Penulis: Hafidz/Editor: Mbayak Ginting
3 Tahun lalu, Dibaca : 2396 kali
CIREBON,
Medikomonline.com - Gonjang ganjing perebutan tahta di Keraton
Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat sejatinya tidak melupakan
persoalan serius lainnya yang terjadi di lingkungan keraton
peninggalan Syekh Sunan Gunung Jati tersebut.
Seperti terkait pengelolaan Keraton Kasepuhan
yang mencakup hal menejerial yang dinilai berbagai kalangan tidak
mengedepankan aspek transparansi serta mengungkap rumor terkait raibnya
berbagai benda pusaka Keraton Kasepuhan yang sudah santer terdengar sejak dulu.
Keris, mata tombak pusaka peninggalan leluhur,
meja marmer asli yang konon kini berada di tempat lain termasuk piring atau
benda keramik lainnya yang memiliki nilai tinggi sebab berusia ratusan tahun
dan benda berharga lainnya.
Pun dengan aset Keraton Kasepuhan yang lepas
atau berpindah tangan ke pihak luar seperti tanah di berbagai tempat
yang dulu milik Keraton Kasepuhan, namun kini banyak diklaim
pihak lain baik perorangan termasuk lembaga, tapi dalam proses
pelepasan tanahnya tidak melalui mekanisme yang benar berakibat bocornya aliran
uang ke mana-mana diduga ditilep oknum baik dari luar maupun oknum dari Keraton
Kasepuhan itu sendiri.
Dalam pengelolaan Keraton Kasepuhan
menggunakan manajemen panic, pasalnya Keraton bak dianggap perusahaan sendiri
sehingga mengelola dengan orientasi profit tanpa menghiraukan pesan leluhur
mereka terdahulu.
Diharapkan kepada pihak pemerintah baik pusat
atau pemerintah daerah termasuk penegak hukum lebih maksimal perhatiannya. Pasalnya,
Keraton atau cagar budaya adalah aset bangsa dan negara yang keberadaanya
dirusak atau dimanfaatkan oleh oknum atau pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab demi kepentingan sendiri.
Hal ini jelas langsung atau tidak
langsung PRA Luqman Zulkaedin selaku penerus
tahta mendiang ayahandanya yakni Pangeran Arif Natadiningrat. Ia
harus bertanggungjawab atas carut marut persoalan yang ada di lingkungan
Keraton Kasepuhan selama ini, termasuk pengungkapan babad peteng dan babad
terang agar generasi mendatang khususnya masyarakat Cirebon yg berjuluk Kota
Wali ini tidak terjebak pada polemik sejarah yang
berkepanjangan. Hal ini terungkap dari beberapa tokoh
masyarakat yang ingin masalah ini menjadi terang benderang sekaligus untuk pelurusan
sejarah.
Kasultanan Kasepuhan Cirebon. (Foto:
Hafidz/Medikom)
"Keraton Kasepuhan Cirebon memiliki
history yang agung termasuk dalam penyebaran agama Islam khususnya di tanah
Jawa termasuk memiliki peran yang penting dalam perjalanan bangsa ini merebut
kemerdekaan. Namun kita prihatin terhadap tata kelola Keraton yang karut marut
selama ini yang lebih mengedepankan egosentris," ujar salah seorang tokoh
sejarah yang enggan disebutkan namanya itu kepada Medikom.
Pria tua yang memiliki garis keturunan dari
Keraton Kasepuhan ini merasa prihatin atas dugaan hilangnya benda-benda
pusaka kerajaan serta banyaknya aset tanah milik Keraton Kasepuhan yang sudah
berganti kepemilikannya melalui surat pelepasan tanah yang diterbitkan oknum
Keraton, namun uang hasil pelepasan tanah tersebut masuk ke kantong pribadi
atau kelompok. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak
termasuk penegak hukum sebab jelas ini merupakan bentuk pelanggaran hukum.
"Hilangnya beberapa benda pusaka kerajaan
yang berusia ratusan tahun dan memiliki nilai seni yang tinggi sebenarnya sudah
santer terdengar sejak dulu termasuk keotentikan sebagian benda-benda
peninggalan Keraton Kasepuhan yang diduga sudah tidak asli lagi sebab sudah
dijual ke kolektor, ini harus ada perhatian serius dari semua pihak termasuk
penegak hukum bila perlu bentuk tim independen yang terdiri dari para ahli agar
jelas demi kebaikan kita bersama," tambahnya.
Ia juga menyoroti banyaknya situs situs milik
Keraton Kasepuhan yang terbengkalai serta kurang terawatt. Hal ini membuktikan
kurangnya kepekaan pihak keraton terhadap cagar budaya yang seharusnya
dilestarikan.
"Kalau mereka mengaku keturunan keluarga keratin,
hal seperti ini tidak harus terjadi dengan membiarkan dugaan hilang benda-benda pusaka
dan tidak terurusnya situs-situs yang merupakan cagar budaya, padahal anggaran
dari berbagai pihak ada," kesalnya.
Adapun fenomena munculnya pihak -pihak atau
perorangan yang mengaku sebagai Sultan Kasepuhan pasca Jumenengan Sultan
Rahardjo Djali pada 18 Agustus 2021, saat
dirinya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh Aloeda II oleh keluarga besarnya tepat
setahun setelah Luqman Zulkaedin dilantik sebagai Sultan Sepuh XV Keraton
Kasepuhan Cirebon pada Minggu, 30 Agustus 2020 lalu itu
dipandang nyinyir oleh sebagian kalangan termasuk
masyarakat.
Pasalnya bak sinetron yang dapat membingungkan
publik, dua nama terakhir menobatkan diri sebagai Sultan Kasepuhan
Cirebon yakni Santana Kesultanan Cirebon menggelar Deklarasi Pangeran Kuda
Putih dengan gelar Sultan Sepuh Jaenudin II Singaraja dilaksanakan di Masjid At
Tim, Komplek obyek wisata Sidomba Desa Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten
Kuningan pada Senin 27 Desember 2021 lalu.
Lalu muncul Sultan Sepuh Jayawikarta III, Pangeran
Wisnu Lesmana Nugraha yang merupakan putra dari mendiang Pangeran Ilen
Seminingrat pun mendeklarasikan diri sebagai Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon.
Terakhir Raden Reza Pramudia yang merupakan pengusaha itu mengaku dirinya
memiliki trah atau keturunan asli panembahan Girilaya dan menurut
pengakuannya ada yang memintanya untuk tampil menjadi Sultan Sepuh
Cirebon agar polemik tidak semakin melebar .
"Ada yang meminta saya maju biar nggak
makin ruwet," kata Raden Reza kepada media lokal. Terlepas dari apapun
langkah hukum yang dilakukan Sultan Rahardjo Djali dalam menyangkut tahta
Kasepuhan dengan menggugat PRA Luqman Zulkaedin selaku Sultan Sepuh
XV patut kita apresiasi ketimbang membuat bingung masyarakat dengan
mendeklarasikan sebagai Sultan yang hanya bermodalkan garis keturunan atau
nasab namun yang belum teruji secara kerangka hukum.
"Jumenengan atau menobatkan diri selaku
Sultan mestinya di lingkungan Keraton bukan di tempat lain, lucu saja
melihatnya," ujar Rohman, salah satu pedagang yang biasa berjualan di sekitar
alun-alun Kasepuhan.
Hal menarik dikatakan Kuasa Hukum
Raden Rahardjo Djali, Chandra Widyanto yang menduga tampilnya beberapa personal
yang mengklaim bangsawan Keraton sebagai Sultan Keraton Kasepuhan
Cirebon adalah salah satu upaya untuk mengaburkan tuntutan pihaknya kepada PRA
Luqman Zulkaedin yang saat ini menduduki tahta Sultan Kasepuhan.
"
Fenomena munculnya personal yang menobatkan
diri selaku Sultan Kasepuhan akhir-akhir ini jelas dapat membuat
masyarakat bertambah bingung. “Dan kami selaku kuasa hukum Raden Raharjdo Djali
menduga ini strategi dari saudara Luqman Zulkaedin selaku tergugat
untuk mengaburkan gugatan yang sudah kami layangkan di PN Cirebon
dengan nomer perkara 76/Pdt.G/2021/PN.Cbn, agar gugatan tidak
diterima. Hal ini bisa dilihat dari perangkat yang berperan dalam
penobatan sultan tak lain adalah mantan dari perangkat sultan sepuh sebelumnya
yang bertahta di Keraton Kasepuhan," ujar Chandra Widyanto seperti yang
dilansir dari media lokal.
Kepada Medikom,
Chandra Widyanto juga mempertanyakan itikad baik dari saudara Luqman Zulkaedin
yang tidak memiliki nyali, padahal hakim mediator meminta kedua pihak bertemu
untuk berdamai, namun ditolak pihak PRA Luqman Zulkaedin.
"Itikad baik dari saudara Luqman
Zulkaedin selaku tergugat patut dipertanyakan, boro boro mau ketemu Raden
Rahardjo Djali, upaya hakim mediator untuk meminta kedua pihak bertemu untuk
berdamai saja ditolak pihak PRA Luqman Zulkaedin," tandas Chandra
Widyanto.
Setali tiga uang hal yang sama diungkapkan salah
seorang pejabat Pemerintahan Kota Cirebon yang memiliki garis keturunan
keluarga Keraton Kasepuhan tersebut mengapresiasi upaya langkah hukum Raden
Rahardjo Djali dalam menyikapi konflik ini. Menurutnya, itu
memperlihatkan cara -cara bermartabat yang dapat menjaga kehormatan keraton
sebagai pemangku adat di tengah jaman milenial ini.
"Saya mendukung dan menghargai langkah
hukum Sultan Rahardjo Djali yang menggugat PRA Luqman Zulkaedin yang menobatkan
diri sebagai Sultan Sepuh XV. Hal ini mencerminkan sikap ksatria dan
bukti ia seorang warga negara yang taat pada hukum yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ini patut ditiru sebab sebagai salah seorang
pinangeran atau bangsawan keturunan keraton, Sultan Rahardjo Djali tetap dalam
kesadaran sebagai panutan masyarakat serta penyelesaian lewat jalur hukum
merupakan salah satu upaya menyelesaikan konflik sekaligus salah satu bentuk
hadirnya pemerintah melalui para hakim pengadilan yang
terhormat," ujarnya.
Raden Rahardjo Djali yang merupakan pengusaha
di berbagai bidang usaha termasuk bisnis property di Jakarta ini menegaskan,
siap melakukan langkah apapun namun tetap mengedepankan mekanisme serta
prosedur yang ada termasuk hukum adat yang berlaku.
"Saya siap melakukan langkah apa pun
namun dibenarkan melalaui aturan yang ada, misalnya menempuh upaya hukum yang
sedang berjalan saat ini. Bila perlu kami siap melakukan test DNA atau
bila perlu sumpah adat," ujar Rahardjo Djali melalui sambungan seluler.
Salah satu tokoh masyarakat lainnya
mengungkapkan, Keraton tetap harus terjaga kelestariannya, serta menjamin
keadilan bagi semua pihak yang berselisih. Masyarakat Cirebon juga memiliki hak
untuk mempunyai ikatin batin terhadap Keraton sebab Keraton adalah warisan
leluhur pendiri Cirebon bukan milik Sultan pribadi, keluarga dan keturunannya. "Keraton
dan semua aset sejarah itu merupakan milik masyarakat sekaligus aset bangsa
yang dilindungi undang-undang," pungkasnya.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer