Jurnalis : Herz_Cms
3 Tahun lalu, Dibaca : 852 kali
JAKARTA,
Medikomonline.com - Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo memberikan keterangan tertulis secara daring pada sidang Uji Materi
pasal 15 Ayat (2) huruf f dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
Tentang Pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (11/10/2021) siang.
Keterangan tertulis Presiden Joko Widodo
disampaikan melalui kuasa hukumnya Menteri Hukum dan Ham RI Yasona Laoli dan
Menteri Kominfo Johny Plate yang dibacakan langsung oleh Direktur Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong.
Menurut Presiden, pasal 15 Ayat (2) huruf f
bukanlah ketentuan yang sumir untuk ditafsirkan, rumusannya sudah sangat jelas
dalam memberikan suatu pemaknaan bahwa fungsi Dewan Pers adalah fasilitator
dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers.
“Memperhatikan definisi kata memfasilitasi
tersebut maka maknanya, Dewan Pers tidak bertindak sebagai lembaga pembentuk
atau regulator karena berdasarkan ketentuan a quo UU pers, penyusunan
peraturan-peraturan di bidang pers dilakukan oleh organisasi-organisasi pers.
Hal tersebut telah secara jelas disebutkan
setelah kata memfasilitasi dalam ketentuan a quo terdapat frasa
organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers.
Sehingga rumusan tersebut tidak dapat
ditafsirkan menghalangi hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers. Namun justeru Dewan Pers yang memfasiltasi
organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers,” paparnya.
Presiden juga menjelaskan, dalam
implementasinya berkenaan dengan peraturan-peraturan yang disusun oleh
organisasi pers, diterbitkan sebagai peraturan Dewan Pers, hal tersebut lebih
kepada konsensus di antara organisasi-organisasi pers agar terciptanya suatu
peraturan-peraturan pers yang kohesif yang dapat memayungi seluruh insan pers
sehingga tidak terdapat peraturan-peraturan organisasi pers yang bersifat
terpisah, sporadis, dan justru bertentangan dan menyebabkan ketidakpastian
hukum, dan menghambat terciptanya peningkatan kehidupan pers nasional yang
sehat.
Pada bagian lain, Presiden menjelaskan,
apabila para pemohon mendalilkan organisasinya bernama Dewan Pers Indonesia
maka itu bukanlah nomenklatur dan entitas yang dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1)
UU Pers.
“Berdasaran hal tersebut Dewan Pers
Indonesia, organisasi atau forum organisasi pers yang menjadi anggotanya tidak
memerlukan penetapan dari presiden dalam bentuk keputusan presiden.
Dan tidak ditangapinya permohonan penetapan
anggota Dewan Pers Indonesia oleh Presiden bukanlah suatu perlakuan
diskiriminatif yang melanggar UUD 1945 melainkan suatu tindakan yang telah
sesuai dengan hukum yang berlaku,” urainya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Majelis
Hakim Saldi Isra meminta kepada pihak pemerintah supaya Mahkamah Konstitusi
diberi tambahan keterangan terutama tentang risalah pembahasan terkait dengan
perumusan konstruksi Pasal 15 Ayat (2) dan ayat (3) UU Pers.
“Kami perlu tahu apa yang disampaikan oleh
para penyusun UU itu. Karena kami khawatir bisa saja apa yang dikemukakan oleh
pemerintah adalah pemahaman tentang hari ini.
Oleh karena itu kami (perlu) dibantu agar
tidak terjadi keterputusan semangat yang ada dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat
(3) UU Pers tersebut untuk membantu kami secara komprehensif memahami dua norma
yang diuji materi oleh pemohon,” tandasnya.
Sementara Anggota Majelis Hakim Suhartoyo
menanggapi langsung pernyataan pemerintah yang mempertanyakan legal standing
pemohon. “Sebenarnya kami tidak begitu memerlukan keterangan soal legal
standing yang disampaikan pemerintah karena itu menjadi wilayah mahkamah untuk
mencermati dan menilai. Tapi sebagiamana keterangan dari Presiden itu selalu
mempersoalkan pada legal standing padahal diperlukan sesungguhnya adalah
substansi dari pada yang dipersoalkan atau norma yang dipersoalkan oleh pemohon
itu,” kata Suhartoyo.
Karena sudah mengaitkan dengan legal standing
maka, Suhartoyo mempertanyakan, bagaimana kementerian Kominfo ikut
mengendalikan soal organisasi pers ini.
“Karena hal itu penting untuk kaitannya
dengan legal standing yang dipersoalkan di keterangan presiden itu. Bisa
ditambahkan organsiasi apa saja yang kemudian terdaftar dan memenuhi,
persyaratan bagaimana respon pemerintah dengan organisasi yang menurut saya itu
ada beberapa yang memang di luar itu. Apakah kemudian tetap diserahkan kepada
dewan pers melalui konsensusnya itu ataukah ada persyaratan yang secara yuridis
tidak terpenuhi,” ungkapnya.
Foto
: Ketua Majelis Hakim Anwar Usman
Sedangkan Ketua Majelis Hakim Anwar Usman
mengatakan, keterangan pemerintah sudah cukup lengkap. “Dan ini tumben
dilampiri dengan daftar bukti pemerintah yang berupa memori fantulikting yang
dikaitkan dengan apa yang diujikan,” ujar Usman.
Usman juga meminta pihak terkait Dewan Pers
untuk memberi keterangan terkait praktek dewan pers selama ini. “Mahkamah
meminta dijelaskan praktek selama ini dan bagimana keunggulan kelebihan yang
selama ini terjadi dalam rangka Dewan Pers itu bisa menjadi satu garda terdepan
dalam rangka menjaga pemberitaan yang dilakukan media cetak maupun elektronik,
dan media sosial bisa betul-betul mengawal berita-berita yang bertanggungjawab,
objektif, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (bukan) berita yang malah bisa
merusak kohesi nasional selama ini,” ujarnya.
Foto
: Anggota Majelis Hakim MK Daniel Yusman
Daniel Yusman, Angota Majelis Hakim lainnya,
juga meminta penjelasan pemerintah dan pihak terkait mengenai jumlah perusahaan
pers dan jumlah organsiasi pers. Selain itu Yusman meminta keterangan mengenai
sejarah sejak perubahan UU Pers apakah pernah tidak di SK kan oleh Presiden,
atau selama ini setelah perubahan selalu ada SK Presiden terkait pengakatan
anggota Dewan Pers.
“Karena dalam permohonan pemohon semangatnya
berharap presiden hanya menjalankan fungsi administratif jadi tidak ada
kewenangan untuk tidak mengeluarkan SK Presiden,” ujarnya.
Menanggapi keterangan Presiden, Hence Mandagi
selaku pemohon membantah pernyataan pemerintah bahwa sejak UU Pers berlaku
selama 22 tahun tidak ada pemohon yang mempermasalahkan ketentuan a quo namun
begitu ada implementasi yang tidak menguntungkan para pemohon maka baru
mengajukan uji materi. “Faktanya organisasi dan wartawan sering melakukan
protes atas kebijakan dan peraturan Dewan Pers baik di Gedung DPR RI maupun di
depan Gedung Dewan Pers.
Dan memuncak pada tahun 2018 lalu. Bahkan
pelaksanaan Musyawarah Besar Pers Indonesia 2018 dan Kongres Pers Indonesia
2019, termasuk gugatan di PN Jakata Pusat adalah wujud protes terhadap
kebijakan Dewan Pers yang banyak menyebabkan terjadinya kriminalisasi pers di
berbagai daerah, dan termasuk protes terhadap peraturan Dewan Pers yang
mengambil alih kewenangan organisasi pers,” ungkap Mandagi.
Masih dari Hence Mandagi, bahwa pemerintah
juga mengungkapkan telah ada keputusan sengketa pers yang sudah berkekuatan
hukum tetap hingga ke tingkat Pengadilan Tinggi atas gugatan yang diajukan
Ketum SPRI Hence Mandagi dan Ketum PPWI Wilson Lalengke, sesunguhnya ada
informasi yang tidak diungkap secara utuh oleh pemerintah bahwa Keputusan
Majelis Hakim tingkat Pengadilan Tinggi memang tidak mengabulkan gugatan
pemohon namun telah menerima permohonan penggugat untuk membatalkan keputusan
majelis hakim tingkat PN yang menyatakan peraturan Dewan Pers adalah merupakan
peraturan perundang-undangan.
“Kami tidak memilih kasasi ke Mahkamah Agung
RI karena syarat pembatalan sebuah peraturan lembaga di Mahkamah Agung adalah
peraturan tersebut harus merupakan peraturan perundang-undangan dan masuk dalam
lembar negara. Sementara peraturan Dewan Pers bukan peraturan perundangan
karena sudah dibatalkan di tingkat PN dan peraturan Dewan Pers tidak ada dalam
lembar negara yang bisa dibatalkan oleh MA,” katanya lagi.
Sementara pernyataan Presiden bahwa
pelaksanaan pemilihan Anggota Dewan Pers Indonesia tidak ada cerminan dari
pasal aquo karena dilakukan tanpa menggunakan perwakilan unsur melainkan hanya
berdasarkan Kongres Pers yang demokratis, menurut Mandagi adalah tidak benar.
“Pelaksanaan pemilihan anggota Dewan Pers
Indonesia pada Kongres Pers dilakukan berdasarkan pengusulan nama-nama calon
yang mewakili unsur wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, pimpinan
perusahaan pers yang dipilih organsiasi perusahaan pers, dan tokoh masyarakat, ahli di bidang pers atau
komunikasi dan bidang lainnya dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi
perusahaan pers. Buktinya dalam daftar anggota Dewan Pers terdapat nama-nama
yang berasal dari tokoh masyarakat dan ahli di bidang komunikasi, salah satunya
adalah pakar komunikasi Emrus Sihombing,” papar Mandagi.
Pemohon lainnya, Soegiharto Santoso usai
persidangan mengatakan, pihaknya memberi apresiasi atas kehadiran Presiden
melalui keterangan tertulis yang disampaikan oleh kuasa hukum Menteri Kominfo
dan Menkumham RI.
“Saya menilai apa yang sudah disampaikan
Presiden makin memperjelas bahwa kewenangan membuat peraturan pers ada pada
organisasi-organisasi pers bukan oleh Dewan Pers.
Jadi selama ini peraturan Dewan Pers yang
mengatasnamakan konsensus dengan para pimpinan organisasi pers seharusnya tidak
boleh diterjemahkan menjadi peraturan Dewan Pers. Seharusnya konsensus itu
harus diterapkan dan ditetapkan dengan Surat Keputusan oleh masing-masing
organisasi pers menjadi Peraturan Pers secara serentak dan seragam di seluruh
organisasi pers termasuk kode etik jurnalistik,” ungkap Soegiharto yang juga
menjabat Ketua Dewan Pengawas LSP Pers Indonesia, serta sempat menjadi ketua
panitia kongres Pers Indonesia tahun 2019 di Gedung Asrama Haji Pondok Gede
Jakarta.
Namun menurut Hoky sapaan akrabnya, dalam
prakteknya Dewan Pers justru membuat konsensus itu menjadi peraturan Dewan Pers
dan menerapkannya kepada seluruh organisasi pers, kemudian menghilangkan hak
organisasi pers untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Pers dengan
cara menentukan secara sepihak organisasi pers yang jadi konstituennya. “Hampir
seluruh organisasi pers yang membuat konsensus dinyatakan secara sepihak oleh
Dewan Pers bukan lagi sebagai konstituennya sehingga tidak berhak lagi
mengajukan calon dan memilih anggota Dewan Pers,” ungkap Hoky mengurai fakta
sejarahnya.
Sementara itu, di luar persidangan, Ketua
Persatuan Wartawan Mingguan Indonesia Gusti Suryadarma yang ikut menyaksikan
jalannya persidangan melalui chanel youtube MK, mengatakan, pemerintah
kelihatan jelas tidak tahu apa yang terjadi di insan pers Indonesia selama ini.
Pemerintah menurutnya, tidak tahu ada kezaliman, ketidakadilan, dan
ketidakpastian hukum, dan bahkan cenderung ke arah pelanggaran hukum.
“Pemerintah mengatakan Dewan Pers menjalankan
fungsinya sesuai UU Pers, namun pemerintah tidak tahu bahwa Dewan Pers sudah
berubah fungsi menjadi eksekutor yang mengakibatkan kerugian materi berbagai
pihak dan bahkan terjadi kriminalisasi wartawan dan perpecahan insan pers
nasional. Kebijakan Dewan Pers yang melampaui kewenangannya siapa yang
bertanggung-jawab? Makanya Pasal 15 UU Pers perlu direvisi,” kata Gusti.
Sidang lanjutan perkara nomor 38/PUU-XIX/2021
akan dilaksanakan pada Selasa 9 November 2021 jam 11.00 wib untuk mendengarkan
keterangan pihak DPR RI dan pihak terkait Dewan Pers,” tambah Hence Mandagi kepada
jurnalis.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer