Penulis: Toto Suharya
4 Tahun lalu, Dibaca : 1208 kali
Oleh
Toto Suharya
(Kepala
Sekolah SMAN 1 CIpeundeuy Bandung Barat/Sekretaris DPP AKSI I)
“Saya
tidak pernah kalah berdebat kecuali dengan orang bodoh”. Selama Pak
Charismiadji mewakili orang cerdas, saya pasti selalu punya argumen selanjutnya
untuk mendebat. Jadi saya ingin sekali berdebat dengan Pak Charismiadi. Namun
jika berdebat dengan orang bodoh, otak saya pusing karena perdebatan berjalan
seperti tukang gali sumur semakin lama menggali semakin dalam dan tidak sadar
sudah berada di dalam sumur jauh dari realitas sosial.
Pernyataan-pernyataan
Pak Charismiadji yang tendensius ditangkap bukan hendak memperbaiki kulaitas
guru. Berpikir kritis bukan dengan mengutif pendapat orang atau karena mendapat
laporan kasuistis dari beberapa orang. Jika dia pengamat pendidikan hendaknya
melaporkan apa yang dia temukan berdasarkan hasil penelitian. Sebagaimana
dikatakan Prof. Cecep Darmawan banyak faktor yang memengaruhi kinerja guru.
Jika selama ini digadang-gadang pemerintah telah memberikan kesejahteraan
kepada guru, memang benar itu terjadi. Tetapi dari tiga juta lebih guru yang
ada tanpa membedakan ASN dan non ASN berapa yang sudah disejahterakan oleh
pemerintah.
Selain
itu faktor-faktor yang menyebabkan guru tidak berkualitas adalah Pengamat
pendidikan yang tidak berkualitas. Pengamat yang seperti tukang kompor atau
minyak wangi. Gembar-gembor supaya rame, semprot sana semprot sini supaya
wangi. Saya angkat topi untuk Prof Rhenald Kasali, saya sering dengar dia
mengkritik kampus, guru, tetapi dia berikan solusinya dengan membuat Rumah
Perubahan. Saya tidak pernah merasa
direndahkan sedikitpun oleh kritikan pedas Prof. Rhenald Kasali, karena saya
tahu dia sendiri menjadi pelaku pendidikan dan mengajak kepada semua melakukan
perubahan. Saya baca buku beliau bagaimana melakukan perubahan dalam pendidikan
dengan pembelajaran out the box menyuruh mahasiswa pergi ke luar negeri
berdasarkan keputusan pribadi tanpa campur tangan orang tua, kemudian
menuliskan hasil pengalaman seluruh mahasiswanya menjadi buku.
Menurut
saya selama berada di Indonesia tidak pernah ada kebijakan yang memuaskan.
Setiap kebijakan selalu menonjol di kiri mengempis di kanan. Orang selalu akan
menemukan banyak kelemahan dari setiap kebijakan. Demikian juga dari sebagian
guru yang sudah disejahterakan selalu ada yang belum optimal bekerja, dan itu
berapa persen? Bukan dengan beropini di media masa dengan fakta kasuistis,
lakukan sendiri penelitian jangan mengutif pendapat orang lain. Pengamat harus
punya data penelitian sendiri, agar semua pernyataannya bisa dipertanggung
jawabkan, bahkan diseminarkan bersama organisasi profesi guru, kepala sekolah dan
para pemegang kebijakan.
Kalau
tahu sepotong-spotong tentang dunia pendidikan jangan dulu menjual diri jadi pengamat.
Sudah berapa ribu guru yang diajak diskusi, sudah berapa ribu sekolah yang
diamati, sudah berapa kepala sekolah yang diajak berdialog? Apakah sudah pernah
home visit ke rumah-rumah guru di pinggiran kota, pedesaan, di daerah
perbatasan? Tong sangenahna. Masih banyak guru yang hidup di bawah garis
kemiskinan bahkan di bawahnya lagi. Ketika saya diberi kesempatan bertemu
dengan guru-guru PAUD, miris sekali honor mereka 50-250 ribu per bulan, dan ada
yang sudah berjalan belasan tahun.
Hemat
saya bicara tentang kualitas guru, masalahnya tidak selesai di pribadi atau
profesi guru itu sendiri. Coba liat siapa yang produksi guru. Siapa yang
ciptakan regulasi tentang guru. Lalu bagaimana kebijakan lembaga-lembaga yang
Kelola guru. Lalu siapa selama ini yang jadi guru? Kalau guru di Finlandia
layak menurut saya untuk di kritik pedas, karena mereka lahir dari lembaga
pendidikan terbaik, hasil regulasi dan para pembuat regulasi yang baik. Di
indonesia mah, nu borok ngarorojok nu borok, jadi boroknya tidak
sembuh-sembuh. Jadi, harus banyak mengungkap kebaikan agar jadi opini dan pola
pikir masyarakat.
Kata
teman sejawat, apa yang dikatakan Charismiadji, ada benarnya 50%, ada salahnya
50%. Tidak usah sewot, jadikan saja sebagai pelajaran untuk kita guru-guru
semua. Soal ketertinggalan pendidikan Indonesia, itu PR besar Mas Menteri.
Banyak pelajaran saya dapat dari dunia pendidikan, saya dapatkan langsung dari
guru-guru, siswa, orang tua, serta mereka yang peduli dunia pendidikan. Bukan
dari pengamat yang teriak-teriak menggunakan corong media. Baiknya kita
buktikan saja, suruh pengamat terjun ke lapangan, berdebat, dan mengalami
langsung apa yang terjadi sehari-hari dalam dunia pendidikan. Biar sudut
pandangnya menjadi holistik dan tahu dimana akar permasahalan dunia pendidikan
kita. Seribu persen saya tidak percaya satu orang menteri bisa menyelesaikan
masalah pendidikan. Kecuali setiap orang harus jadi sebagaimana seorang menteri
yang mau menyelesaikan masalah di dunia pendidikan. Wallahu’alam. ***
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer