Loading

"LOCAL WISDOM & LIVING VALUES EDUCATION"


Prof. Dr. Drs. H. Endang Komara, M.Si
4 Tahun lalu, Dibaca : 2576 kali


Oleh ENDANG KOMARA, Prof, Drs, Dr, M.Si

Guru Besar LLDIKTI Wilayah IV Dpk pada Magister Pendidikan IPS STKIP Pasundan, Ketua Dewan Pakar ASPENSI, Ketua Dewan Pakar KPLJ, Ketua Dewan Pakar  AP3KnI, Ketua Dewan Pakar DPP GNP TIPIKOR, Dewan Pakar PGRI Jawa Barat dan Peserta Seleksi JPT Madya Kemendikbud RI  Tahun 2020

Komunitas Cinta Indonesia (KACI) #PASTI BISA#

 

Kearifan lokal berasal dari dua suku kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Keberadaan kearifan lokal ini  bukan tanpa fungsi. Kearifan lokal sangat banyak fungsinya. Menurut Sartini (2006) dan Lelly Qodariah (2013) bahwa, kearifan lokal  adalah: Pertama, konservasi  dan pelestarian sumber daya alam. Kedua, pengembangan sumber daya alam. Ketiga, pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Keempat, petuah, kepercayaan,  sastra dan pantangan. Kelima, bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. Keenam, bermakna etika dan moral. Ketujuh, bermakna politik.

Penggalian nilai-nilai kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter ini sejalan dengan rekomendasi UNESCO tahun 2009. Menurut UNESCO dalam (Wibowo & Gunawan, 2015), bahwa penggalian nilai kearifan lokal sebagai dasar pendidikan karakter dan pendidikan pada umumnya, akan mendorong timbulnya sikap saling menghormati antar etnis, suku, bangsa, agama, sehingga keberagaman terjaga. Harus diakui bahwa kebudayaan dan pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan keduanya. Laksana dua sisi mata uang keduanya satu kesatuan yang saling mendukung dan saling menguatkan. Kebudayaan menjadi dasar falsafah pendidikan, sementara pendidikan menjadi penjaga utama kebudayaan karena peran pendidikan membentuk orang untuk berbudaya.      

Kearifan lokal  (local wisdom)  menurut Sungsari dalam (Ardianto, 2014) adalah pengetahuan dan pengalaman berkaitan  dengan kehidupan sehari-hari, occupation dan budaya yang sudah turun temurun dari sejumlah generasi ke generasi (knowledge and experience related to day to day living, accoputions and culture had been passed on form generations to generations). Istilah kearifan lokal adalah terjemahan dari local genius, yang pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales pada tahun 1948-1949 dengan pengertiannya ‘’kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kebudayaan itu berlangsung’’. (Rosidi, Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda, 2011).

Pengetahuan dan pengalaman masih banyak digunakan orang sampai saat ini, karena mereka secara mendalam terkait dengan cara atau pandangan hidup mereka. Jika kearifan lokal adalah setelah dilihat secara baik dan dipromosikan, mereka dapat menjadi sumber pengetahuan yang sangat baik, menjadi informasi dan pedoman bagi kualitas pengembangan kehidupan orang-orang. Sungsari 2010 dalam (Ardianto, 2014) menyatakan bahwa ketertarikan kearifan lokal dapat dipertahankan yakni: ‘’These knowledge and experience are still useful for people at the present because they deeply relate to their way of live. If these local wisdom are well looked after and promoted, they can be very good source of knowledge, information and guidelines for quality of life development of people. Artinya:  Pengetahuan  dan pengalaman ini masih berguna bagi orang-orang pada saat ini  karena mereka sangat berhubungan dengan kehidupan mereka. Jika kearifan lokal ini dijaga dan dipromosikan dengan baik, mereka dapat menjadi sumber pengetahuan, informasi, dan pedoman yang sangat baik untuk kualitas pengembangan kehidupan masyarakat.

Tepatlah apa yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, mengibaratkan pendidikan tanpa kebudayaan, seperti perahu di lautan tanpa panduan arah (Ki Hadjar Dewantara, 1977) dalam (Wibowo & Gunawan, 2015). Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi)   tahun 2016, ada 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal, yaitu: Bahasa, Sistem Pengetahuan, Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial, Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian Hidup, Sistem Religi, Kesenian.

Pertama, Bahasa adalah suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasikan kebudayaan. Bahasa terdiri dari bahasa lisan  dan tulisan. Kedua, sistem pengetahuan itu berkisar pada pengetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat-sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan meliputi ruang pengetahuan tentang alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, tubuh manusia. Ketiga, sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial. Organisasi sosial adalah kelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan (garis keturunan), asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup dan perkumpulan. Keempat, sistem peralatan hidup dan teknologi adalah jumlah keseluruhan teknik dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan mengumpulkan bahan baku mentah, pemrosesan bahan baku itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda material. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi: alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat transportasi. Kelima, sistem mata pencaharian hidup merupakan  segala usaha manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi yang meliputi: berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan dan perdagangan. Keenam, sistem religi serupakan sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Misalnya dalam mengatasi Pandemi COVID-19 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa antara lain: Shalat Jum’at diganti dengan Shalat Dzuhur di rumah begitu pula Shalat Fardhu dan Shalat Sunat lainnya dilaksanakan di rumah masing-masing. Juga Jemaat Gereja diimbau kembangkan ibadah dari Rumah Akibat Wabah Corona. Juga Presiden RI menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Kepres (Keputusan Presiden) mengenai Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang tersebut, maka Kepala Daerah tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan di daerah  harus sesuai peraturan, berada dalam koridor Undang-Undang dan PP serta Kepres tersebut. Polri juga dapat mengambil langkah-langkah hukum yang terukur dan sesuai dengan undang-undang agar PSBB dapat berlaku secara efektif dan mencapai tujuan mencegah  meluasnya Pandemi COVID-19. Ketujuh, kesenian, secara sederhana kesenian dapat diartikan sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan, bentuk keindahan yang beraneka ragam itu timbul dari permainan imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. Secara garis besar maka bentuk kesenian terdiri dari tiga, yakni; seni rupa, seni suara dan seni tari.

Living Values Education merupakan pendidikan nilai kehidupan yang secara resmi dibentuk oleh PBB melalui UNICEF (United Nations Emergency Children’s Fund), organisasi internasional di bawah naungan PBB yang didirikan pada 11 Desember 1946 untuk memberikan bantuan kemanusiaan khususnya kepada anak-anak yang hidup di dunia yang luluh lantah akibat Perang Dunia II. Gerakan ini sendiri dipelopori  oleh Brahma Kumaris (pada HUT PBB tahun 1995) yang melihat dan mengukur begitu banyaknya perubahan drastis manusia ke arah kemerosotan nilai-nilai dasar kehidupan. Secara nyata Living Vales Education dihidupkan semangatnya melalui pembelajaran di sekolah, diintegrasikan dengan pelajaran bimbingan atau budi pekerti dan seluruh mata pelajaran lainnya.

Living Values Education adalah program pendidikan untuk membantu dan menyediakan kesempatan bagi anak-anak dan orang muda menggali serta mengembangkan nilai-nilai universal dan juga berlanjut sampai mengasosiasikan nilai tersebut dalam keterampilan sosial-emosional dan intrapersonal mereka sehari-hari.

Salah satu proses mendasar dalam Living Values Education adalah tiap pendidik diajak untuk merefleksikan dan menggali nilai pribadi mereka, agar dapat menjadi pondasi dalam menciptakan suasana belajar yang berbasis nilai. Nilai tidak diajarkan, melainkan ditangkap dan dirasakan. Siswa belajar dari contoh yang diberikan pendidiknya. Oleh karena itu, sangat penting bagi tiap pendidik untuk menyadari dan terus menghidupkan nillai-nilai pribadi mereka, untuk dapat menjalani peran sebagai panutan ini secara positif.

Program ini menyajikan berbagai macam aktivitas pengalaman dan metodologi praktis bagi para guru dan fasilitator untuk membantu anak-anak dan para remaja mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai kunci pribadi dan sosial, diantaranya: kedamaian, penghargaan, cinta, tanggung jawab, kebahagiaan, kerjasama, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kesederhanaan, kebebasan dan persatuan (Tillman, 2004).  Program aktivitas kehidupan nilai ini bertujuan untuk mengembangkan karakter siswa. Adapun tujuan khusus yang dihimpun dari Living Values Education seperti yang diungkap oleh Tillman (2004) sebagai berikut: Pertama, membantu individu memikirkan dan merefleksikan nilai-nilai yang berbeda dan implikasi praktis bila mengekspresikan nilai-nilai tersebut dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan seluruh dunia. Kedua, memperdalam pemahaman, motivasi dan tanggung jawab saat menentukan pilihan-pilihan pribadi dan sosial yang positif. Ketiga, menginspirasi individu memilih nilai-nilai pribadi, sosial, moral, dan spiritual serta menyadari metode praktis dalam mengembangkan dan memperdalam nilai-nilai tersebut. Keempat, mendorong para pendidik memandang pendidikan sebagai sarana memberikan filsafat hidup kepada siswa, dengan demikian memfasilitasi pertumbuhan, perkembangan dan pilihan-pilihan mereka sehingga mereka bisa berintegrasi dengan masyarakat secara hormat, percaya diri dan tujuan yang jelas.     Dengan demikian, maka Living Values Education merupakan salah satu pengembangan model pembelajaran dan pendidikan karakter (nilai reiligius, nasionalis, gotong royong, integritas dan kemandirian) yang menekankan prinsip belajar yang menyenangkan (AJEL: active, joffull, effective learning). Aktivitas nilai yang dibelajarkan di kelas bisa berbentuk permainan nilai  (VCT: Value Clraification Technique), dimana siswa terlibat dalam latihan resolusi konflik, diskusi, kegiatan atistik (bernyanyi, melukis, drama, bercerita/dongeng, tari), permainan, latihan komunikasi, mind mapping, penulisan kreatif, role playing, latihan imajinasi, relaksasi dan konsentrasi.  

Mudah-mudahan melalui Local Wisdom & Living Values Education dapat mengembangkan karakter siswa melalui pembelajaran sehingga dapat menciptakan SDM unggul pemimpin masa depan melalui literasi data, literasi teknologi, literasi manusia dan experiental learning.*** Semoga ***

Tag : No Tag

Berita Terkait