Penulis: Sabda Pewaris Nusantara
9 Hari lalu, Dibaca : 112 kali
Oleh Sabda Pewaris Nusantara
Kedaulatan pangan
dalam peradaban Nusantara bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga menyangkut
nilai budaya, spiritualitas, dan kebersamaan. Lumbung-lumbung tradisional
seperti Rangkiang, Leuit, Alang Sasak, Lumbung Minahasa, dan Bale Lumbung Bali
menjadi bukti bahwa masyarakat Nusantara sejak lama membangun sistem ketahanan
pangan berbasis gotong royong. Artikel ini menelusuri sejarah lumbung pangan Nusantara,
fungsi sosialnya, kesinambungannya dalam membangun kemandirian ekonomi, serta
keterkaitannya dengan pemikiran modern tokoh bangsa seperti Dr. Muhammad Hatta
dan Margono Djojohadikusumo.
Lumbung Pangan
Tradisional Nusantara
Lumbung pangan
adalah simbol kedaulatan rakyat atas pangan. Sejumlah bentuk lumbung yang
berkembang di Nusantara antara lain:
Rangkiang
(Minangkabau, Sumatera Barat): bangunan panggung berarsitektur rumah gadang,
digunakan untuk menyimpan padi, sekaligus simbol status sosial keluarga.
Leuit (Sunda, Jawa
Barat): gudang panggung beratap ijuk/alang-alang. Berfungsi sebagai cadangan
pangan keluarga dan terikat dengan upacara Seren Taun sebagai ungkapan syukur.
Alang (Sasak,
Lombok, NTB): rumah panggung kecil di pekarangan, tempat menyimpan padi sebagai
tabungan pangan keluarga.
Lumbung Minahasa
(Sulawesi Utara): berfungsi menyimpan padi, jagung, dan umbi; identik dengan
tradisi pertanian subsisten masyarakat Minahasa.
Bale Lumbung
(Bali): gudang kecil di pekarangan atau pura, erat dengan simbol religius Dewi
Sri, menjaga keselarasan manusia dengan alam (Tri Hita Karana).
Fungsi utama
lumbung-lumbung tersebut adalah sebagai cadangan pangan keluarga dan komunitas
dalam menghadapi musim paceklik, bencana, atau kebutuhan sosial. Lebih dari
itu, lumbung menjadi pusat budaya gotong royong ekonomi, karena masyarakat
saling berbagi cadangan dan mengatur distribusi.
---
Kedaulatan Pangan
dan Gotong Royong Ekonomi
Sejarah
menunjukkan bahwa sistem lumbung bukan hanya soal teknis penyimpanan. Ia adalah
institusi sosial yang menjamin distribusi adil, solidaritas antarwarga, serta
mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Inilah bentuk kemandirian ekonomi
tradisional Nusantara.
Nilai gotong
royong yang melekat dalam lumbung pangan kemudian bertransformasi dalam sistem
modern. Dr. Muhammad Hatta menekankan bahwa koperasi adalah “usaha bersama
untuk memperbaiki nasib penghidupan berdasarkan tolong-menolong”¹. Prinsip koperasi
ini sejatinya adalah lanjutan dari praktik gotong royong lumbung pangan.
Di sisi lain,
Margono Djojohadikusumo mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946
sebagai Bank Sirkulasi pertama Republik². Kehadiran BNI adalah upaya
mengonsolidasikan keuangan bangsa agar mandiri, sebagaimana lumbung pangan
mengonsolidasikan pangan rakyat.
Dengan demikian,
warisan Nusantara dalam bentuk lumbung pangan, koperasi, dan bank nasional,
adalah satu kesatuan strategi kedaulatan: pangan, modal, dan ekonomi rakyat.
---
Relevansi bagi
Generasi Muda (Gen Z)
Bagi generasi muda
saat ini, khususnya Gen Z, warisan lumbung pangan Nusantara memberi inspirasi
dalam beberapa hal:
Kemandirian pangan
lokal: generasi muda dapat menghidupkan kembali gerakan urban farming,
pertanian organik, dan komunitas pangan sehat.
Gotong royong
digital: prinsip lumbung dapat diadaptasi melalui platform digital koperasi,
crowdfunding pangan, dan ekonomi berbagi.
Kemandirian
ekonomi kreatif: nilai kolektivitas dapat mendorong wirausaha sosial yang
menggabungkan budaya dengan inovasi modern.
Dengan
menghidupkan kembali semangat lumbung pangan, koperasi ala Hatta, dan lembaga
keuangan nasional ala Margono, generasi muda dapat memperkokoh kedaulatan
ekonomi bangsa di tengah globalisasi.
---
Penutup
Lumbung pangan
Nusantara adalah warisan luhur yang membentuk fondasi kemandirian bangsa. Ia
bukan hanya gudang beras, tetapi juga simbol kedaulatan rakyat atas pangan,
ekonomi berbasis kebersamaan, dan gotong royong yang berakar kuat. Ketika nilai
ini dipadukan dengan gagasan modern Hatta dan Margono, lahirlah fondasi kokoh
bagi Indonesia: pangan cukup, ekonomi mandiri, bangsa berdaulat.
---
Catatan Kaki
1. Muhammad Hatta,
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (Jakarta: UI Press, 1971).
2. Bank Negara
Indonesia, Sejarah BNI 1946–2021 (Jakarta: Arsip BNI, 2021).
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
SAU7ANA Come Back