Penulis: Iim Imandala
4 Tahun lalu, Dibaca : 1590 kali
Oleh Iim Imandala
Ph.D. Candidate di Nanjing Normal University
(NNU) Tiongkok dan Guru SLBN Cicendo Kota Bandung
Pengurus Pusat Ikatan Guru Pendidikan Khusus (IGPKhI)
Confusius
Confusius (770-476 SM) seorang guru bangsa bagi rakyat Tiongkok, bahkan
dunia internasional pun mengenalnya melalui pemikiran-pemikiran yang telah
banyak mempengaruhi dunia pendidikan. Bangsa Tiongkok berhasil mengkristalisasi
buah karya Confusius menjadi salah satu landasan filosofis dalam kehidupan dan
dalam praktik bernegara. Melalui kitab yang diberi nama Li Ji (Kitab Hak Asasi)
telah menjadi pedoman filosofis untuk pendidikan di Tiongkok. Nilai-nilai
budaya edukatif banyak digali dari kitab tersebut dan dianggap masih relevan
hingga masa kini. Confusius dalam kitab tersebut menulis pula tentang hak-hak
bagi penyandang disabilitas, salah satunya adalah hak untuk memperoleh
pendidikan[1]. Lebih jauh lagi, dalam kita Li Ji itu dituliskan pula bagaimana
hak penghidupan bagi penyandang disabilitas. Hak penghidupan tersebut berupa
pekerjaan yang harus didukung oleh penguasa/pemerintah dan harus didukung oleh
sistem sosial pada masa itu[2]. Meskipun demikian, dalam kenyataan saat itu,
konsep atau gagasan Confusius belum dapat diterima dan dijalankan oleh
masyarakat dan penguasa pada masa itu. Hanya sebagian kecil masyarakat yang
dapat mewujudkannya, yaitu para murid dan pengikut setia Confusius.
Berdasarkan manuskrip kitab bersejarah tersebut, bangsa Tiongkok patut
berbangga karena secara otentik sejak sebelum masehi sudah memiliki pemikiran
maju untuk memenuhi hak pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas. Yang
dan Wang meyakini bahwa bangsa negeri tembok raksasa lebih maju 2000 tahun di
banding bangsa Eropa dalam pemikiran hak penyandang disabilitas[3]. Para ahli
pendidikan khusus terus menggali nilai-nilai edukatif dalam kitab Li Ji,
terutama dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif.
Menghargai perbedaan kemampuan, meyakini setiap orang memiliki potensi, dan
persamaan hak dalam hukum merupakan beberapa nilai yang berhasil digali dalam
kita Li Ji. Kemudian nilai-nilai itu dijadikan landasan dalam implementasi
pendidikan bagi penyandang disablitas[4]. Dalam konteks mutakhir saat ini,
nilai-nilai itu dikaitkan dengan pendidikan inklusif. Pakar pendidikan dan
departemen pendidikan tidak banyak mengikuti model pendidikan inklusif yang
datang dari Western, tapi lebih fokus implementasi nilai budaya dalam sistem
pendidikan inklusif. Apa yang dapat dilakukan saat ini, meskipun belum full
inclusion, maka dilakukan. Meskipun hanya sanggup menerima dan hanya inklusif
parsial, maka lakukanlah. Fokusnya adalah pemenuhan hak pendidikan sesuai
nilai-nilai kitab Li Ji.
Deng Xiao Ping
Mantan pemimpin tertinggi bangsa Tiongkok, Deng Xiao Ping (1904-1997),
pernah berkata, “Tidak peduli kucing itu hitam atau putih yang penting bisa
menangkap tikus”. Rupanya ucapan tersebut telah menjadi landasan berbagai
kebijakan pemerintah Tiongkok, tidak hanya berkaitan dengan bidang ekonomi dan
perdagangan, namun telah menginspirasi pula dalam kebijakan pendidikan di
Tiongkok. Termasuk telah menginspirasi kebijakan pendidikan bagi anak-anak
berkebutuhan khusus. Jika ucapan Deng Xiao Ping itu ditafsirkan dalam konteks pendidikan
bagi anak-anak berkebutuhan khusus maka artinya semua anak-anak berkebutuhan
khusus harus sekolah, walau bagaimana pun kondisinya yang penting masih
memiliki potensi.
Ucapan mantan pemimpin Tiongkok itu bukan omong kosong, faktanya memang
benar telah menghasilkan perubahan dalam dunia pendidikan bagi anak-anak
penyandang disabilitas usia sekolah. Menurut Pang dan Richey, pada tahun 1970an
ada 20% dari populasi anak penyandang disabilitas yang telah bersekolah,
kemudian terus meningkat. Pada tahun 2006 sebanyak 55% anak penyandang
disabilitas telah bersekolah[5]. Anak-anak tersebut ada yang bersekolah di
sekolah luar biasa (SLB), ada pula yang sekolah di sekolah reguler. Angka
tersebut akan terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya, terutama pada masa
kepemimpinan Xi Jin Ping tahun 2013 hingga 2016 mencapai angka sedikitnya 66%
dari populasi anak-anak penyandang disabilitas usia sekolah[6]. Bahkan prediksi
tahun 2019 bisa mencapai 80% hingga 90%. Pertambahan itu pun bersamaan dengan
pendirian sekolah luar biasa di seluruh wilayah Tiongkok. Tercatat oleh
departemen pendidikan Tiongkok hingga tahun 2015 terdapat lebih dari 600.000
unit sekolah reguler berbagai satuan pendidikan dan SLB sebanyak lebih dari
1500 unit. Pembangunan fasilitas pendidikan terus digenjot yang penting semua
anak bisa memperoleh haknya untuk sekolah.
Dampak lainnya yang masih terasa hingga saat ini adalah terhadap kebijakan
pendidikan inklusif yang berlangsung di Negeri Panda ini. Kebijakan Kementrian
pendidikan lebih menekankan yang penting semua sekolah reguler menerima semua
jenis anak berkebutuhan khusus, mengenai model layanannya dapat menyesuaikan
dengan kondisi anak dan daya dukung fasilitas, serta sumber daya manusia yang
dimiliki oleh sekolah. Kebijkan tersebut dilandasi juga oleh masih sedikitnya
SLB yang ada di Tiongkok, sedangkan keberadaan anak berkebutuhan khusus
tersebar di seluruh wilyaha negeri. Oleh karena itu, sekolah reguler wajib
menerima anak berkebutuhan khusus untuk dididik bersama anak-anak pada umumnya.
Situasi tersebut membutuhkan bentuk layanan pendidikan atau pembelajaran yang
dapat mengakomodir kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus.
Layanan yang lebih banyak dilakukan sekolah reguler hingga saat ini adalah
menyediakan ruangan khusus di dalam lingkungan sekolah dan mendatangkan guru
khusus. Layanan seperti demikian dianggap paling akomodatif saat ini. Melalui
layanan tersebut, anak-anak berkebutuhan khusus, pada waktu-waktu tertentu
belajar bersama dengan teman sebayanya di kelas yang sama dengan pelajaran yang
sama, didampingi atau tidak dampingi oleh guru khusus. Pada waktu tertentu pula
mereka ditarik ke ruang atau kelas khusus untuk belajar bersama guru khusus.
Layanan pendidikan dan pembelajaran ini terus berproses menuju kondisi yang
lebih baik, hingga menemukan model layanan yang ideal bagi semua anak, tidak
hanya untuk anak-anak berkebutuhan khusus saja.
Penutup
Pemikiran Confusius dan Deng Xiao Ping terus mengalami evolusi dan revolusi
menjadi landasan kajian filosofis dan teoritis. Buah pemikiran yang tidak
sembarang itu diharapkan menjadi berwujud implementatif praktek-praktek terbaik
dalam konteks pendidikan untuk semua anak. Generasi saat ini dan para pakar
perlu mengimbangi adanya kebutuhan daya dukung fasilitas pendidikan, sumber
daya pendidik, tata kelola sistem pendidikan, kesiapan anggaran pendidikan, dan
inovasi model pembelajaran. Tentunya itu semua membutuhkan waktu yang panjang,
namun melalui aksi nyata meskipun hanya langkah kecil, tentunya sangat berarti
menuju perubahan yang lebih baik dan akan sampai pada waktunya.
Sumber: iimimandala.gurusiana.id
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer