Penulis: IthinK/Editor: Mbayak Ginting
5 Tahun lalu, Dibaca : 1954 kali
BANDUNG, Medikomonline.com–
Ironis, Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Jawa Barat Tahap II pada tahun 2019 lalu berakhir mangkrak.
Dengan
mangkarknya pembangunan gedung Disnakertrans Jawa Barat yang dikerjakan
kontraktor PT Luxindo Putra Mandiri dengan nilai kontrak Rp 6,5 milyar, secara
nyata tidak sesuai dengan tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menghasilkan
barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek
kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi dan penyedia.
Melihat
kondisi tersebut, Anggota Komisi IV DPRD Jawa Barat Drs H Daddy Rohanadi
menilai, Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans)
Jawa Barat Tahap II yang mangkrak sebagai potret buruk pengadaan barang/jasa
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. “Pasti begitu,” kata Daddy kepada Medikom di Bandung, Jumat (21/2/2020).
“Kalau kondisi ini
terus dibiarkan, apa yang akan terjadi? Tidak aneh kalau banyak proyek mangkrak
karena pelaksana proyek tak cukup lagi dananya,” kata Daddy yang menyayangkan mangkraknya
Pembangunan
Gedung Kantor Disnakertrans Jawa Barat tersebut.
Di sisi
lain kata Daddy yang berasal dari Daerah Pemilihan Kota Cirebon, Kabupaten
Cirebon dan Indramayu, sebuah perusahaan yang
di-blacklist mestinya beberapa tahun
tak boleh lagi ikut tender di mana pun. “Bukan hanya nama PT-nya, nama orangnya
pun diperlakukan begitu. Dengan demikian akan menjaga segala kemungkinan
terburuk,” tegasnya mengomentari sanksi yang harusnya dikenakan kepada kontraktor Pembangunan Gedung
Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Tahap II
yang tidak dapat menyelesaikan proyek sesuai dengan kontrak.
Daddy yang juga Wakil Ketua
Fraksi Gerindra DPRD Jawa Barat ini menilai, di Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah berpotensi muncul
masalah ketika penawar terendah menjadi pemenang. “Inilah masalahnya. Perpres
menyebutkan bahwa penawar terendah jadi pemenang tender. Itu bisa membuat banting-bantingan
harga. Lantas di mana letaknya kualitas yang diharapkan?” tanya Wakil
Ketua DPD Gerindra Jawa Barat ini.
Lagi pula lanjut
Daddy, ketika DPRD menyepakati APBD, Badan Anggaran yakin sepenuhnya bahwa
plafon anggaran untuk tiap pekerjaan sudah diperhitungkan dengan matang. “Lantas
bagaimana dengan kondisi banting harga di penawaran lelang? Pasti buntutnya di
penawaran, kualitas,” tegasnya.
Melihat kondisi
banting harga penawaran lelang ini, Daddy menyarankan Perpres Nomor 16 Tahun 2018
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah cepat direvisi. Kebijakan Perpres adanya di pemerintah pusat,
bukan ranah kewenangan DPRD Jawa Barat.
“Semestinya Perpres
16/2018 cepat direvisi. Dampaknya sangat membahayakan semua tingkatan. Kawan-kawan
di ULP hanya bisa melaksanakan karena mereka juga tak mungkin melakukan
penolakan terhadap Perpres,” tegas Daddy yang selalu tampil kritis sebagai
wakil rakyat.
“Saran saya, gunakan
nurani. Pikirkan bahwa pembangunan untuk seluruh masyarakat, bukan kepentingan
sebagian kecil orang. Perusahaan, termasuk nama pemimpinnya, yang sudah di-blacklist catat baik-baik dan dalam
waktu cukup panjang (lima tahun misalnya) tidak boleh lagi ikut tender di mana pun,”
ungkapnya mengingatkan para pejabat di Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan
Disnakertrans Jawa Barat.
“Perhatikan dengan
sangat-sangat dan sekali lagi sangat amat serius setiap SPH (surat penawaran
harga) yang nilainya tidak logis. Saya yakin ULP sangat mahir dalam hal ini. Sekali
lagi tolong gunakan nurani,” tegas Daddy mengingatkan kepada yang terkait
pengadaan barang/jasa Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
Sanksi ke
Kontraktor Tidak Jelas
Peraturan
Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah mengamanatkan bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
bertujuan untuk menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang
dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi dan
penyedia dengan menerapkan prinsip-prinsip efisien; efektif; transparan;
terbuka; bersaing; adil dan akuntabel.
Namun Ketua Umum Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) Mujahid
Bangun menilai tujuan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diamanatkan Perpres Nomor 16 Tahun 2018
tidak tercapai dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Daerah Provinsi
(Pemdaprov) Jawa Barat di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat. “Salah satunya
dalam proyek
Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II tahun
2019,” kata Mujahid kepada Medikom di
Bandung, Kamis (20/2/2020).
Sebagaimana diketahui
dalam hasil lelang tahun 2019 pada LPSE Jawa Barat, proyek Pembangunan Gedung
Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II dimenangkan oleh PT Luxindo
Putra Mandiri dengan nilai kontrak Rp 6,5 milyar.
Masih pada tahun
2019, PT Luxindo Putra Mandiri juga memenangkan dua paket proyek lagi, yaitu:
Pekerjaan Revitalisasi Taman Depan dan Taman Belakang Gedung Sate pada Biro
Umum, dengan nilai kontrak Rp 14,9
milyar dan Renovasi Gedung Creative Centre Kota Bogor pada Dinas Perumahan Dan
Permukiman Jawa Barat, dengan nilai kontrak Rp4,1 milyar.
“Semuanya ada tiga
paket yang dimenangkan oleh PT Luxindo Putra Mandiri pada tahun 2019 lalu di
lingkungan Pemprov Jawa Barat. Tapi ironisnya, ada satu paket proyek yang
dihentikan pengerjaannya sehingga mangkrak sampai sekarang, yaitu Pembangunan
Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II,” kata Mujahid yang
juga Ketua Satgas Anti Korupsi Forum Ormas Jawa Barat.
Mujahid menguraikan,
ada keanehan dalam penghentian pengerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II. “Soalnya, dasar penghentian pekerjaan
tersebut oleh pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat tidak jelas
sampai sekarang. Apakah penghentian pekerjaan PT Luxindo Putra Mandiri
berdasarkan kontrak berhenti karena terjadi keadaan kahar atau pemutusan kontrak?”
tanya Mujahid terheran.
Dijelaskannya, berkaitan dengan pelaksanaan
kontrak, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
Pasal 52 ayat (1) mengatur tentang Pelaksanaan Kontrak yang di antaranya pada
huruf g) mengatur Penghentian Kontrak dan Berakhirnya Kontrak, dan huruf h)
mengatur Pemutusan Kontrak.
Sedangkan dalam Peraturan LKPP Nomor
9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, dalam Lampirannya pada Bagian VII Pelaksanaan
Kontrak juga mengatur pelaksanaan kontrak, yang diantaranya pada huruf p)
Penghentian Kontrak atau Berakhirnya Kontrak, dan huruf q) Pemutusan Kontrak.
Lebih lanjut Mujahid
menjelaskan, Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun
2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia,
dalam Lampirannya pada Bagian 7.16.1
Penghentian Kontrak menjelaskan, bahwa kontrak berhenti apabila terjadi
dalam keadaan kahar.
Penghentian kontrak
karena keadaan kahar dilakukan secara tertulis oleh Pejabat Penandatangan
Kontrak dengan disertai alasan penghentian pekerjaan. Penghentian kontrak
karena keadaan kahar dapat bersifat sementara hingga keadaan kahar berakhir; atau permanen
apabila akibat keadaan kahar tidak memungkinkan dilanjutkan/diselesaikannya
pekerjaan.
