Daddy Rohanady
4 Tahun lalu, Dibaca : 932 kali
Oleh: Daddy Rohanady, Anggota DPRD Provinsi
Jabar
Dua isu paling menonjol dalam pembangunan Jawa
Barat (Jabar) sepanjang tahun 2020 adalah covid-19 dan utang. Kedua isu
tersebut sangat kuat mempengaruhi kebijakan anggaran yang berkaitan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jabar, khususnya pada APBD
Perubahan 2020.
Dampak yang tidak kecil pula menghantui APBD
murni 2021 dan setiap APBD berikutnya. Mengapa?
Covid-19 menjadi pandemi yang melanda seluruh
penjuru negeri ini, bahkan seluruh negara di dunia. Virus yang semula berasal
dari Wuhan (Cina) tersebut menyebar begitu cepat. Korban pun berjatuhan di
mana-mana dan setiap hari pula.
Ketika ada dua orang pertama yang diduga
terpapar covid-19, semua menjadi heboh. Pro dan kontra pun dimulai. Semua orang
menyampaikan pendapatnya, bahkan kerap kali lebih berbau politik.
Setelah itu, suasana kian rumit. Istilah
lockdown pun seolah menjadi menu rutin setiap hari.
Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit
pula yang menolak. Tarik ulur antara penanganan yang dianggap lebih
mementingkan faktor kesehatan atau faktor ekonomi pun kian alot. Lalu muncul
istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang juga tidak kalah ramai
diperdebatkan.
Demi menangani pandemi, pada tanggal 31 Maret
2020 Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas
Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Perpu tersebut kemudian dikuatkan menjadi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dengan judul yang sama persis pada tanggal 18
Mei 2020. Hal itu menunjukkan segala langkah diarahkan untuk menanggulangi
pandemi covid-19.
Undang-Undang Nomor 2 memberikan keleluasaan
kepada setiap kepala daerah untuk melakukan langkah-langkah strategis terkait
penanganan pandemi covid-19 sesuai kebutuhannya.
Hasilnya, APBD Jabar mengalami lima kali
perubahan akibat refocusing segala program/kegiatan yang disertai realokasi
anggaran. Hal itu merupakan konsekuensi logis ketika pihak eksekutif (Gubernur
Ridwan Kamil) mengalokasikan sekitar Rp 6 triliun lebih untuk penanganan
masalah kesehatan dan jaring pengaman sosial (social safety net).
Dana sebesar itu mau tidak mau pasti menggeser
banyak pos belanja. Tidak heran kalau kemudian mayoritas organisasi perangkat
daerah (OPD) terkena sinkronisasi, anggarannya "dikurud". Rata-rata
anggaran tersisa di bawah 30 persen.
Ternyata pada APBD perubahan 2020 fiscal gap
kian lebar menganga. Pada saat seperti itu Pemerintah Pusat memunculkan
penawaran utang (pinjaman) ke daerah yang terdampak sangat parah, termasuk
Jabar.
Meskipun langkah-langkah yang ditempuh
sebenarnya tidak mudah, Jabar akhirnya berutang. Itulah untuk pertama kalinya
dalam sejarah Jabar berutang. Utang diberikan oleh PT Sarana Multi
Infrastruktur (SMI), salah satu Badan Usaha Milik Negara.
Total utang Jabar adalah Rp 4 triliun. Rp 1,8
triliun untuk APBD Perubahan 2020 dan Rp 2,2 triliun untuk APBD Murni 2021.
Utang tersebut memang tidak dikenai bunga. Jabar "hanya" dibebani
biaya provisi 1% (Rp 40 miliar) dan biaya administrasi 0,185% (Rp 7,4 miliar).
Dengan demikian, 48 juta penduduk Jabar sudah
memiliki utang, tanpa kecuali. Sejatinya utang daerah diperuntukkan guna
mendorong recovery perekonomian yang terkontraksi cukup dalam. Itu sebabnya
namanya: Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program dan kegiatannya pun sudah
diarahkan pada program dan kegiatan tertentu.
Bedasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2020, semua usulan program/kegiatan yang akan dibiayai dana PEN harus
diberitahukan ke DPRD maksimal 5 hari sesudah pengajuan.
DPRD Jabar bersepakat meloloskan anggaran PEN
untuk APBD Perubahan 2020. Untuk program/kegiatan APBD Murni 2021, semua akan
dikaji ulang. Sayangnya, tidak satu pun terjadi. Alasan utamanya: waktu tidak
memungkinkan.
Utang Rp 4 triliun akan dikembalikan selama
delapan tahun. Berarti, selama 8 tahun tersebut akan muncul nomenklatur baru:
Pengembalian Pinjaman Daerah (Utang).
Semoga saja pemanfaatan utang tersebut sesuai
dengan peruntukannya sehingga pemulihan ekonomi Jabar cepat terwujud. Oleh
karena itu, pengawasan ekstra-ketat perlu dilakukan pada setiap
program/kegiatannya. Utang tersebut selain menjadi warisan bagi warga Jabar,
juga akan menjadi warisan untuk gubernur dan DPRD Provinsi Jabar berikutnya.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer