Penulis: Mansurya Manik
3 Tahun lalu, Dibaca : 1713 kali
Oleh Mansurya Manik
(Pegiat Pendidikan/Ketua Litbang Partai Amanat Nasional Jawa Barat)
Jagad politik dan pendidikan sedang heboh tentang rangkap jabatan seorang
rektor sekaligus merangkap menjadi pejabat di Badan Usaha Milik Negara sebagai
Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI. Mengapa menjadi heboh, karena
peraturannya melarang rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan
merangkap sebagai pejabat pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah maupun swasta.
Adalah Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D. Rektor Universitas Indonesia
periode 2019-2024. Rektor Universitas Indonesia yang satu ini dikenal khalayak
luas karena kontroversi yang ada padanya. Dimulai dari keputusannya mencopot
wakil rektor bidang akademik dan kemahasiswaan, yang keputusannya itu kemudian
digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Lalu kebijakannya memanggil pengurus
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia terkait unggahan di media
sosial berjudul Jokowi, The King of Lip
Service. Dan yang paling menghebohkan serta mencuri perhatian masyarakat adalah
beliau sebagai Rektor Universitas Indonesia sekaligus merangkap sebagai pejabat
Badan Usaha Milik Negara yaitu Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI
sebagaimana yang tertera di laman Bank BRI (htps://bri.co.id.
dilihat tanggal 24/7/2021). Sama diketahui rangkap jabatan ini telah
melanggar statuta Universitas Indonesia pasal 35. Sebelum statuta akhirnya diubah
oleh pemerintah.
Setelah khalayak ramai memperbincangkannya dan menyatakan protes, bukan
Profesor Ari Kuncoro yang dicopot sebagai Rektor UI, tetapi malah statutanya
yang diganti oleh pemerintah, dengan tujuan supaya Prof. Ari Kuncoro dinyatakan
tidak melanggar statuta Universitas Indonesia. Walaupun pada akhirnya, karena
tidak tahan terhadap tekanan masyarakat, pada tanggal 21 Juli 2021, Prof. Ari
Kuncoro mengirimkan surat pengunduran diri sebagai Wakil Komisaris
Utama/Independen Bank BRI kepada Kementerian BUMN dan Bank BRI. Tetapi beliau
tidak mengundurkan diri sebagai Rektor Universitas Indonesia periode 2019-2024.
Apalagi sampai bunuh diri dengan membuat wasiat sebagai bentuk pertanggung
jawaban telah bersalah sebagaimana biasa dilakukan oleh para samurai di Jepang.
Dengan melihat secara kasat mata dan mendengar dengan telinga terbuka,
bagi para pendidik dan pegiat pendidikan yang masih mempunyai hati nurani
tentang pentingnya etika moral “sebagai puncak keberadaban manusia” maka perilaku
Prof. Ari Kuncoro yang dengan penuh kesadaran melanggar statuta Universitas
Indonesia dan dengan penuh kesadaran pula melihat statuta itu diubah agar
dirinya dinyatakan tidak melanggar statuta adalah “tragedi yang luar biasa”. Bagaimana
tidak disebut sebagai tragedi yang luar biasa, seorang Prof. Ari Kuncoro, S.E.,
M.A., Ph.D, adalah pendidik (dosen) pemilik gelar akademik yang luar biasa sebagai
bentuk pengakuan bahwa telah menempuh jenjang pendidikan formal sampai pada
tingkatan yang paling tinggi sehingga dinyatakan lulus dan diperbolehkan
menggunakan gelar akademik tersebut. Dengan demikian beliau telah menempuh
pendidikan formal tidak kurang dari 20 (dua puluh) tahun lamanya, selain itu
beliau juga adalah pimpinan tertinggi (rektor) dari lembaga pendidikan tinggi
tertua dan ternama di Indonesia, namun telah nyata bahwa dalam keadaan sadar,
sehat, mengerti dan tidak ada paksaan dari pihak manapun dengan penuh bahagia
dan senyum manis tanda sukacita, melanggar statuta Universitas Indonesia pasal
35 demi untuk meraih jabatan Wakil Komisaris Utama/Independen Bank BRI.
Pelacur saja, yang perilakunya dilaknat oleh masyarakat dan agama, dan
melakukan pelacuran itu karena ketidak berdayaan ekonomi, walaupun bibirnya
tersenyum tetapi hatinya menjerit sedih tiada bergembira atas apa yang dia
lakukan.
Perilaku Prof. Ari Kuncoro seorang pendidik yang terdidik dan pimpinan
dari lembaga pendidikan tinggi dengan sadar melanggar peraturan adalah fakta.
Pertanyaannya kemudian adakah fakta ini hanya sekadar yang tampak atau
sesungguhnya ini merupakan fenomena puncak gunung es? Yang terlihat di permukaan
sedikit saja, tetapi masalah yang tidak terkuak lebih mengerikan lagi. Sebab
yang mengubah statuta Universitas Indonesia itu adalah pejabat pemerintah yang
pendidikannya juga tidak sembarangan. Tidak mungkin mereka hanya tamatan
pendidikan setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), tentulah mereka para pemegang
gelar pendidikan yang tinggi.
Bisa jadi Prof. Kuncoro dan yang lainnya merupakan korban dari sistem
pendidikan yang kapitalistik yang lebih mengedapankan angka-angka siap kerja
dan nilai rangking individu serta koneksi daripada nilai-nilai humanis. Kita
bisa lihat mulai dari penerimaan peserta didik baru, antara angka kuota yang
disampaikan ke masyarakat melalui data dalam jaringan (online) dengan data ril yang diterima di sekolah sekolah yang
lebih banyak siswa yang mendaftar daripada kuota yang disediakan dipastikan ada
perbedaan. Pertanyaannya kemudian darimana para siswa itu bisa diterima, apa
landasannya? Perilaku ini akan terus terbentuk sampai akhir hayatnya.
Kegelisahan ini pun sesungguhnya dirasakan oleh Prof. Ari Kuncoro,
karena itu beliau membuat model pendidikan bagi mahasiswa dengan berbasis
kolaborasi. Fokusnya adalah kerja sama tim, karena berdasarkan pengamatannya, selama
ini target hasil lulusan perguruan tinggi adalah mahasiswa IPK tinggi, namun
individualis sehingga ketika disuruh bekerja dalam tim selalu berantakan. Tetapi
yang dilupakan oleh Prof. Ari Kuncoro bahwa untuk membangun tim yang kuat yang utama
adalah kukuhnya ideologi “Etika Moral” sebagai prinsip berkehidupan. Hal yang
prinsip ini pula yang telah ditabrak oleh dirinya sendiri.
Pekerjaan berat memang mengurai masalah pendidikan, hampir tidak
diketahui ujung pangkalnya. Dulu dikira urusan biaya yang jadi utama, sudah
besar biaya dikeluarkan belum juga terlihat hasilnya. Kemudian muncul lagi
pernyataan, bahwa kesejahteraan para guru yang menjadi penyebab merosotnya
hasil pendidikan atau sarana dan prasarana, atau kurikulum yang katanya setiap
ganti menteri ganti pula kurikulum pendidikannya. Entahlah yang mana? Tapi yang
pasti perilaku Prof. Kuncoro dan kawan-kawan sebagai buah dari pendidikan telah
kita lihat hasilnya.
Kalau dipakai prinsip pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani. Seharusnya yang dimunculkan adalah nilai-nilai
positif dalam mempertahankan ideologi etika moral. Ternyata, karena teladan sebagai pimpinan tertinggi, orang yang terdepan yang dicontohkan oleh Prof. Ari Kuncoro
menabrak peraturan dan etika moral, akan itu pulalah yang kelak akan dilakukan
oleh mahasiswanya, karena mereka menjadikan perilaku rektornya sebagai teladan.
Karena karya yang dibuat rektor dengan cara menabrak aturan dan etika moral,
akan itu pulalah yang kelak akan dilakukan oleh mahasiswanya. Karena dorongan
dari belakang juga menabrak aturan dan etika moral, akan itu pulalah yang kelak
akan dilakukan oleh mahasiswanya. Terus lingkaran setan ini tiada bertepi.
Bagi pendidik yang bercahaya lembut hati, mengelus dada atas
perilakunya, pertanda sedih dan kecewa. Tetapi para pendidik yang orientasinya
sebagai pekerja di bidang pendidikan dan yang penting mendapatkan upah,
ditambah lagi keras hatinya, peristiwa ini hanyalah peristiwa biasa, yang
berlalu begitu saja, bagai hilangnya embun seiring datangnya panas matahari.
Tidak ada hikmah yang menjadi pelajaran untuk didiskusikan!
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer