Loading

Mereka Manusia, Kita


Penulis: Dudung Nurullah Koswara
3 Tahun lalu, Dibaca : 941 kali


Ilustrasi: WA/DNK

Mereka Manusia, Kita?


Oleh Dudung Nurullah Koswara

(Penulis Buku Narasi Spiritual)

 

Melihat empat orang terbaik di negeri ini dalam satu gambar, satu barisan dalam pemerintahan sungguh wow! Jokowi memang Jokowow bukan Jokodok seperti yang diteriakkan seseorang. Ia luar biasa melakukan manuver politik rekonsiliatif. Kini Prabowo dan Sandiaga Uno dua tokoh paling berpengaruh secara politik dalam kontestasi Pilpres tahun 2019 menjadi “pendukung” Jokowi.

Mereka bersatu demi NKRI. Kita para pengidolanya pun harus bersatu. Dalam kontestasi Pilpres tahun 2019 rakyat kita terbelah ke dalam dua pilihan yakni “otak” 01 dan 02. Kita rakyat Indonesia saat itu memilih satu pasangan memimpin negeri ini. Faktanya kini dua pilihan itu bersama, seirama memimpin negeri ini.

Sungguh wajar dan manusiawi bila kita rakyat Indonesia punya pilihan politik yang tidak sama. Sungguh wajar pula bila kita saatnya mengakhiri mental “oposisi” ekstrem. Dua pasangan idola rakyat kita sudah bersama. Kita? Bila rakyat Indonesia membaca “kode keras” Jokowi dengan hadirnya Prabowo dan Sandiaga Uno di pemerintahan akan lebih baik.

Bila terus-terusan menghujat pemerintah, menganggap Thogut dan sebutan buruk lainnya,  sungguh benar kata Rhoma Irama, “Terlalu”. Prabowo dan Sandiaga Uno memang manusia pilihan. Ia bertindak ksatria. Menerima kekalahan politik dan mendukung pasangan Capres yang unggul. Kesejatian kemanusiaan Prabowo dan Sandiaga Uno teruji. Kita?

Kalau kita sebagai pendukung Jokowi masih bermental Pleciden dan pendukung Prabowo bermental Jokodok, sungguh terlalu. Bila mereka---Jokowi, Ma’ruf,  Parabowo, dan Sandi---sudah “berpelukan”, mengapa kita masih nyinyir anyir dan memelintir berbagai hal? Mereka manusia, kita? Bisa jadi kita manusia secara fisik tapi secara mental adalah Kadrun dan Cebong.

Allah memberikan perbedaan, warna dan segala ketidaksamaan agar kita lebih menguatkan ketauhidan kita. Ungkapan bijak mengatakan, “Pasangan terbaik adalah pasangan terbalik/berbeda”.  Kerja sama terbaik adalah dengan orang yang berbeda. Pernikahan itu terjadi romantik dan mesra penuh cinta karena dua orang berdeda (pria dan wanita).

Hari itu adalah paduan dua waktu berbeda yakni siang dan malam. Tuhan menciptakan segala sesuatu dua atau berpasangan. Ada langit, ada bumi. Ada matahari, ada bulan. Ada pria, ada wanita. Ada Syeitan, ada Malaikat. Ada benda padat ada benda cair. Ada dunia, ada akhirat. Tuhan menciptakan  segala sesuatu mendua, mengapa? Prof. Dr. Abdul Majid mengatakan ada pesan “ke-Esaan” dalam penciptaan yang “mendua”. Tuhan memberi “kode keras” hanya aku yang tunggal, lainnya tidak!

Kembali pada kode keras rekonsiliasi politik saat ini. Kita sebagai manusia biasa harus mengakui keunggulan manuver politik Jokowi. Ia ciptaan Tuhan, Ia manusia dan Ia seorang Presiden yang identik dengan simbol negara. Ia wajah kehormatan bangsa Indonesia secara politik dunia. Ia dengan segala kekurangannya sebagai manusia biasa sungguh luar biasa.

Pertengkaran, hujatan dan kata-kata buruk itu datangnya dari Syeitan. Persahabatan, rekonsiliasi itu datangnya dari kewarasan. Politik dipersepsi publik kotor, jahat, kongkalingkong bangkong, loncat sana, loncat sini. Politik adalah seni. Seni memimpin dan “memadukan” aspirasi manusia menjadi sebuah kesepakatan bersama menuju kesejahteraan bersama.

Untuk menguji kita ini manusia  atau bukan, kadrun atau cebong abadi, maka kita mendukung tidak pada pemerintah saat ini. Bila ikut mendukung dan tetap kritis humanis maka kita baik-baik saja. Bila tetap bermental “Jokodok” maka kita masih level kodok, cebong, dan kadrun. Saya  bukan pengagum buta Jokowi tapi Saya kagum pada “design” yang menciptakan-Nya.

Satu momentum unik terjadi saat Jokowi dan keluarga masuk ke Ka’bah dikawal pemerintah Arab Saudi. Ka’bah adalah bangunan suci. Hanya orang terpilih yang bisa memasukinya. Mari kita berubah, move on, move up, dan movement lebih konstruktif. Hidup hanya sesaat. Sekecil apapun kebencian adalah tak sehat. Sekecil apapun pikiran positif, rekonsiliatif, dan  mental kolaboratif adalah penting!

Ada ungkapan indah yang mengatakan, “Shalatlah sebelum kita dishalatkan”. Ada ungkapan lebih indah lagi dari seorang yang memahami substansi shalat. Ia mengatakan “Shalatlah di luar shalat”.  Sebelum kita wafat, shalatlah. Sesudah kita shalat, sahalatlah dalam perbuatan.   Jauhi hal keji dan munkar, termasuk keji dan munkar dalam diskursus politik. Apakah kita sudah shalat sebenar-benarnya shalat?

Dalam shalat jumlah terbatas saja kita punya imam, mengikuti imam. Apalagi dalam shalat di luar shalat dalam bentuk akhlak bernegara kita harus mengikuti imam. Imam besar politik yang sah, Presiden Republik Indonesia. Gambarnya pun ada di seluruh ruang kelas sekolahan dan diakui seluruh negara di dunia. Saatnya waras!

Tag : No Tag

Berita Terkait