Loading

TOKOH KAYANGAN


Tatang Sumarsono
4 Tahun lalu, Dibaca : 646 kali


Oleh Tatang Sumarsono

(Staf Khusus Bidang Budaya Rektor Unpas)

 

"Setuju, tidak, Bung bahwa Sunda sedang mengalami krisis kepemimpinan?" tiba-tiba saja ia melontarkan pertanyaan demikian; pendek tapi pelik.

Daripada menjawab, saya malahan hanya ternganga-nganga.

"Kalau aku, memang setuju," ia kembali bicara, mungkin karena saya tidak memberikan reaksi atas pertanyaannya barusan. "Berapa banyak sih orang Sunda yang sekarang jadi pemimpin di percaturan nasional? Dilihat dari indikator yang paling jelas saja, misalnya parpol, ketua umumnya di tingkat pusat bukanlah orang Sunda, kecuali satu orang, dan itu pun tidak mampu banyak berbicara."

"Yang sampeyan  gunakan ukurannya sih cuma parpol. Coba yang lain!" ucap saya.

"Justru ukuran itu yang paling kentara. Lagi pula, kamu jangan meremehkan parpol. Lha, jaman sekarang aksesnya terhadap kekuasaan begitu besar. Parpol itu kan kendaraan yang bisa mengantar penumpangnya ke tempat tujuan yang berupa jabatan penting; paling tidak untuk duduk di badan legislatif."

Saya kembali diam.

"Kekurang-berdayaan orang Sunda dalam melahirkan pemimpin tersebut, jangan-jangan ada hubungannya dengan nilai-nilai yang selama ini jadi anutan orang Sunda sendiri; nilai-nilai yang menjiwai sikap dan perilaku orang Sunda; nilai-nilai warisan lama dari para karuhun kita."

"Anda jangan ngomong gegabah!" saya segera menimpali. Terus terang, saya tidak setuju kalau para karuhun dibawa-bawa kepada persoalan parpol, misalnya. Edan, dia!

"Jangan dulu sewot dan kebakaran jenggot! Aku tidak asal ngomong, melainkan punya bukti."

"Apa, coba?"

"Salah satu cerita klasik yang menggambarkan proses kepemimpinan Sunda ialah carita pantun Lutung Kasarung, yang dulu pernah saya sukai, yang oleh sebagian orang dianggap punya nilai magis. Saya sampai hafal betul isi ceritanya. Purbasari yang berhak atas tahta Negara Pasirbatang harus terusir, karena keserakahan sang kakak, Purbararang, yang mengincar kursi kerajaan. Ia mendapat dukungan penuh dari Indrajaya, lelaki tinggi besar yang sama-sama serakah, yang kemudian menjadi suaminya. Jadilah pasangan Purbararang-Indrajaya ini sebagai penguasa negeri yang bersikap semena-mena atas segala aset negara. Mereka main embat seenaknya, sementara kehidupan rakyatnya semakin sengsara.

Akan halnya Sang Puteri Purbasari, ketika haknya dirampas, ia bersikap nrimo. Jangankan memberikan perlawanan dengan tindakan, protes dengan omongan pun tidak. Ia harus rela diusir dari negara, lalu nyaung-nyaung di hutan; hidup tanpa teman untuk berbagi duka. Untunglah ia ditolong oleh Guru Minda dari kayangan, yang turun ke bumi dalam wujud lutung, untuk mencari calon isteri.

Singkat kata, dengan adanya bantuan para bujangga dan pohaci dari kahiyangan, Purbasari dapat memperoleh haknya sebagai ratu, didampingi oleh suami teureuh kayangan, Guru Minda yang sangat tampan, dan tentu saja sakti. Rakyat Pasirbatang pun kembali hidup dalam kesejahteraan, réa ketan réa keton, bru di juru bro 'na panto, sepi paling towong rampog. Pokoknya, kehidupan yang sangat diidam-idamkan--mungkin kalau jaman sekarang mah seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

"Wah, itu bagus, tokh? Kehidupan rakyat yang tadinya dilanda krisis multidimensional, namun setelah pasangan Purbararang-Indrajaya digantikan oleh Purbasari-Guru Minda, terjadilah perubahan yang begitu menggiurkan."

"Ceritanya sih memang happy end, tapi untuk urusan memakmurkan negara itu, pihak kahiyangan sampai harus turun tangan, memberikan dukungan dan bantuan. Tidak terlihat ada upaya serius yang dilakukan pihak tertindas, dalam hal ini Purbasari, dalam batas-batas kemanusiaannya. Ia cuma bisa menunggu dan menunggu. Untung saja para dewa di kayangan sana sangat arif terhadap situasi di bumi yang sedang digenggam raja zalim. Coba kalau para bujangga dan pohaci tidak ikut nimbrung, rakyat Pasirbatang akan tetap menderita."

"Lalu, dari kisah Purbasari barusan, apa hubungannya dengan situasi kepemimpinan Sunda sekarang?" saya bertanya.

"Masaiya kamu tidak dapat menangkap maknanya?" ia menatap saya dengan tajam. "Jangan-jangan kita sekarang, dalam menjawab tantangan jaman yang serba krisis ini, kita hanya menunggu datangnya tokoh kayangan. Kita tidak berupaya sendiri untuk maju ...."

"Maju untuk menjadi ketua parpol atau politisi, yang kamu maksudkan itu?"

"Di antaranya," jawabnya singkat.

"Wah, siapa tahu bukan karena faktor carita pantun yang dijadikan anutan, yang menyebabkan orang Sunda tidak mau tampil sekarang itu."

"Faktor apa, misalnya?"

"Karena takut dituduh sebagai politisi busuk," jawab saya enteng.***

Tag : No Tag

Berita Terkait