusaha.
Bagaimana dengan Nusawiru? Bandara perintis di
Kabupaten Pangandaran tersebut juga menarik. Bandara Nusawiru disetting untuk
mengembangkan wilayah selatan bagian timur Jawa Barat. Andai nasibnya akan
di-kertajati-kan, apakah tidak mubazir pula anggaran dari APBD Jawa Barat yang
digelontorkan untuk pengembangannya? Lalu, apakah semua aset-aset Pemprov Jawa
Barat harus dihibahkan seutuhnya kepada Pemerintah Pusat?
Memang poin utamanya bukan pada aset. Apakah
setelah dikelola oleh Pusat, grand design pengembangan kedua bandara itu akan
terus dilanjutkan? Jawa Barat semestinya mendapat komitmen tersebut.
Bagaimana sesungguhnya kebijakan kebandarudaran kita? Mari kita tunggu bersama perkembangannya.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer