Penulis: Eneng Siti Aminah, S.T.
13 Hari lalu, Dibaca : 121 kali
(Pegiat
Literasi SMKN PP Cianjur)
Naik
ke gunung, turun ke hati. Kalimat sederhana ini ternyata menyimpan makna yang
sangat dalam bagiku. Aku mulai mendaki gunung bukan karena alasan yang
muluk-muluk, tapi karena ingin mencoba sesuatu yang berbeda dari rutinitas
sehari-hari. Aku butuh ruang untuk bernapas lebih lega, jauh dari hiruk-pikuk
kota yang bikin kepala penat dan hati sesak. Awalnya, aku pikir mendaki itu
cuma soal fisik, soal seberapa kuat kaki dan napas bisa bertahan. Tapi
lama-kelamaan, aku sadar bahwa mendaki gunung adalah perjalanan batin yang
membawaku turun ke hati, menemukan sesuatu yang selama ini hilang dalam diriku.
Waktu
pertama kali aku memutuskan untuk ikut pendakian, aku tidak terlalu banyak
berharap. Aku cuma ingin menikmati pemandangan alam dan merasakan segarnya
udara pegunungan. Tapi ketika langkahku mulai menapaki jalur yang menanjak,
napas mulai tersengal, dan keringat mulai membasahi dahi, aku sadar bahwa ini
bukan perjalanan yang mudah. Ada rasa lelah yang bukan hanya fisik, tapi juga
mental. Aku mulai ragu, bertanya dalam hati, “Apa aku bisa sampai puncak?” Tapi
di saat seperti itu, aku belajar arti keteguhan hati. Aku belajar untuk tidak
menyerah meski tubuh ingin berhenti. Aku ingat tujuan awalku, ingat bahwa aku
ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku mampu melewati tantangan ini.
Saat
berjalan melewati hutan yang rimbun, suara alam mengisi setiap langkahku. Angin
yang berhembus pelan, kicauan burung yang tak henti bernyanyi, gemericik air
dari sungai kecil yang mengalir di dekat jalur, semuanya membuat hatiku mulai
tenang. Aku mulai merasakan kedamaian yang sulit aku dapatkan
di kota. Di gunung, aku belajar untuk hadir di saat ini, menikmati setiap detik
tanpa tergesa-gesa. Aku sadar bahwa selama ini aku terlalu sibuk dengan pikiran
dan masalah, sampai lupa memberi ruang untuk bernapas dan merasakan hidup.
Gunung mengajarkanku bahwa kebahagiaan sesungguhnya ada pada kesederhanaan dan
ketenangan.
Setiap
pendakian terasa sangat berat. Aku harus melewati tanjakan curam dan medan
berbatu yang membuat kakiku hampir terpeleset berkali-kali. Ada kalanya aku
merasa putus asa dan ingin berhenti. Tapi di tengah perjalanan itu, aku bertemu
dengan beberapa pendaki lain. Kami saling menyemangati, berbagi cerita, dan
membantu satu sama lain. Kebersamaan itu memberi energi baru yang membuatku
bangkit kembali. Aku menyadari bahwa dalam hidup, kita tidak bisa berjalan
sendiri. Kita butuh orang-orang yang mau berdiri di samping kita, memberi
semangat ketika kita jatuh, dan berbagi sukacita saat kita berhasil.
Malam
di gunung adalah pengalaman yang tak terlupakan. Di bawah langit yang penuh
bintang, aku duduk mengelilingi api unggun bersama teman-teman pendaki. Suasana
sunyi dan dingin membuat pikiranku melayang jauh. Aku merenung tentang hidupku,
tentang segala hal yang aku kejar selama ini. Aku mulai menyadari bahwa banyak
hal yang selama ini aku anggap penting ternyata hanya membuatku lelah dan
gelisah. Gunung membuatku belajar untuk melepaskan, menerima apa adanya, dan
menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Aku merasa lebih ringan, lebih
damai, dan lebih dekat dengan diriku sendiri.
