Loading

Presiden, KPK, dan DPR


Yayat Hendayana
4 Tahun lalu, Dibaca : 586 kali


Oleh YAYAT HENDAYANA

                               

UPAYA untuk melemahkan KPK semakin gencar dilakukan. KPK, dan banyak pihak lainnya di masyarakat, menganggap revisi UU No. 30 Tahun 2002 yang dilakukan atas inisiatif DPR terang-terangan merupakan upaya DPR untuk melemahkan KPK. DPR akan melakukan revisi terhadap pasal-pasal yang selama ini dirasakan oleh KPK sebagai sebuah payung hukum yang membuat KPK kuat dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga antikorupsi. Katanya, pasal-pasal yang dianggap memposisikan KPK terlalu kuat itulah yang akan direvisi DPR.

Sebagian besar masyarakat yang kadung menganggap DPR sebagai lembaga yang korup (sekalipun korupsi di DPR yang kerap diberitakan media massa hanya dilakukan oleh oknum anggota DPR) tentu berpendapat bahwa revisi undang-undang KPK itu memang bertujuan untuk melemahkan KPK, agar kegiatan korupsi yang sering terjadi di lembaga itu tidak terlalu mudah terbongkar. KPK memanfaatkan sikap sebagian besar masyarakat itu, khususnya lembaga-lembaga antikorupsi, untuk melawan upaya DPR untuk merevisi undang-undang tentang KPK yang dianggap sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Salah seorang Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menggeraakkan karyawan KPK untuk menutup nomenklatuur KPK dengan kain hitam sebagai tanda berkabung.

Entah siapa yang menggerakkan, tiba-tiba sejumlah orang yang menamakan dirinya pendukung revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, berdemonstrasi di halaman KPK agar kain hitam penutup nomenklaturr KPK itu dicopot. Bentrokan tentu saja tidak bisa dihindarkan. Demonstran pendukung revisi undang-undang KPK itu konon bertindak brutal. Buntut dari peristiwa itu adalah, pengunduran diri Saut Situmorang sebagai Wakil Ketua KPK dan penyerahan pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi yang sudah membuat surat ke DPR menyetujui upaya revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh DPR. Menurut Mensesneg Pratiknyo, Presiden Jokowi merespon dengan baik keinginan pimpinan KPK itu. Pertemuan itu bisa jadi sudah berlangsung ketika tulisan ini sudah dipublikasikan.

Sebagian besar rakyat yang berpendapat bahwa revisi UU 30/2002 tentang KPK itu merupakan upaya DPR untuk melemahkan KPK, sangat mengharapkan agar presiden turun tangan untuk mencegah upaya pelemahan KPK itu. Presiden Jokowi memiliki wewenang untuk mencegah agar DPR tidak berniat melemahkan KPK dengan upaya revisi UU KPK itu. Presiden melalui kedua menteri yang ditugasinya mewakili pemerintaah untuk mengawasi DPR dalam melakukan revisi UU KPK itu, dapat mencegah agar DPR tidak merevisi pasal-pasal yang membuat KPK kuat.

Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa pemerintah setuju agar KPK  mempunyai lembaga Dewan Pengawas, yang mengawasi kinerja KPK. Tetapi ia tdak menyepakati rencana DPR untuk merevisi pasal-pasal lainnya yang membuat KPK kehlangan independensinya. Kita tunggu kelanjutan dari sikap DPR yang terkesan melancarkan perang kepada KPK. Sikap itu terlihat dari langkah yang dilakukan DPR dalam menetapkan Irjenpol Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023, padahal pimpinan KPK periode 2015-2019 menyatakan bahwa ia bermasalah.

Pertentangan antarlembaga itu kian meneguhkan sangkaan banyak pihak bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang sulit dipersaatukan. Di tingkat bawah, apalagi di tingkat akar rumput, keteladanan itu menjadi sangat penting. Kita sudah lama kehilangan tokoh panutan yang sikap kesehariannya pantas untuk diteladani. Sekarang ini, perseteruan sesama elit seringkali ditampilkan secara demonstartif. Perebutan kursi ketua partai saja, yang seharusnya bisa diselesaikan dalam kongres, perseteruannya malah justru ditunjukkan kepada publik jauh sebelum pemilihan resmi berlangsung.***

Dr. Yayat Hendayana

pengajar pada program

sarjana dan pascasarjana Unpas.

 

 

 

 

Tag : No Tag

Berita Terkait