Tatang Sumarsono
4 Tahun lalu, Dibaca : 780 kali
Oleh Tatang Sumarsono
(Staf Khusus Bidang Budaya Rektor Unpas)
"Setuju, tidak, Bung bahwa Sunda sedang mengalami
krisis kepemimpinan?" tiba-tiba saja ia melontarkan pertanyaan demikian;
pendek tapi pelik.
Daripada menjawab, saya malahan hanya
ternganga-nganga.
"Kalau aku, memang setuju," ia kembali
bicara, mungkin karena saya tidak memberikan reaksi atas pertanyaannya barusan.
"Berapa banyak sih orang Sunda yang sekarang jadi pemimpin di percaturan
nasional? Dilihat dari indikator yang paling jelas saja, misalnya parpol, ketua
umumnya di tingkat pusat bukanlah orang Sunda, kecuali satu orang, dan itu pun tidak
mampu banyak berbicara."
"Yang sampeyan gunakan ukurannya sih cuma parpol. Coba yang
lain!" ucap saya.
"Justru ukuran itu yang paling kentara. Lagi
pula, kamu jangan meremehkan parpol. Lha, jaman sekarang aksesnya terhadap
kekuasaan begitu besar. Parpol itu kan kendaraan yang bisa mengantar
penumpangnya ke tempat tujuan yang berupa jabatan penting; paling tidak untuk
duduk di badan legislatif."
Saya kembali diam.
"Kekurang-berdayaan orang Sunda dalam melahirkan
pemimpin tersebut, jangan-jangan ada hubungannya dengan nilai-nilai yang selama
ini jadi anutan orang Sunda sendiri; nilai-nilai yang menjiwai sikap dan
perilaku orang Sunda; nilai-nilai warisan lama dari para karuhun kita."
"Anda jangan ngomong gegabah!" saya segera
menimpali. Terus terang, saya tidak setuju kalau para karuhun dibawa-bawa
kepada persoalan parpol, misalnya. Edan, dia!
"Jangan dulu sewot dan kebakaran jenggot! Aku
tidak asal ngomong, melainkan punya bukti."
"Apa, coba?"
"Salah satu cerita klasik yang menggambarkan
proses kepemimpinan Sunda ialah carita
pantun Lutung Kasarung, yang dulu pernah saya sukai, yang oleh sebagian
orang dianggap punya nilai magis. Saya sampai hafal betul isi ceritanya.
Purbasari yang berhak atas tahta Negara Pasirbatang harus terusir, karena
keserakahan sang kakak, Purbararang, yang mengincar kursi kerajaan. Ia mendapat
dukungan penuh dari Indrajaya, lelaki tinggi besar yang sama-sama serakah, yang
kemudian menjadi suaminya. Jadilah pasangan Purbararang-Indrajaya ini sebagai
penguasa negeri yang bersikap semena-mena atas segala aset negara. Mereka main
embat seenaknya, sementara kehidupan rakyatnya semakin sengsara.
Akan halnya Sang Puteri Purbasari, ketika haknya
dirampas, ia bersikap nrimo. Jangankan memberikan perlawanan dengan tindakan,
protes dengan omongan pun tidak. Ia harus rela diusir dari negara, lalu nyaung-nyaung di hutan; hidup tanpa
teman untuk berbagi duka. Untunglah ia ditolong oleh Guru Minda dari kayangan,
yang turun ke bumi dalam wujud lutung, untuk mencari calon isteri.
Singkat kata, dengan adanya bantuan para bujangga dan
pohaci dari kahiyangan, Purbasari dapat memperoleh haknya sebagai ratu,
didampingi oleh suami teureuh
kayangan, Guru Minda yang sangat tampan, dan tentu saja sakti. Rakyat
Pasirbatang pun kembali hidup dalam kesejahteraan, réa ketan réa keton, bru di juru bro 'na panto, sepi paling towong
rampog. Pokoknya, kehidupan yang sangat diidam-idamkan--mungkin kalau jaman
sekarang mah seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
"Wah, itu bagus, tokh? Kehidupan rakyat yang
tadinya dilanda krisis multidimensional, namun setelah pasangan Purbararang-Indrajaya
digantikan oleh Purbasari-Guru Minda, terjadilah perubahan yang begitu
menggiurkan."
"Ceritanya sih memang happy end, tapi untuk urusan memakmurkan negara itu, pihak
kahiyangan sampai harus turun tangan, memberikan dukungan dan bantuan. Tidak
terlihat ada upaya serius yang dilakukan pihak tertindas, dalam hal ini
Purbasari, dalam batas-batas kemanusiaannya. Ia cuma bisa menunggu dan
menunggu. Untung saja para dewa di kayangan sana sangat arif terhadap situasi di bumi yang sedang digenggam raja zalim.
Coba kalau para bujangga dan pohaci tidak ikut nimbrung, rakyat Pasirbatang
akan tetap menderita."
"Lalu, dari kisah Purbasari barusan, apa
hubungannya dengan situasi kepemimpinan Sunda sekarang?" saya bertanya.
"Masaiya kamu tidak dapat menangkap
maknanya?" ia menatap saya dengan tajam. "Jangan-jangan kita
sekarang, dalam menjawab tantangan jaman yang serba krisis ini, kita hanya
menunggu datangnya tokoh kayangan. Kita tidak berupaya sendiri untuk maju
...."
"Maju untuk menjadi ketua parpol atau politisi, yang
kamu maksudkan itu?"
"Di antaranya," jawabnya singkat.
"Wah, siapa tahu bukan karena faktor carita
pantun yang dijadikan anutan, yang menyebabkan orang Sunda tidak mau tampil
sekarang itu."
"Faktor apa, misalnya?"
"Karena takut dituduh sebagai politisi
busuk," jawab saya enteng.***
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer