Loading

DI ANTARA KARIER DAN KESETIAAN


Penulis: Tatang Sunendar
3 Hari lalu, Dibaca : 147 kali


Ilustrasi

Oleh Tatang Sunendar

 

Pagi itu, Pak Tangguh baru saja selesai mengikuti kajian di Mesjid. Sejak pensiun dari ASN, ia menikmati rutinitas sederhana  bangun pagi, mengikuti kajian  di mesjid, lalu joging ke taman kota. Hidupnya tenang dan teratur.  ponselnya berdering. Ia melihat layar dan tertegun sejenak  nama yang muncul bukan sembarang orang, Ibu Gudir, sebutan yang  disandang akibat peristiwa  gudir saat jogging beberapa waktu sebelumnya..

“Assalamu’alaikum, Pak Tangguh… maaf mengganggu,” suara Ibu Gudir terdengar pelan namun jelas menyimpan kegelisahan.

“Wa’alaikumussalam, Bu! Wah, sudah lama kita tidak ngobrol. Ada apa?” jawab Pak Tangguh ramah.

Suara di seberang telepon hening sejenak sebelum berkata lirih, “Pak… saya sedang dalam keadaan bingung. Boleh saya bertemu Bapak pagi ini? Saya butuh teman bicara.”

Tanpa pikir panjang, Pak Tangguh menyetujui. “Tentu, Bu. Bagaimana kalau kita ketemu di taman kota jam delapan? Sekalian saya olahraga.”

“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” jawabnya cepat.

Beberapa saat kemudian, Pak Tangguh joging santai di taman kota. Dari kejauhan, ia melihat sosok perempuan elegan duduk di bangku dekat kolam. Meski pagi itu banyak orang berolahraga dengan pakaian santai, Ibu Gudir tampil rapi dengan blazer birunya. Namun raut wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan.

“Ibu  …!” sapa Pak Tangguh sambil mendekat.

Ia tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak, sudah mau meluangkan waktu untuk saya.”

Pak Tangguh duduk di sampingnya. “Untuk teman lama, masa saya cuek. Jadi, ada apa sebenarnya?”

Ibu Gudir menarik napas panjang. “Suami saya sakit, Pak. Sakitnya cukup berat, butuh perawatan jangka panjang. Saya… saya benar-benar bingung harus bagaimana.”

Pak Tangguh terdiam mendengarkan. Ia sangat mengenal pasangan ini. Sejak dulu, Ibu Gudir dan suaminya dikenal sebagai pasangan ideal. Ibu Gudir adalah pejabat eselon II di pemerintahan, cerdas dan berwibawa. Suaminya seorang direktur di perusahaan besar, karismatik dan pekerja keras. Mereka berdua sering menjadi contoh pasangan sukses  sama-sama berkarier cemerlang, saling mendukung, dan harmonis.

Namun kini, keadaan berubah. “Saya merasa seperti ditarik ke dua arah,” lanjut Ibu Gudir lirih. “Di satu sisi, pekerjaan saya sedang sangat penting. Banyak program strategis yang harus saya kawal. Di sisi lain, suami saya butuh saya. Saya ingin sepenuhnya mendampinginya, tapi saya juga tidak ingin mengecewakan tanggung jawab pekerjaan.”

Matanya mulai berkaca-kaca. “Saya bingung, Pak. Kalau saya fokus di rumah, saya khawatir pekerjaan terbengkalai. Tapi kalau saya tetap bekerja seperti biasa, saya merasa bersalah meninggalkan suami dalam kondisi sakit.”

Pak Tangguh menghela napas pelan. “Bu, saya paham ini bukan situasi mudah. Tapi percayalah, karier dan kesetiaan tidak harus saling meniadakan. Kuncinya ada pada cara Ibu menata ulang semuanya.”

Dengan suara tenang, Pak Tangguh memberikan saran, “Bu Gudir, karier dan kesetiaan tidak selalu harus saling meniadakan. Justru, dalam situasi seperti ini, keduanya bisa berjalan berdampingan jika Ibu mampu mengatur ulang prioritas dan membangun sistem pendukung yang kuat.”

Ibu Gudir menatapnya dengan penuh perhatian.

“Pertama,” lanjut Pak Tangguh, “Ibu bisa berkomunikasi terbuka dengan pimpinan mengenai situasi keluarga. Saya yakin, mereka akan memberi ruang fleksibilitas tanpa mengabaikan tanggung jawab Ibu. Banyak tugas strategis yang bisa diatur dengan delegasi dan sistem kerja yang lebih efisien.”

“Kedua,” ujarnya lagi, “Ibu bisa mengatur jadwal harian secara seimbang. Saat jam kerja, fokuslah sepenuhnya pada tugas. Namun di luar jam kerja, berikan waktu berkualitas untuk suami. Kehadiran Ibu akan menjadi obat batin yang sangat berharga baginya.”

“Ketiga,” tambahnya, “libatkan keluarga besar atau tenaga pendamping medis yang profesional untuk membantu merawat suami, sehingga Ibu tidak terbebani secara fisik sendirian.”

Air mata menggenang di pelupuk mata Ibu Gudir. Saran itu terasa begitu bijak, realistis, dan menenangkan. Ia sadar, selama ini pikirannya terlalu fokus pada pilihan “karier atau keluarga”, padahal keduanya bisa dijalankan dengan cara yang lebih adaptif.“Saya terlalu sibuk memikirkan pilihan, sampai lupa kalau sebenarnya keduanya bisa saya jalani dengan cara yang berbeda,” katanya lirih.

Pak Tangguh tersenyum hangat. “Kesetiaan kepada keluarga tidak berarti harus menghentikan karier. Justru kesetiaan itulah yang akan memberi makna lebih pada semua pencapaian Ibu.”

Beberapa minggu kemudian, kabar baik datang. Ibu Gudir berhasil mengatur ulang ritme hidupnya. Ia berbicara dengan atasannya dan mendapat fleksibilitas kerja. Ia mempercayakan beberapa tugas strategis kepada tim yang solid. Di sisi lain, ia selalu hadir di rumah untuk suaminya  bukan sekadar hadir fisik, tapi dengan hati penuh cinta.

Kariernya tidak terganggu. Bahkan banyak rekan kerjanya semakin menghargai keteladanan yang ia tunjukkan. Di rumah, suaminya merasa dikuatkan oleh kehadiran istri yang selalu setia di sisinya.

Setiap kali Pak Tangguh joging dan melewati bangku taman tempat mereka dulu berbincang, ia selalu tersenyum kecil. Siapa sangka, satu telepon dan pertemuan sederhana pagi itu menjadi awal perubahan besar dalam hidup sahabat lamanya……. Semoga 

 

Tag : No Tag

Berita Terkait