Loading

Bencana di Awal Tahun


Yayat Hendayana
4 Tahun lalu, Dibaca : 679 kali


Oleh YAYAT HENDAYANA

IBUKOTA negara, kebanjiran nyaris merata. Tidak hanya di daerah-aerah perkampungan, tapi juga di perkotaan. Kota-kota di sekitarnya pun dilanda banjir, yang tinggi airnya bervariasi. Ada yang bahkan sampai bubungan rumah. Ada mobil yang terendam di garasi, bahkan banyak pula yang terbawa arus. Konon, banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Banyak ahli mengatakan, curah hujan di Jakarta, pada hari terakhir tahun 2019 lalu merupakan curah hujan tertinggi sejak tahun 1996. Pernyataan yang bisa benar bisa salah. Bisa saja hanya merupakan pembenaran terhadap banjir dahsyat yang melanda ibukota dan sekitarnya, di hari terakhir tahun lama yang berlanjut ke hari pertama tahun yang baru yang ditandai dengan angka 2020.

Banjir luar biasa yang membuat Jakarta nyaris terendam, peyebab utamanya adalah   saluran air yang tidak lancar. Saluran air yang ada, banyak yang tersumbat sampah. Setelah nanti banjir reda dengan sendirinya, masih jadi pertanyaan apakah saluran air yang tidak lancar yang menjadi penyebab utama banjir itu akan diperbaiki atau tidak. Masih jadi pertanyaan apakah warga Jakarta yang membuang sampah rumah tangga ke sungai dan saluran air akan dibiarkan tanpa tindakan. Padahal perdanya jelas ada. Juga dinyatakan bahwa setiap pelanggar akan dikenai sanksi. Sesungguhnya, tentu tak perlu perda kalau kesadaran warga kotanya tinggi. Tetapi rakyat tergantung contoh dari atas. Sepanjang para elit masih banyak yang berbuat sewenang-wenang, sepanjang para elit masih banyak yang menilap uang rakyat melalui korupsi, sepanjang itu pula rakyat akan tetap seperti ini.

Penyebab banjir di ibukota, juga disebabkan oleh bangunan-bangunan beton yang tak terkendali. Apartemen-apartemen saling berlomba menggapai langit, karena tinggi apartemen tak diatur pemerintah kota. Saluran airnya pun bisa jadi tak diatur, atau bahkan tak dibuat sama sekali. Pemerintah kota yang berkewenangan untuk mengawasi pembangunannya, banyak yang tidak melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Mereka sekadar datang menemui pengembang, lalu omong-omong, dapat amplop kemudian pergi seolah-olah sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mereka tahu bahwa amplp dengan jumlah uang kecil bukan santapan KPK. Padahal suap-menyuap kecil semacam itulah yang merupakan benih terjadinyakorupsi besar-besaran.

Padahal telah sejak awal masa kepemimpinannya yang pertama, Presiden Jkowi sudah mengkampanyekan tentang perlunya melakukan revolusi mental, yaitu upaya mengubah mental seluruh rakyat (dan terutama tentu saja elit) untuk tidak berbuat buruk. Tapi korupsi justru semakin menjadi-jadi. Menurut hemat kita, revolusi mental yang harus dilakukan adalah mengubah pendekatan atau approach, dari “pendekatan kalah-menang” menjadi “pendekatan –salah-benar”. Pendekatan menang-kalah adalah pendekatan fisik materiil, sedangkan pendekatan benar-salah adalah pendekatan mental spiritual. Mereka yang melakukan korupsi akan merasa menang kalau tidak tertangkap KPK. Sebaliknya, jika terciduk KPK, dalam hatinya mereka merasa kalah. Kalah-menang bagi mereka, yaitu elit bangsa yang memiliki kesempatan luas untuk menilap uang rakyat, kalah-menang adalah masalah biasa. Begitu biasa, sehingga para koruptor yang tertangkap KPK dan sudah menggunakan jaket oranye masih saja cengengesan kalau disorot kamera.

Bencana banjir yag terjadi di ibukota pada hari terakhir tahun lama dan hari pertama tahun baru, adalah peringatan Tuhan kepada kita semua untuk segera melakukan perubahan mental, untuk segera melaksanakan Revolusi Mental secara sungguh-sungguh. Ubah ndekatan dalam semua aspek, dari pendekatan menang-kalah yang bersifat fisik materiil menjadi pendekatan kalah-benar yang bersifat mental-spiritual. Becana di akhir tahun dan sekaligus juga di awal tahun, pada hakekatnya merupakan peringatan kepada kita semua, terutama kepada pemerintah, dan palng utama adalah kementerian yang bertugas melaksanakan pembangunan ibukota baru di Kalimantan. Perhatikan pembangunannya, perhatikan saluran airnya, perhatikan hal-hal kecil yang  berpotensi banjir. Jangan hanya menganggap semua hal sudah teratasi, kalau persoalan-persalam besar sudah tuntas.

Ibukota baru negara kita yang berlokasi di Kalimantan, adalah ibukota yang di seputarnya terletak kota-kota. Jangan sampai terjadi, kota-kta itu yang selama ini tidak pernah banjir justru dilanda banjir setelah ibukota negara berdiri, dan pindah dari Jakarta.***

Dr. Yayat Hendayana, S.S., M.Hum

dosen program sarjana dan pascasarjana Unpas 

 

Tag : No Tag

Berita Terkait