Loading

GURU MILLENIAL


Prof. Dr. Drs. H. Endang Komara, M.Si
4 Tahun lalu, Dibaca : 924 kali


Oleh ENDANG KOMARA, Prof, Drs, Dr, M.Si

Guru Besar ASN Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IV Dpk  pada Magister Pendidikan IPS STKIP Pasundan,

Ketua Dewan Pakar ASPENSI, Ketua Dewan Pakar  DPP GNP TIPIKOR

Komunitas Cinta Indonesia-KACI # PASTI BISA #

 

Para siswa saat ini yang belajar di Indonesia mulai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD, SMP, SMA/SMK sampai kepada Pendidikan Tinggi terdiri atas generasi Z dan Alpa. Dua generasi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Sementara guru yang mengajari mereka terdiri atas generasi Baby Boomers, generasi X dan generasi Y atau generasi Millenial yang akan mengambil alih secara berangsur-angsur menjadi Guru Generasi Millenial.

Generasi millenial adalah kelompok demografi setelah generasi X (Gen-X) tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir kelompok ini. Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Millenial pada umumnya adalah anak-anak genrasi  baby boomers  dan Gen-X yang tua. Millenial kadang-kadang disebut sebagai ‘’Echo Boomers’’ (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke-20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari ‘’Baby Boom Echo’’ umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.

 Menurut  Williamson dan Barkbun (2017) karakteristik guru Millenial, di antaranya: Pertama, sangat berpendidikan, cakap berteknologi, kreatif, inovatif dan percaya diri. Kedua, berkomitmen untuk perubahan, berkeinginan terhubung, updated, dan terlibat di dunia kerja. Ketiga, semangat bekerja sama. Keempat,  mencari kesempatan untuk berkembang dan hadapi tantangan dengan jadwal yang tidak kaku. Kelima,  memiliki kecakapan kolaboratif. Sifat-sifat ini sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan siswa millenial yang cerdas dan heterogin dengan keunikan potensi dan kemampuan yang senantiasa berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, inovatif, solutif dan komunikatif.

Dalam konteks pembelajaran selalu mengalami perubahan yang signifikan, tidak hanya mengandalkan ruang kelas dan praktek tunggal, atau materi pelajaran berdasarkan silabus, tetapi guru millenial senantiasa melakukan berbagai hal, seperti: Pertama, menggunakan metode fleksibel. Menyadari akan keunikan siswa dan gaya belajar yang berbeda, maka guru wajib menyesuaikan metode pembelajarannya untuk hasil yang baik bagi siswanya, baik berupa pemrosesan informasi, pemecahan masalah maupun pemberian pemahaman. Kedua, berpikir di luar kotak. Kini para siswa dikenalkan tidak hanya lebih banyak pengetahuan berkadarkan rendah, namun dituntut berpikir tingkat tinggi atau HOTS (High Order Thinking Skills). Ketiga, belajar flipping. Siswa biasanya diberi materi pelajaran yang sudah fixed. Kini guru diharapkan memberi bahan awal ke siswa sebelum masuk kelas. Ketika kegiatan berlangsung siswa diajak diskusi terbuka untuk memperkaya materi dengan sumber yang berbeda, baik dari media cetak maupun media elektronik. Keempat, jenis manajemen kelas yang berbeda. Pembelajaran dapat dilakukan di dalam dan di luar kelas dengan optimalisasi teknologi informasi, sehingga diperlukan dukungan infrastruktur yang memadai jaringan wifi dan hotspot. Kelima, partisipasi dan diversitas. Keenam, memiliki rasa empati. Ketujuh, memiliki moralitas yang tinggi.

Menurut hemat penulis, guru Millenial merupakan faktor yang paling inti dalam memacu kualitas pendidikan, sehingga peningkatan kualitas profesi guru adalah sebuah keniscayaan. Pendidik yang profesional memiliki seperangkat kompetensi yang dipersyaratkan untuk menopang tugas dan fungsinya sebagai pendidik. Pendidik profesional tidak hanya sekadar menguasai bidang ilmu, bahan ajar, dan metode tapi juga harus mampu memotivasi peserta didik, memiliki kecakapan yang tinggi dan berwawasan luas. Sehubungan dengan itu, kompetensi guru ini telaah dipersyaratkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 pasal 28 ayat (3) yang meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Menurut Fasli Jalal (2008), bahwa pendidikan yang bermutu memiliki kaitan ke depan (Forward Linkage) dan kaitan ke belakang (Backwatrd Linkage). Forward Linkage adalah pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera. Sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa-bangsa mengajarkan pada kita bahwa bangsa yang maju, modern, makmur, dan sejahtera adalah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktik pendidikan yang bermutu. Backward Linkage adalah pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada guru yang bermutu, yakni guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Dari kedua kaitan tersebut, maka diyakini bahwa guru merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam mewujudkan pendidikan yang unggul dan bermutu.

Sebagai faktor tunggal dalama upaya peningkatan mutu pendidikan, maka guru yang bermutu adalah harga yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Demikian pentingnya faktor guru, maka sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas pada ham,pir semua bangsa di dunia selalu mengembangkan kebijkan yang mendorong peningkatan guru yang kompeten dan profesional. Salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah di banyaka negara adalah kebijakan intervensi langsung menuju peningkatan kualitas profesi sekaligus jaminan kesejahteraan serta perlindungan terhadap profesi guru yang memadai. Beberapa negara yang mengembangkan kebijakan ini antar lain Singapura, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat. Negara-negara itu memiliki peningkatan mutu guru dengan menerapkan kebijakan yang langsung mempengaruhi mutu melalui sistem sertifikasi, termasuk bagi guru yang sudah bekerja harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat profesi guru. *** Semoga ***.

 

 

 

 

 

 

Tag : No Tag

Berita Terkait