Loading

TITIK TERANG: Repatriasi Warisan Budaya, Saatnya Indonesia Berdiri Tegak dalam Kedaulatan Kebudayaan


Penulis: Sabda Pewaris Nusantara
1 Bulan lalu, Dibaca : 179 kali


Gambar & Tulisan Hak Cipta oleh Sabda Pewaris Nusantara

Oleh Sabda Pewaris Nusantara


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan leluhurnya”. Kalimat klise ini kerap terdengar, tetapi maknanya kini menjadi semakin relevan di tengah perjuangan panjang pengembalian aset dan warisan budaya Indonesia yang dijarah selama masa kolonialisme.

Kebudayaan tidak hanya identitas bangsa, tetapi juga tulang punggung kedaulatan. Hal ini telah diingatkan jauh-jauh hari oleh Bung Karno lewat gagasan Trisakti—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tiga pilar inilah yang semestinya menuntun arah pembangunan Indonesia yang berkemajuan.

Dalam konteks kekinian, warisan budaya bukan sekadar simbol, melainkan jejak intelektual peradaban. Kehilangan artefak, naskah kuno, atau karya seni tradisi berarti kehilangan mata rantai pengetahuan dan jati diri bangsa. Tragisnya, selama ratusan tahun, Indonesia justru kehilangan begitu banyak benda warisan budayanya akibat praktik kolonialisme yang mengatasnamakan “riset ilmiah” atau “hadiah diplomatik”.

Dalam geografi sakral, beragam jenis landskap dipahami sebagai kompleks simbolik yang terkait dengan ke-khas-an negara, ideologi agama, dan etika masyarakat yang berbeda. Bahkan dalam kasus-kasus ketika kita berurusan dengan agama universalis dan ekumenis, perwujudan nyata agama tersebut pada suatu bangsa, ras, atau negara tertentu akan disesuaikan dengan konteks sakral-geografis setempat.” (Tulisan Alexander Dugin “From Sacred Geography to Geopolitics” yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Jafe Arnold dan John Stachelski.- Dari Geografi Suci hingga Geopolitik.)

Multiculture ke-khas-an negara terlihat dari berbagai hasil pemikiran adi luhung dalam khasanah warisan budaya (Cultural Heritage), ini kebanyakan berisi tentang informasi tradisi, seni dan budaya Nusantara. Dan Jelas sekali Kebudayaan, Indonesia sudah mempunya ciri khas dan identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lainnya. Tidak kebarat-baratan atau tidak ketimur-tengahan, tetapi Indonesia dengan beragam kebudayaannya, yang disarikan dalam Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Pasal 32 dalam Ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya ”.

Salah satu tragedi kebudayaan terbesar adalah peristiwa PERAMPASAN WARISAN BUDAYA KERATON NGAYOGYAKARTA, di mana warisan budaya (Culture Heritage) peradaban dan kebudayaan ilmu pengetahuan dan teknologi Nusantara yang sudah kumpulkan beradab-abad lamanya yang tersimpan di perpustakaan keraton Yogyakarta dirampas dalam peristiwa Geger Sepehi di tahun 1812 oleh kerajaan Inggris di bawah perintah Lentnan Jenderal Thomas Stamford Raffles.

Dalam publikasi di media Sri Sultan Hamengkubuwono ke X yang selaku Raja yang memerintah sekarang, juga mengatakan bahwa peristiwa perampasan di Keraton Geger Sepehi 1812 tersebut berlangsung selama 5 hari lamanya, dengan mempergunakan gerobak untuk membawa semua benda-benda bersejarah, ilmu pengetahuan, teknologi dan harta benda di keraton yang merupakan warisan dari kerajaan Mataram. Peristiwa perampasan ini, atas perintah Lentnan Jenderal Thomas Stamford Raffles dan juga menjabat sebagai Direktur Batavian Society of Arts and Sciences. (Wieske Sapardan Independent Researcher [email protected] Translation by: Wieske Sapardan Edited by: Panggah Ardiyansyah and Heidi Tan, Pratu Editorial Team (Handling editors) Received 9 February 2021; Accepted 14 August 2021; Published 23 May 2023 The author declares no known conflict of interest) 

Sir Thomas Stamford Raffles lalu menerbitkan buku dua jilid berjudul History of Java pada tahun 1817. Karena dia memiliki minat yang besar pada "apapun yang berkaitan dengan pengetahuan dan sejarah pulau-pulau di Hindia Timur." Kajiannya beserta dokumentasi tentang pertanian, arsitektur, budaya, dan cara hidup masyarakat di Jawa dimuat dalam buku History of Java, sementara banyak benda yang ia kumpulkan dan gambar-gambar yang dibuat oleh anggota timnya kini menjadi bagian dari koleksi British Museum dan British Library. 

Tak diragukan lagi bahwa orang-orang Eropa kala itu menganggap arca batu Buddha dan Hindu dari Jawa sebagai benda antik karena arca-arca ini menunjukkan keagungan peradaban kuno dari orang-orang yang membuatnya. Pada saat orang Eropa mulai mengenal arca batu dari Jawa pada akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19. 

Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10 kembali mempertegas, bahwa dalam peristiwa Geger Sepehi 1812 tersebut, keraton di kosongkan, dan semua harta bendanya di rampas, baik itu artefak, lukisan, manuskrip, emas, surat-surat Tanah, hingga kas operasional keratonpun dirampok. Maka dapat dimaknai bahwa peristiwa “Geger Sepehi tahun 1812 “ ini merupakan tragedi yang menenggelamkan dan menguburkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Sejarah Peradaban kebudayaan Jawa khususnya dan Nusantara umumnya, dan paska peristiwa “Geger Sepehi 1812” ini, membuat generasi berikutnya berada dalam kegelapan, sebab lentera cahaya Ilmu pengetahuan dan teknologinya yang padam, sehingga berdampak sangat besar sekali dalam memutus rantai rangkaian warisan ilmu pengetahuan dan teknologi pada generasi berikutnya. Secara secara phisikologi melahirkan mental Inferior (masyarakat bermutu rendah yang terjajah), minder, kemandirian dan ketangguhan nya hilang dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat di dunia Internasional . (Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Carey, Peter. 2017. Inggris di Jawa 1811- 1816. Jakarta: Kompas. Marihandono, Djoko dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamengkubuwono II. Yogyakarta: Banjar Aji.) 

Sehingga sebagai sebuah bangsa dan negara merdeka, “Indonesia HARUS meminta pemulangan (REPATRIASI) benda-benda warisan budaya yang menjadi sumber kebanggaan bangsa” dan “memiliki kontribusi besar bagi penguatan kesadaran nasional penduduk nusantara yang sangat majemuk

Sebagian besar dari benda-benda itu kini tersebar di berbagai museum Eropa, terutama British Museum dan British Library. Pengembalian atau repatriasi benda-benda warisan budaya Indonesia, baru terjadi secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir, salah satunya melalui program dekolonialisasi pemerintah Belanda. Namun, ini barulah permulaan. Masih banyak warisan leluhur Nusantara yang belum kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Dalam debat calon presiden 2024, Prabowo Subianto secara tegas menyuarakan urgensi pembentukan Kementerian Kebudayaan yang mandiri. Pernyataan ini membuka harapan baru bagi para pegiat budaya dan akademisi yang selama ini mendesak agar kebudayaan tidak dipinggirkan dalam agenda pembangunan nasional.

Data BPS menyebutkan Indonesia memiliki 742 bahasa daerah, 478 kelompok etnik, dan lebih dari 66.000 cagar budaya bergerak. Kekayaan ini tak mungkin dikelola secara optimal tanpa struktur kelembagaan yang fokus dan strategis.

Dalam ranah internasional, repatriasi benda budaya tidak hanya menjadi isu moral, tetapi juga alat diplomasi dan penguatan identitas nasional. Sejak keluarnya Plea for the Return of Irreplaceable Cultural Heritage oleh UNESCO pada 1978, banyak negara bekas jajahan mulai menuntut pengembalian artefak mereka dari museum kolonial di Barat.

Indonesia, sebagai negara adidaya dalam kebudayaan, patut menempuh langkah yang sama secara sistematis. Permintaan repatriasi harus disertai dengan bukti akademik, diplomasi budaya, serta kesadaran bahwa setiap benda warisan budaya memiliki nilai tak ternilai secara ekonomi dan spiritual.

Dan peristiwa Pengembalian (Repatriasi) warisan budaya dalam Program Decolonialisasi baru dalam 3 tahun terakhir oleh Belanda dengan memulangkan secara berangsur-angsur hasil warisan budaya Indonesia. Sementara Inggris baru memberikan copydigital  manuskripnya saja .

Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) yang digelar Ditjen Kebudayaan pada Maret 2024 menghasilkan rekomendasi penting: 

untuk mendorong Kementerian Kebudayaan yang mandiri, serta penguatan strategi nasional repatriasi budaya. Dalam konteks geopolitik budaya, Indonesia harus melihat warisan leluhur sebagai modal sosial dan intelektual yang strategis untuk masa depan.

Kita perlu menegaskan kembali bahwa kebudayaan bukan hanya urusan masa lalu, melainkan pondasi peradaban masa depan. Negara wajib hadir melalui regulasi, kelembagaan, dan diplomasi yang tangguh dalam menjaga dan mengembalikan warisan budaya bangsa.

Karena bangsa yang tidak mengenal sejarahnya, akan mudah ditaklukkan oleh bangsa lain. Kini, saatnya Indonesia bangkit dan berdiri tegak dalam kedaulatan kebudayaan. Warisan leluhur bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dibela dan diperjuangkan.

Kebudayaan bukan hanya panggung pertunjukan, melainkan medan perjuangan. Repatriasi adalah bagian dari membangun martabat dan kedaulatan bangsa. Jika sejarah pernah menjadi milik penjajah, maka kini saatnya kita menulis sejarah kita sendiri—dengan penuh harga diri.

Tag : No Tag

Berita Terkait