Loading

Wanoja-wanoja Sunda Membincang Inferioritas Perempuan


Penulis: Dadan Supardan
4 Tahun lalu, Dibaca : 1729 kali


SAWANDA


BANDUNG, medikomonline.com – Di mana posisi wanoja atau perempuan (Sunda)? Jawabannya ada pada posisi inferior. Tepatnya diinferiorkan. Bahkan lebih dari itu: diposisikan sebagai objek.

RA Garlika Martanegara SSos MSi menegaskan ketidakberuntungan wanoja itu pada Webinar Series #1 Sawala Aksi Wanoja Sunda (SAWANDA), Senin (17/8/2020).

“Inferior masih lebih baik,” ujar wanoja berprofesi sebagai Social Engineering Consultant ini seraya mencontohkan, “Di ke-TNI-an ada istilah, ya kalau cewe kolonel apalagi bintang satu biasa. Lalu dalam pencalegan, kalau cewe banyak suaranya, ya maklum. Kalau cewe kan bisa ngelobinya. Maksudnya apa? Apakah saya harus bahagia atau marah?”

Maksud Garlika ada kesan lebih dari menginferiorkan. Lantaran menurutnya, walau secara undang-undang sudah menyetarakan gender, karena masyarakat multy culture, tidak semua bisa meyetarakan gender, termasuk dicap inferior. Untuk itu, ia merespons baik adanya gerakan komunitas perempuan yang dapat membangun imej bahwa perempuan itu bukan objek.

“Harus dibangun imej bahwa perempuan itu bukan objek. Mereka bisa melakukan sesuatu,” tuturnya.

Seperti disampaikan narasumber Dra Mira RG Wiranatakusumah MPd yang banyak mengurai aktivitas perempuan dalam komunitas. Menurutnya, komunitas harus menjadi kekuatan untuk membangun karakter perempuan.

Ia juga mengutip pernyataan Ibu Dewi Sartika: “Ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup”.

Perihal penginferioran perempuan dipertegas oleh Prof Dr Ina Primiana SE MT. Saat bertindak sebagai keynote speaker, Guru Besar FEB Unpad ini mencontohkan jomblangnya perbedaan rata-rata upah buruh yang diterima oleh laki-laki dan perempuan.

Berdasarkan data Jabar dalam Angka 2020, jelas Ina untuk laki-laki rata-rata Rp3.180.000 sedangkan rata-rata upah buruh perempuan Rp2.450.000.

“Jadi perempuan tetap dianggap pantas diberi lebih murah,” ucapnya.

Untuk itu, lebih jauh Ina menekankan wanoja Sunda terlebih di era deglobalisasi dan masa copid-19 agar meningkatkan kapasitas, pengetahuan, keahlian, kreativitas, motivasi, keterampilan, kewirausahaan supaya dapat memanfaatkan peluang pada sektor yang tumbuh atau bertahan. Seperti sektor pertanian, alat kesehatan, dan teknologi informasi.

Kepada pemerintah kabupaten/kota, Ina mengimbau untuk malakukan intervensi dengan membeli produk-produk UMK perempuan lokal. Selain itu agar memfasilitasi peningkatkan kualitasnya serta membantu pemasaran ke usaha menengah besar atau ke kabupaten kota lainnya.

Dari sisi pendidikan, ia berharap supaya wanoja jangan putus sekolah hanya sampai di SD atau SMP. Lantaran wanoja Sunda yang terdidik akan mendidik anak-anaknya untuk sekolah tinggi sehingga memutus rantai kebodohan dan kemiskinan.

“Peran pemerintah kabupaten/kota mengedukasi anak perempuan agar sekolah tinggi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” imbuhnya.

Berbeda dengan Garlika, Nurul Arifin MSi memandang perempuan tidak diinferiorkan. Nurul mengatakan undang-undang menjamin setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya. Di sana tidak disebutkan jenis kelamin.

“Jadi sesungguhnya kita perempuan di Indonesia sangat beruntung, karena di republik ini perempuan diberi kesempatan yang sama. Bahkan dalam hal politik pun sama,” ungkapnya seraya menegaskan buktinya para perempuan yang tergabung dalam SAWANDA memperlihatkan sebagai perempuan-perempuan yang mampu berkarya.

Masalahnya, jelas Nurul ada pada kemampuan diri. “Itulah sesungguhnya tantangan besar kita. Tantangan besar kita ada pada diri kita sendiri. Bagaimana kita mengatakan pada kita bahwa diri kita ini mampu. Karena negara sudah memberikan kesempatan yang sama,” tutur Politikus Partai Golongan Karya ini.

Pada kesempatan itu, ia mengingatkan pentingnya perempuan harus berpolitik. Menurutnya segala sesuatu itu adalah politik. Sebab, semuanya lahir dari akibat kebijakan-kebijakan politik.

Dikatakan pemikiran perempuan tidak bisa diwakilkan. Pemikiran perempuan adalah pemikiran yang orginal tidak bisa diwakilkan kepada laki-laki. Secara inheren sudah terinternalisasi pemikiran-pemikiran perempuan. Yaitu mewakili kepentingan perempuan dengan segala analisanya.

Sementara menurut Dr Chye Retti Isnendez MHum dalam perspeksif sastra, citra perempuan Sunda terbangun secara paradoksal: positif dan negatif. Dosen UPI ini menyoroti citra positif perempuan Sunda yang sudah terbangun sejak dulu tatkala masyarakat kosmologi tradisional menempatkan perempuan sebagai pemberi energi dan sumber kehidupan. Bahkan dalam sastra, perempuan itu menempati dunia langitan.

Terkait dengan peran perempuan Sunda, Chye menyebut nama besar Raden Dewi Sartika yang berperan secara ideal dan nyata sebagai pendidik bangsa.

“Sebelum Ibu Kartini membuat sekolah, beliau dengan nyata mengajukan prinsip bahwa perempuan baik cacah maupun menak harus sekolah,” ujar Chye.

Ia juga menyebut Ibu Siti Jenab dan Ibu Popong Otje Junjunan. Murid Ibu Dewi Sartika, Ibu Siti Jenab dari Cianjur berperan dalam bidang kemasyarakatan membawa ideologi pendidikan. Sementara Ibu Popong Otje Junjunan adalah tokoh yang masih mencerap pendidikan dari Ibu Dewi Sartika. Ia masih eksis sampai sekarang berperan bukan dalam hal kecil, tetapi sudah dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Mengambil keputusan membuat kebijakan, dsb.

Jadi, tambah Chye, perempuan berperan secara nyata menjadi petani, buruh, guru, peragawati, hakim, tentara, pilot. Semua itu menjadi pilihan ketika dia mampu. Karena pilihan itu tergantung pada kemampuan diri.

“Mau politik, ekonomi, seni silakan. Semua bisa berkibar dengan kemampuannya masing-masing,” imbuhnya.

Ia juga menegaskan, perempuan Sunda adalah manusia Sunda yang mempergunakan nilai-nilai budaya Sunda, mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda yang tidak hanya menggunakan identitas kesundaannya secara intelektual, tetapi juga secara emosional dan intuitif.

Citranya, perempuan yang berpijak di dunia nyata menentukan nasibnya sendiri berhadapan dengan berbagai kemungkinan pilihan hidup.

Sedangkan Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Prof Dr Hj Een Herdiani SSen MHum mengungkapkan pentingnya seni budaya dan kearifan lokal yang di dalamnya ada gotong royong, keramahan, tolong menolong, santun, toleran dan peduli sesama.

Dalam hal ini perempuan diharapkan menjadi agen perubahan yang mampu mengkolaborasikan nilai-nilai luhur dengan karakter masyarakat modern. ***

Tag : No Tag

Berita Terkait