Penulis: Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jabar)
3 Tahun lalu, Dibaca : 593 kali
Oleh:
DADDY ROHANADY/Anggota DPRD Provinsi Jabar
Terkait penataan ruang, amanat Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) memang berbeda dengan amanat UU
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dengan diberlakukannya UUCK beserta
berbagai aturan turunannya, semua daerah provinsi/kabupaten/kota pasti mendapat
"pukulan keras". Betapa tidak, semua daerah harus mengevaluasi
perda-perda yang mereka miliki.
Hasilnya pun pasti sangat mengejutkan. Banyak
Perda harus dicabut dan banyak pula Perda baru yang harus dibuat. Khusus
terkait Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), secara eksplisit Perda
tersebut harus digabungkan dengan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Itu berarti Perda RTRW nantinya akan mengatur
seluruh ruang darat dan laut. Penggabungan spasial seluruh ruang darat dan
laut 0-12 mil itu bukan hal mudah. Dibutuhkan koordinasi intensif dengan
beberapa kementerian di Jakarta, terutama Kementerian ATR/BPN.
Bagaimanapun peta rencana pola ruang sudah
pasti berubah, baik penyajian peta maupun basis datanya yang secara de facto diatur secara utuh oleh
kementerian tersebut. Perda tersebut akan dibahas oleh panitia khusus (Pansus).
Jangan sampai nantinya Pansus harus bolak-balik kembali demi menyelaraskan yang
semestinya sudah dilakukan pada tahap lebih awal.
Bagaimana dengan adanya penetapan Zona Tunda
(Holding Zone) sebagai salah satu solusi yang ditawarkan Kementerian ATR/BPN,
terutama pada kawasan-kawasan hutan di pesisir/pantai yang menyebabkan
terjadinya perubahan peta garis pantai dari BIG. Misalnya, untuk kawasan hutan
lindung dan hutan produksi di Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Di sana sebagian
sudah menjadi perairan, dan eksistingnya berupa lahan tambak / permukiman.
Sudahkah koordinasi intensif dilakukan dengan
beberapa kementerian di Jakarta? Dibutuhkan pula koordinasi dengan Direktorat
Jenderal Toponimi Kementerian Dalam Negeri. Belum lagi Kementerian Kelautan dan
Perikanan yang membuat aturan persetujuan substansi juga.
Bagaimana nasib substansi Raperda tentang
Revisi RTRW Provinsi Jabar versi Pansus DPRD Provinsi Jabar Tahun 2019? Hasil
kerja Pansus 2019 yang bekerja hampir setahun lamanya itu cukup banyak dan
sangat sigifikan.
Misalnya,
A. Bagaimana nasib Segitiga Rebana yang sudah
dijadikan PSN?
B. Bagaimana nasib BIJB Kertajati, termasuk
Kertajati Aerocity mengingat Pemerintah Pusat meneguhkan kewenangannya tentang
kebandarudaraan? Bagaimana nasib 1.040 hektare lahan yang dibebaskan dengan
biaya full APBD Provinsi Jabar? Kalau toh BIJB Kertajati diambil alih Pusat,
mungkinkah 1.040 hektare itu dikonversi menjadi saham Pemprov Jabar pada
Pengelolaan Bandara yang dikerjasamakan dengan PT Angkasa Pura II? Mengapa
demikian? Pembangunan bandara baru di provinsi lain tidak satu pun pembebasan
lahannya menggunakan dana APBD.
Andai BIJB Kertajati akan secara utuh diambil
alih Pusat, Jabar berhak tahu time
schedule perencanaan pembangunan bandara di Kabupaten Majalengka itu. Semua
tahu bahwa Bandara Kertajati diharapkan menjadi pintu keluar masuk langsung
dari dan ke Jabar. Dengan demikan, BIJB Kertajati diharapkan menjadi salah satu
pengungkit roda perekonomian Jawa Barat.
C. Bagaimana pula nasib Bandara Nusawiru?
Bandara itu satu-satunya bandara yang dibiayai full dari APBD Provinsi Jabar.
Bagaimana korelasinya dalam Perda RTRW nanti, karena dalam UU 23/2014 hanya ada
tanda hubung di sana? Apa yang akan dilakukan Jabar terkait hal itu?
D. Bagaimana nasib bandara baru di Kabupaten
Karawang dan Kabupaten Sukabumi?
E. Dengan ditetapkannya Patimban sebagai PSN,
kawasan tersebut pasti membutuhkan rencana pola ruang yang harus disesuaikan
dengan kebutuhan pengembangannya. Misalnya, dukungan tol Parabon
(Patimban-Indramayu-Cirebon) sepanjang pesisir utara.
Secara keseluruhan, pada intinya,
penggabungan perda RTRW lama (Perda 22 Tahun 2010) dengan RZWP3K itu bukan hal
yang mudah. Dinas BMPR sebagai OPD pengampu benar-benar harus bekerja ekstra
keras memenuhi semua aturan Pemerintah Pusat.
Harus dipikirkan juga bagaimana nasib Pusat
Kegiatan Wilayah (PKW) yang juga ditetapkan dalam RTRW Nasional? Apakah
lantas menggugurkan kewajiban Provinsi di sana karena hanya Pusat
Kegiatan Lokal (PKL) saja yang ditetapkan dalam RTRW provinsi?
Mengingat begitu banyaknya materi yang harus
disesuaikan dengan berbagai aturan, baik peraturan pemerintah (PP) maupun
pedoman yang ada, Raperda RTRW statusnya menjadi Raperda baru. Apalagi jika
mengacu pada PP 21 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/BPN yang menyebutkan
bahwa hasil peninjauan kembali RTRW adalah Revisi, perlu ditindaklanjuti dengan
Pencabutan Perda. Artinya, Perda No 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa
Barat Tahun 2009-2029 harus dicabut.
Bagaimana pula kaitannya dengan implikasi
pada penetapan tahun rencana RTRW Provinsi Jabar menjadi tahun 2021-2041?
Semoga ini menjadi salah satu ikhtiar untuk
membentuk RTRW Jawa Barat yang lebih baik demi kemaslahatan masyarakat.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer