Loading

Menggratiskan SPP untuk SMA/SMK bukti Ridwan Kamil tidak Memahami Aturan


Mansurya Manik
4 Tahun lalu, Dibaca : 1813 kali


Oleh Mansurya Manik, S.Pd

#Pegiat Pendidikan

 

Wacana Pemerintah Provinsi Jabar menggratiskan biaya Sumbangan Pendanaan Pendidikan (SPP) di SMA/SMK sudah berlangsung sejak kepemimpinan Gubernur Ahmad Heryawan periode kedua. Karena Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah pada waktu itu mengatur kewenangan pengelolaan Pendidikan Dasar (SD/SMP) dan Menengah (SMA/SMK) di bawah pemerintah kabupaten/kota, bukan di provinsi, wacana tersebut akhirnya tinggal wacana saja yang tidak dapat dilaksanakan sampai Ahmad Heryawan selesai masa jabatannya.

Dengan adanya Undang Undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru, di sana mengatur kewenangan pengelolaan Pendidikan Menengah di bawah pemerintah provinsi. Yang dengan demikian, Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jabar saat ini, kembali  mewacanakan bahwa Pemerintah Provinsi Jabar akan menggratiskan biaya Sumbangan Pendanaan Pendidikan (SPP) di SMA/SMK.

Bangunan kebijakan politik pendidikan yang dirancang Pemerintah yang tercermin pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, untuk pendanaan pendidikan menengah yang meliputi biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan dan biaya pribadi peserta didik, memang dirancang menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan menjelaskan yang dimaksud masyarakat meliputi; penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, yang biasa disebut dengan sekolah swasta, lalu peserta didik, orangtua atau wali peserta didik dan pihak lain yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, yang akan menggratiskan biaya Sumbangan Pendanaan Pendidikan (SPP) di SMA/SMK mencerminkan Ridwan Kamil beserta jajaran Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tidak memahami Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan. Seharusnya Pemerintah Jawa Barat menyampaikan akan menggratiskan PUNGUTAN biaya untuk menutupi kekurangan pendanaan satuan pendidikan dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan mendanai program peningkatan mutu satuan pendidikan di atas Standar Nasional Pendidikan sebagaimana yang disebut dalam pasal 51 ayat  3 sampai dengan ayat 5 huruf (c) dan pasal 6 huruf (d).

Sekali lagi saya sampaikan, bahwa yang harusnya digratiskan itu PUNGUTAN bukan SUMBANGAN! Mengapa yang harus digratiskan itu pungutan? Karena selain pungutan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 51 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 yang teknis pungutan dan peruntukannya diatur dalam pasal 52, ada juga tentang sumbangan yang diatur pada pasal 55 yang menyebutkan; peserta didik, orangtua atau wali peserta didik dapat memberikan sumbangan pendidikan yang sama sekali tidak mengikat kepada satuan pendidikan secara sukarela.

Dengan demikian, peserta didik, orangtua atau wali peserta didik setelah dipungut atas pendanaan biaya yang menjadi tanggung jawabnya, mereka juga dapat memberikan sumbangan pada satuan pendidikan. Dua kali orangtua siswa memberikan uang, satu uang pungutan, satu lagi uang sumbangan. 

Yang menjadi permasalahan kemudian, karena untuk menetapkan pungutan itu harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sedangkan pemerintah tidak pernah menetapkan besaran pungutan yang boleh dilakukan oleh satuan pendidikan kepada  peserta didik, orangtua atau wali peserta didik maka satuan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat meminta peserta didik, orangtua atau wali peserta didik untuk memberikan sumbangan. Yang kemudian dikenal dengan Sumbangan Pendanaan Pendidikan atau disingkat SPP. 

Celakanya satuan pendidikan, dalam meminta sumbangan kepada peserta didik, orangtua atau wali peserta didik itu bentuknya mengikat dan memaksa seperti pungutan. Apa bukti bahwa sumbangan itu bentuknya mengikat dan memaksa? Hal ini dapat dilihat bahwa sumbangan tersebut ditetapkan besarannya dan harus dibayar setiap bulan. Jika belum membayar maka menjadi tunggakan hutang yang harus dilunasi. Kemudian memaksa karena jika belum melunasi pata siswa akan mendapat sanksi berupa diskriminasi sewaktu masa penilaian atau ujian dengan menahan atau tidak memberikan kartu ujian. Dan pada akhir masa sekolah atau pada masa kelulusan, bagi siswa yang belum melunasi sumbangan maka sekolah selalu menahan ijazah para siswa. Dan orangtua siswa diam seribu bahasa. Terhipnotis membenarkan pernyataan pihak sekolah bahwa mereka punya hutang ke sekolah.

Padahal selama ini pihak sekolah tidak pernah memberi hutang walau seribu rupiah pun pada orangtua siswa. Rentenir yang disebut jahat saja memberikan uangnya dulu, baru dia menagih atas uang dan bunganya. Tidak seperti sekolah, atas nama kesepakatan, tiba-tiba orangtua siswa menjadi berhutang pada pihak sekolah. Hal ini sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan pasal 55 bahwa siswa dapat memberikan sumbangan yang bentuknya tidak mengikat dan secara sukarela. Serta tidak ada sanksi pidana dan atau perdata bagi siswa, orangtua atau wali peserta didik yang tidak mau membayar pungutan atau sumbangan.

Yang lebih celaka lagi, satuan pendidikan membuat kebijakan baru yang tidak ada payung hukumnya dengan menerapkan iuran bulanan peserta didik (IBPD) dan iuaran peserta didik baru (IPDB) yang bentuknya juga mengikat dan memaksa. 

Permasalahan selanjutnya, sampai hari ini pun pemerintah bersama satuan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat belum membuat acuan biaya minimal yang dibutuhkan untuk memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Terjadi perbedaan pandangan antara satuan pendidikan dengan orang tua peserta didik tentang besaran biaya minimal untuk memenuhi Standara Nasional Pendidikan. Rezim satuan pendidikan dalam menghitung biaya pendidikan acuannya adalah kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan. Sehingga berapapun uang yang diberikan pemerintah dan orang tua peserta didik kepada sekolah, mereka akan menyatakan kurang. Karena memang basis hitungannya adalah kesejahteraan para pendidik dan tenaga kependidikan. Kepala Sekolah menjadi kaya raya. 

Ketika orangtua siswa meminta ukuran yang bisa diukur secara bersama dalam bentuk penilaian yang dilakukan oleh lembaga lain seperti hasil penilaian pada Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPT), satuan pendidikan akan mengelak dengan berbagai argumentasi yang tidak berdasar. Dalam benak Kepala Sekolah, orangtua siswa harus bayar sesuai dengan biaya yang sudah mereka rekayasa. Soal kualitas siswa, sepenuhnya diserahkan pada kemampuan siswa dan takdir Tuhan.

Dan memang yang paling mudah adalah menggalang dana dari orang tua siswa. Dengan ketidaktahuan dan ketidakmautahuan orang tua siswa dalam memahami peraturan perundangundangan tentang pendanaan pendidikan, menjadikan orangtua siswa sebagai makanan empuk bagi Kepala Sekolah. Padahal jelas bahwa sumber pendanaan pendidikan itu berasal dari empat sumber yaitu; Pemerintah, pemerintah daerah, peserta didik, orangtua atau wali peserta didik dan pihak lain yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.  Orangtua peserta didik hanya salah satu saja dari empat sumber pendanaan. Kalau orangtua siswa dinyatakan oleh pemerintah telah digratiskan sumbangan untuk sekolah sedangkan aturan untuk pungutan juga tidak ada maka selesailah sudah. Pihak sekolah tidak perlu lagi mencari cari alasan untuk menarik dana dari orangtua siswa. Karena ada tiga sumber pendanaan lain yang bisa digali oleh pihak sekolah. Dan pihak sekolah melalui Kepala Sekolah tidak pernah maksimal menggali potensi itu. Lebih mudah mereka meminta pada orangtua siswa seperti berburu di kebun binatang. ***

Tag : No Tag

Berita Terkait