Loading

Wariskan Ketauladanan


Agil Nanggala, S.Pd.
4 Tahun lalu, Dibaca : 666 kali


Selepas jabatan Presiden dimenangkan oleh Koalisi Indonesia Kerja, isu menarik saat ini adalah perebutan jabatan pimpinan MPR, terutama Ketua MPR. Menjadi rahasia umum saat Orde Baru, posisi Ketua MPR sangatlah sakti, karena Ketua MPR sangat berperan dalam suksesnya pemilihan Presiden kala itu, pun saat ini, walau MPR tidak memiliki kewenangan strategis, tetapi posisi pimpinannya menjadi daya tarik tersendiri, bagi elit politik untuk menduduki jabatan tersebut.

 

Pelajar untuk semuanya

Usainya kepentingan Pilpres, membuat dua koalisi yang mengikuti kontestasi pemilu 2019 bubar, kini setiap partai yang memiliki kepentingan berbeda saling melakukan komunikasi politik, guna melancarkan tujuan politiknya. Sehingga tidak ada sekat, antara partai politik yang berbeda sikap politik pada Pilpres beberapa waktu yang lalu, mengakibatkan beberapa pendukung pasangan calon kecewa, terhadap sikap politik yang diambil oleh partai politik tertentu.

Fenomena politik tersebut memberikan pelajaran yang sangat membekas pada masyarakat kita, untuk apa kita mati-matian membela calon Presiden tertentu, ketika pada akhirnya politik itu pragmatis, sesuai waktu dan kepentingan. Jika kita cermati lebih dalam,  apakah sikap membela mati-matian tersebut, memiliki keuntungan bagi kehidupan kita, dengan ditinjau dari berbagai aspek. Kita tidak boleh lupa, kemajuan teknologi saat ini, melahirkan konsep “jahatnya rekam jejak digital”.

Mudahnya masyarakat kita untuk terjerumus pada isu sensitif, menjadi peluang politik, dalam mengagitasi kepentingan politik tertentu, akibatnya tidak sedikit fakta lapangan yang menegaskan, relanya masyarakat kita untuk melakukan apapun, guna memastikan kemenangan idola politik mereka. Dipenjara akibat menyebarkan hoax, saling baku hantam, kerusakan sarana publik, isu mayoritas dan minoritas, mencaci dan mencela, dan masih banyak lagi.

Menjadi bias dimana letak partisipasinya, apakah benar mendeskripsikan “keceredasan” masyarakat dalam berpolitik, atau hanya “dimanfaatkan”, oleh oknum dalam meraih suara terbaik publik. Wallahualam Bissawab, hanya Allah SWT yang sesungguhnya maha mengetahui, tugas kita hanya bertanya kepada hati nurani, tentang iya atau tidaknya jawaban dari masalah tersebut.

Kontestasi politik memang merupakan sarana dalam mengeluarkan eskpresi politik warga negara, tetapi bukan ranah untuk saling mencela, kiranya kita harus memahami, bahwa mengeluarkan ekspresi politik harus menggunakan cara-cara yang beradab. Dengan rasionalitas, kita bangsa berkarakter dan berbudi pekerti luhur, serta telah sepakat untuk hidup rukun, saling menghormati, menghargai untuk hidup bersama dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Masyarakat harus menerima kondisi bangsa Indonesia yang majemuk, dengan disulut oleh isu sara saja, akan terjadi konflik horizontal, baik verbal maupun non verbal. Apalagi ketika musim politik, yang membuat semua isu menjadi serba sensitif, tentu merupakan kewajiban bersama dalam menjaga keutuhan bangsa, melalui cara kita dalam berperilaku, karena politik itu lima tahunan sedangkan kebangsaan itu abadi.

Inilah yang harus menjadi perhatian kita, semua harus memiliki pikiran yang logis dan hati yang lapang, dalam melewati tahun politik, menjaga persatuan, kesatuan dan kestabilan negara adalah prioritas utama. Seperti yang ditegaskan di atas, bahwa rekam jejak digital merupakan fenomena yang dapat merugikan diri sendiri, tentu kita tidak ingin menghancurkan kehidupan kita karena dukungan politik buta.

Berbeda pilihan politik merupakan hal biasa, karena hal tersebut merupakan indikator warga negara aktif dalam melaksanakan partisipasi publik, tetapi perlu kita garis bawahi, bahwa mendukung harus diiringi dengan kecerdasan kita. Menjadi kewajiban kita bersifat secara objekif dalam mengamati pemangku kebijakan mengelola negara, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Kristis bukan berarti membenci,  pun arogansi bukanlah solusi.

                    

 

 

Memberi Tauladan

            Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanah dari Undang-Undang Dasar, jika dianalisis secara mendalam, mencerdaskan kehidupan bangsa biasa melalui pendidikan formal maupun non formal, yang dijelaskan secara rinci melalui penjewantahan Undang-Undang Dasar tersebut, yaitu Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

            Tetapi begitu banyaknya kendala dalam pemerataan pendidikan, menjadi problematika klasik negeri ini, sehingga masih banyak masyarakat kita yang belum terpenuhi haknya akan program wajib pendidikan. Hal tersebut berakibat pada gampangnya masyarakat kita untuk terjerumus pada konflik tidak produktif, yang kesempatannya terbuka lebar saat negara melaksanakan pesta politik lima tahunan.

            Semua masalah memiliki solusi, selain program pemerataan pembangunan yang dilaksanakan oleh pihak yang berwenang, tentu politisi sebagai tokoh masyarakat harus mampu memberi ketauladanan, agar dijadikan model berprilaku oleh para pendukungnya. Faktanya yang selalu dipertontonkan masyarakat adalah orientasi kekuasaan, serta berdasar pada kepentingan, sehingga masyarakat pun menjadi jenuh, bahkan ikut mempraktikan karakter tersebut, dalam kehidupannya sehari-hari.

            Lawan jadi kawan, kawan saling berintrik, seperti dipertontonkan dengan sengaja kepada masyarakat, walau dalam politik tidak ada yang abadi, setidaknya deskripsikanlah sifat-sifat kesatria, menang tidak jumawa, kalah tidak saling meninggalkan. Terlihat pada pemilihan pimpinan MPR, yang mulai dipenuhi oleh intrik politik, pemilihan pimpinan MPR seharusnya menggunakan mekanisme musyawarah untuk mufakat, dengan rasionalisasi romantisme sejarah, serta menempatkan Pancasila di atas segalanya.

            Kurang etis apabila pemiihan pimpinan MPR dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme voting, berarti makna mengaplikasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, hanyalah sebatas jargon belaka. Jangankan rakyatnya, tokoh bangsanya pun hilang idealismenya untuk menjaga nilai-nilai Pancasila, maka jangan heran sampai kapan pun konstestasi politik, akan dipenuhi konflik tidak produktif, karena tokoh bangsanya pun selalu pragmatis.

Pemilihan pimpinan MPR, bukanlah lagi berbicara mengenai pembagian kursi, baik koalisi maupun opisisi, seharusnya menempatkan kedudukan pimpinan MPR sebagai kedudukan yang merepresentasikan nilai luhur Pancasila. Sehingga setiap partai politik wajib menurunkan egonya, serta benar-benar mencari siapa yang paling tepat dalam mengisi kursi piminan MPR, karena tugasnya berat, menjaga Pancasila, Undang-Undang Dasar, dan keutuhan NKRI.

Apabila semua dilandaskan pada kepentingan bangsa, tentu akan selesai melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat, kita lihat saja nanti, bagaimana kelanjutan drama pemilihan pimpinan MPR ini. Kiranya tokoh bangsa berkewajiban dalam memberi ketauladanan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam ikut serta mencerdaskan masyarakat, karena tokoh yang lebih dikenang masyarakat bukan dengan cara apa dia mendapatkan kekuasaan, tetapi bagaimana dia menjaga integritasnya ketika berkuasa, maupun tidak lagi berkuasa.

 

Agil Nanggala

Mahasiswa S2 PKn SPs UPI

Tag : No Tag

Berita Terkait