Keesokan
harinya, aku melanjutkan pendakian menuju puncak. Langkahku semakin berat
karena medan yang makin sulit dan udara yang makin tipis. Namun, di balik
kelelahan itu, ada semangat yang terus membara dalam hatiku. Aku tahu, puncak
bukan sekadar tempat fisik, tapi simbol dari sebuah pencapaian dan perjalanan
hidup. Ketika akhirnya aku menginjakkan kaki di puncak gunung, perasaan yang
muncul begitu campur aduk. Ada rasa bangga, lega, dan takjub melihat
pemandangan yang luar biasa indah. Lautan awan yang bergulung di bawah sana,
langit biru yang membentang luas, dan hembusan angin yang seolah membelai
wajahku. Semua itu adalah hadiah dari alam yang membuat segala perjuangan
terasa sangat berarti.
Namun,
perjalanan belum selesai. Saat menuruni gunung, aku membawa lebih dari sekadar
kenangan dan foto indah. Aku membawa pelajaran yang aku dapat selama pendakian
itu ke dalam hatiku. Aku menyadari bahwa hidup itu seperti mendaki gunung.
Tidak selalu mudah, penuh tantangan dan rintangan. Tapi
selama kita tetap berjuang, tidak menyerah, dan terus maju, kita akan sampai
pada tujuan kita. Aku belajar bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang sampai di
puncak, tapi tentang perjalanan dan proses yang kita lalui. Setiap langkah,
setiap jatuh, setiap bangkit, itulah yang membentuk kita menjadi pribadi yang
lebih kuat.
Selama
turun, aku juga merenungkan arti kebersamaan yang aku rasakan di perjalanan
tadi. Betapa pentingnya memiliki teman, keluarga, dan orang-orang yang
mendukung kita. Dalam hidup, kita tidak bisa selalu berdiri sendiri. Kita butuh
saling menguatkan, saling membantu, dan saling mengasihi. Gunung mengajarkanku
bahwa kekuatan terbesar bukan hanya berasal dari diri sendiri, tapi juga dari
hubungan kita dengan orang lain.
Kini,
setiap kali aku menghadapi masalah dalam hidup, aku selalu teringat pengalaman
mendaki gunung itu. Aku teringat bagaimana dulu aku berjuang menghadapi rasa
takut, kelelahan, dan keraguan. Aku belajar bahwa setiap masalah bisa diatasi
dengan keteguhan hati dan semangat yang tak pernah padam. Gunung menjadi tempat
aku menemukan kekuatan batin dan ketenangan yang aku butuhkan untuk menjalani
hidup.
Mendaki
gunung juga mengajarkanku untuk selalu bersyukur. Bersyukur atas tubuh yang
masih sehat, atas kesempatan untuk menikmati keindahan alam, dan atas setiap
pengalaman yang memperkaya hidupku. Rasa syukur itu membuatku lebih menghargai
hidup dan segala hal kecil yang sering aku abaikan. Aku jadi lebih peka
terhadap alam sekitar dan lebih peduli terhadap lingkungan. Aku tahu, gunung
bukan hanya milikku, tapi milik kita semua yang harus dijaga dan dilestarikan.
Aku
percaya bahwa perjalanan naik ke gunung dan turun ke hati ini akan terus aku
jalani sepanjang hidupku. Karena di gunung, aku menemukan bagian dari diriku
yang selama ini tersembunyi ketenangan, kekuatan, dan kebijaksanaan. Aku tahu,
aku akan terus kembali ke gunung, tidak hanya untuk mendaki, tapi untuk
menemukan hati yang lebih tenang dan kuat, hati yang siap menghadapi segala
tantangan hidup dengan penuh keyakinan.
Naik
ke gunung bukan sekadar soal mencapai puncak, tapi soal menemukan diri sendiri
dan makna hidup yang sesungguhnya. Turun ke hati berarti membawa semua
pelajaran dan pengalaman itu ke dalam kehidupan sehari-hari, menjadi pribadi
yang lebih bijak, lebih sabar, dan lebih penuh cinta. Itulah yang aku rasakan
dari setiap langkah pendakian yang aku jalani, dan aku yakin, perjalanan ini
akan selalu menjadi bagian penting dari hidupku.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back