Dalam hal kontrak dihentikan
karena keadaan kahar, maka Pejabat Penandatangan Kontrak wajib membayar kepada
penyedia sesuai dengan kemajuan hasil pekerjaan yang telah dicapai setelah
dilakukan pemeriksaan bersama atau berdasarkan hasil audit.
Perpres
Nomor 16 Tahun 2018 sendiri menjelaskan, Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang
terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan
sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak
dapat dipenuhi.
Masih
kata Mujahid yang dikenal sebagai aktivis anti korupsi tersebut, merujuk
Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia, dalam Lampirannya pada Bagian 7.17.1
Pemutusan Kontrak oleh Pejabat Penandatangan Kontrak, dijelaskan pada ayat:
huruf e, Penyedia gagal
memperbaiki kinerja setelah mendapat Surat Peringatan sebaganyak 3 (tiga) kali.
huruf g, Penyedia
lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki
kelalaiannya
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
huruf h, berdasarkan
penelitiaan Pejabat Penandatangan Kontrak, Penyedia tidak akan mampu
menyelesaikan
keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima
puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan
pekerejaan.
huruf i, setelah diberikan kesempatan
menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan,
penyedia barang/jasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan.
“Jika merujuk aturan di atas
mengenai alasan penghentian kontrak atau pun pemutusan kontrak harusnya dapat
dijelaskan oleh pejabat
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat terkait karena ada kosekuensi
hukumnya Jika pekerjaan dihentikan karena keadaan kahar tentu harus jelas
seperti apa keadaan kahar tersebut,” ujar Mujahid.
Sedangkan
jika penghentian pekerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II karena pemutusan
kontrak, tegas Mujahid lagi, ada konsekuensi hukum berupa sanksi kepada pihak
penyedia atau kontraktor PT Luxindo Putra Mandiri.
“Dalam
hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia, maka dilakukan:
1) Jaminan pelaksanaan dicairkan
2) Sisa uang muka harus dilunasi oleh
penyedia atau jaminan uang muka dicarikan
3) Penyedia dikenai sanksi Daftar
Hitam
Apakah pihak Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Jawa Barat telah mencairkan jaminan pelaksanaan, mencarikan
jaminan uang muka, dan mengenakan sanksi
Daftar Hitam kepada penyedia PT
Luxindo Putra Mandiri selaku pelaksana pekerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II?”
tegas Mujahid lagi.
Masih
kata Ketua Umum ARM, dalam Peraturan LKPP Nomor 17 Tahun 2018 tentang Sanksi Daftar Hitam Dalam
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Bagian Ketiga Tata Cara Penetapan Sanksi
Daftar Hitam, Pasal 8 menjelaskan,
Penetapan Sanksi Daftar Hitam dilakukan melalui tahapan yang meliputi:
a. pengusulan
b. pemberitahuan
c. keberatan
d. permintaan rekomendasi
e. pemeriksaan usulan, dan
f. penetapan
Merujuk pada aturan di atas, Mujahid mengatakan, ARM mendesak Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat segera menjelaskan secara terbuka apakah penghentian Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahap II disebabkan keadaan kahar atau pemutusan kontrak karena kesalahan penyedia (pemutusan kontrak-red). “Selanjutnya, dijelaskan juga sanksi yang telah diberikan kepada kontraktor,” ujar Mujahid.
Sementara Redaksi Medikom sendiri
sejak tanggal 10 Februari 2020 telah meminta penjelasan kepada Kepala Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat secara tertulis tentang penyebab
penghentian pekerjaan Pembangunan Gedung Kantor Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Tahap II beserta sanksi yang diberikan kepada kontraktor. Namun
sampai saat ini, Jumat (21/02/2020)
tidak ada tanggapan atau penjelasan dari pihak Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jawa Barat.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer