Loading

Menelisik Dugaan Hilangnya Benda Pusaka dan Aset Keraton Kasepuhan Cirebon


Penulis: Hafidz/Editor: Mbayak Ginting
2 Tahun lalu, Dibaca : 1857 kali


Keraton Kasepuhan Cirebon. (Foto: Hafidz/Medikom)

CIREBON, Medikomonline.com - Gonjang ganjing perebutan tahta di Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat sejatinya tidak melupakan persoalan  serius lainnya yang terjadi di lingkungan keraton peninggalan Syekh Sunan Gunung Jati tersebut.

Seperti terkait pengelolaan Keraton Kasepuhan yang mencakup hal menejerial yang dinilai berbagai  kalangan tidak mengedepankan aspek transparansi serta mengungkap rumor terkait raibnya berbagai benda pusaka Keraton Kasepuhan yang sudah santer terdengar sejak dulu.

Keris, mata tombak pusaka peninggalan leluhur, meja marmer asli yang konon kini berada di tempat lain termasuk piring atau benda keramik lainnya yang memiliki nilai tinggi sebab berusia ratusan tahun dan benda berharga lainnya.   

Pun dengan aset Keraton Kasepuhan yang lepas atau berpindah tangan ke pihak luar seperti  tanah di berbagai tempat yang dulu milik Keraton Kasepuhan, namun kini banyak diklaim pihak  lain baik perorangan termasuk lembaga, tapi dalam proses pelepasan tanahnya tidak melalui mekanisme yang benar berakibat bocornya aliran uang ke mana-mana diduga ditilep oknum baik dari luar maupun oknum dari Keraton Kasepuhan itu sendiri.

Dalam pengelolaan Keraton Kasepuhan menggunakan manajemen panic, pasalnya Keraton bak dianggap perusahaan sendiri sehingga mengelola dengan orientasi profit tanpa menghiraukan pesan leluhur mereka terdahulu.

Diharapkan kepada pihak pemerintah baik pusat atau pemerintah daerah termasuk penegak hukum lebih maksimal perhatiannya. Pasalnya, Keraton atau cagar budaya adalah aset bangsa dan negara yang keberadaanya dirusak atau dimanfaatkan oleh oknum atau pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab demi kepentingan sendiri.  

Hal ini jelas langsung atau tidak langsung  PRA Luqman Zulkaedin selaku penerus tahta  mendiang ayahandanya yakni Pangeran Arif Natadiningrat. Ia harus bertanggungjawab atas carut marut persoalan yang ada di lingkungan Keraton Kasepuhan selama ini, termasuk pengungkapan babad peteng dan babad terang agar generasi mendatang khususnya masyarakat Cirebon yg berjuluk Kota Wali ini tidak terjebak pada polemik sejarah yang berkepanjangan.  Hal ini  terungkap dari beberapa tokoh masyarakat yang ingin masalah ini menjadi terang benderang sekaligus untuk pelurusan sejarah.

Kasultanan Kasepuhan Cirebon. (Foto: Hafidz/Medikom)

"Keraton Kasepuhan Cirebon memiliki history yang agung termasuk dalam penyebaran agama Islam khususnya di tanah Jawa termasuk memiliki peran yang penting dalam perjalanan bangsa ini merebut kemerdekaan. Namun kita prihatin terhadap tata kelola Keraton yang karut marut selama ini yang lebih mengedepankan egosentris," ujar salah seorang tokoh sejarah yang enggan disebutkan namanya itu kepada Medikom.

Pria tua yang memiliki garis keturunan dari Keraton Kasepuhan ini merasa prihatin atas  dugaan hilangnya benda-benda pusaka kerajaan serta banyaknya aset tanah milik Keraton Kasepuhan yang sudah berganti kepemilikannya melalui surat pelepasan tanah yang diterbitkan oknum Keraton, namun uang hasil pelepasan tanah tersebut masuk ke kantong pribadi atau kelompok. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak termasuk penegak hukum sebab jelas ini merupakan bentuk pelanggaran hukum.

"Hilangnya beberapa benda pusaka kerajaan yang berusia ratusan tahun dan memiliki nilai seni yang tinggi sebenarnya sudah santer terdengar sejak dulu termasuk keotentikan sebagian benda-benda peninggalan Keraton Kasepuhan yang diduga sudah tidak asli lagi sebab sudah dijual ke kolektor, ini harus ada perhatian serius dari semua pihak termasuk penegak hukum bila perlu bentuk tim independen yang terdiri dari para ahli agar jelas demi kebaikan kita bersama," tambahnya.  

Ia juga menyoroti banyaknya situs situs milik Keraton Kasepuhan yang terbengkalai serta kurang terawatt. Hal ini membuktikan kurangnya kepekaan pihak keraton terhadap cagar budaya yang seharusnya dilestarikan.  

"Kalau mereka mengaku keturunan keluarga keratin, hal seperti ini tidak harus terjadi dengan membiarkan dugaan hilang benda-benda  pusaka dan tidak terurusnya situs-situs yang merupakan cagar budaya, padahal anggaran dari berbagai pihak ada," kesalnya.

Adapun fenomena munculnya pihak -pihak atau perorangan yang mengaku sebagai Sultan Kasepuhan pasca Jumenengan Sultan Rahardjo Djali pada 18 Agustus 2021,  saat dirinya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh Aloeda II oleh keluarga besarnya tepat setahun setelah Luqman Zulkaedin dilantik sebagai Sultan Sepuh XV Keraton Kasepuhan Cirebon pada Minggu, 30 Agustus 2020 lalu itu dipandang  nyinyir oleh sebagian  kalangan termasuk masyarakat.

Pasalnya bak sinetron yang dapat membingungkan publik, dua nama terakhir  menobatkan diri sebagai Sultan Kasepuhan Cirebon yakni Santana Kesultanan Cirebon menggelar Deklarasi Pangeran Kuda Putih dengan gelar Sultan Sepuh Jaenudin II Singaraja dilaksanakan di Masjid At Tim, Komplek obyek wisata Sidomba Desa Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan pada Senin 27 Desember 2021 lalu.

Lalu muncul Sultan Sepuh Jayawikarta III, Pangeran Wisnu Lesmana Nugraha yang merupakan putra dari mendiang Pangeran Ilen Seminingrat pun mendeklarasikan diri sebagai Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon. Terakhir Raden Reza Pramudia yang merupakan pengusaha itu mengaku dirinya memiliki trah atau keturunan asli panembahan Girilaya dan menurut pengakuannya  ada yang memintanya untuk tampil menjadi Sultan Sepuh Cirebon agar polemik tidak semakin melebar .

"Ada yang meminta saya maju biar nggak makin ruwet," kata Raden Reza kepada media lokal. Terlepas dari apapun langkah hukum yang dilakukan Sultan Rahardjo Djali dalam menyangkut tahta Kasepuhan dengan menggugat  PRA Luqman Zulkaedin selaku Sultan Sepuh XV patut kita apresiasi ketimbang membuat bingung masyarakat dengan mendeklarasikan sebagai Sultan yang hanya bermodalkan garis keturunan atau nasab namun yang belum teruji secara kerangka hukum.

"Jumenengan atau menobatkan diri selaku Sultan mestinya di lingkungan Keraton bukan di tempat lain, lucu saja melihatnya," ujar Rohman, salah satu pedagang yang biasa berjualan di sekitar alun-alun Kasepuhan.

Hal menarik dikatakan  Kuasa Hukum Raden Rahardjo Djali, Chandra Widyanto yang menduga tampilnya beberapa personal yang  mengklaim bangsawan Keraton sebagai Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon adalah salah satu upaya untuk mengaburkan tuntutan pihaknya kepada PRA Luqman Zulkaedin yang saat ini menduduki tahta  Sultan Kasepuhan. "

Fenomena munculnya personal yang menobatkan diri selaku Sultan Kasepuhan  akhir-akhir ini jelas dapat membuat masyarakat bertambah bingung. “Dan kami selaku kuasa hukum Raden Raharjdo Djali menduga ini strategi dari saudara Luqman Zulkaedin selaku tergugat untuk  mengaburkan gugatan yang sudah kami layangkan di PN Cirebon dengan nomer perkara 76/Pdt.G/2021/PN.Cbn, agar gugatan tidak diterima.  Hal ini bisa dilihat dari perangkat yang berperan dalam penobatan sultan tak lain adalah mantan dari perangkat sultan sepuh sebelumnya yang bertahta di Keraton Kasepuhan," ujar Chandra Widyanto seperti yang dilansir dari media lokal.

Kepada Medikom, Chandra Widyanto juga mempertanyakan itikad baik dari saudara Luqman Zulkaedin yang tidak memiliki nyali, padahal hakim mediator meminta kedua pihak bertemu untuk berdamai, namun ditolak pihak PRA Luqman Zulkaedin.

"Itikad baik dari saudara Luqman Zulkaedin selaku tergugat patut dipertanyakan, boro boro mau ketemu Raden Rahardjo Djali, upaya hakim mediator untuk meminta kedua pihak bertemu untuk berdamai saja ditolak pihak PRA Luqman Zulkaedin," tandas Chandra Widyanto.

Setali tiga uang hal yang sama diungkapkan salah seorang pejabat Pemerintahan Kota Cirebon yang memiliki garis keturunan keluarga Keraton Kasepuhan tersebut mengapresiasi upaya langkah hukum Raden Rahardjo Djali  dalam menyikapi konflik ini. Menurutnya, itu memperlihatkan cara -cara bermartabat yang dapat menjaga kehormatan keraton sebagai pemangku adat di tengah jaman milenial ini.

"Saya mendukung dan menghargai langkah hukum Sultan Rahardjo Djali yang menggugat PRA Luqman Zulkaedin yang menobatkan diri sebagai Sultan Sepuh XV. Hal ini  mencerminkan sikap ksatria dan bukti ia seorang warga negara yang taat pada hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini patut ditiru sebab sebagai salah seorang pinangeran atau bangsawan keturunan keraton, Sultan Rahardjo Djali tetap dalam kesadaran sebagai panutan masyarakat serta penyelesaian lewat jalur hukum merupakan salah satu upaya menyelesaikan konflik sekaligus salah satu bentuk hadirnya pemerintah melalui  para hakim pengadilan yang terhormat," ujarnya.

Raden Rahardjo Djali yang merupakan pengusaha di berbagai bidang usaha termasuk bisnis property di Jakarta ini menegaskan, siap melakukan langkah apapun namun tetap mengedepankan mekanisme serta prosedur yang ada termasuk hukum adat yang berlaku.

"Saya siap melakukan langkah apa pun namun dibenarkan melalaui aturan yang ada, misalnya menempuh upaya hukum yang sedang berjalan saat ini. Bila perlu kami siap melakukan test DNA  atau bila perlu sumpah adat," ujar Rahardjo Djali melalui sambungan seluler.

Salah satu tokoh masyarakat lainnya mengungkapkan, Keraton tetap harus terjaga kelestariannya, serta menjamin keadilan bagi semua pihak yang berselisih. Masyarakat Cirebon juga memiliki hak untuk mempunyai ikatin batin terhadap Keraton sebab Keraton adalah warisan leluhur pendiri Cirebon bukan milik Sultan pribadi, keluarga dan keturunannya.   "Keraton dan semua aset sejarah itu merupakan milik masyarakat sekaligus aset bangsa yang dilindungi undang-undang," pungkasnya.



Tag : No Tag

Berita Terkait