Penulis Herz_Medikom Cms
1 Tahun lalu, Dibaca : 518 kali
Bagiku tidak masalah nama daerah mau diganti menjadi apa.
Siklus itu tampaknya akan terus terjadi, dari Ciamis mau menjadi Galuh, dulu
dari Galuh menjadi Ciamis. Bagiku itu hanya sebuah nama.
Nama bisa sangat multitafsir tergantung bagaimana
mengartikannya baik dari sisi tata bahasa maupun historis.
Menanggapi polemik hangat yang ada terkait nama sebuah
daerah, saya teringat sudut pandang William Shakespeare. Ia mengungkapkan:
"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell
as sweet." (Apalah arti sebuah nama?)
Andaikata kamu memberikan nama lain untuk Kabupaten Ciamis,
kabupaten itu akan tetap menjadi daerah yang bernuansa Ciamis atau bernuansa
Galuh. Nuansa kedaerahan tidak akan musnah sepanjang sejarah itu dijaga dan
dilestarikan.
Namun kini banyak kelatahan di negeri karena kalau tidak
heboh maka tidak gaul, tidak bisa mengikuti tuntutan zaman. Banyak yang lupa
bahwa era zaman kadang by design kelompok iluminits maupun oligarki.
“Jika Boleh Menawar, Tanpa Mengubah Dokumen Administrasi, Cukup
Jadi Nama Ciamis – Galuh”.
Mengubah nama versi petung Jawa, juga masih sering diikuti
oleh sebagian manusia. Atas nama leluhur mengganti nama, namun hanya sebatas
dimensi leluhur. Sedangkan dalam dimensi administratif, tidak perlu mengubah.
Karena implikasinya yang sangat panjang dan cost-nya mahal.
Misal, di primbon Jawa. Ada nama dan istrinya misal bila
dijumlah ketemu itungan *lungguh* yang artinya perekonomiannya sekadar cukup.
Untuk mencapai *Sri* yang artinya duitnya mengumpul banyak dan barokah, maka
itu berarti nama itu pun harus diganti dengan nama seizin leluhur.
Begitu pun nama daerah andai diganti, berani tidak menawar di
prasyarat sehingga tidak mengubah seluruh dokumen warga Ciamis? Bayangkan jika
harus mengubah semua dokumen negara karena ambisi sekelompok elit yang ingin
namanya tercantum dalam sejarah Galuh di abad milenal ini.
Mengapa para elit hobi masturbasi nama? Bukankah kelaparan,
ancaman sampah, ancaman merosotnya kualitas pendidikan, dekadensi moral, krisis
identitas bangsa, dan lain-lain sangat membutuhkan perhatian dari semua pihak?
Berpikirkah mereka jika suatu saat tanpa diduga terjadi “Terranocity” di mana
daerah menghancurkan warganya?
Maka semestinya kita cerdas bersikap, meski perut sering
kelaparan.
Quo vadis?
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer