Loading

Jakarta Pasca Ibu Kota Negara


Penulis: Dadang Solihin
2 Bulan lalu, Dibaca : 271 kali


Dadang Solihin

Oleh Dadang Solihin

(Taprof Lemhannas RI)

 

Pendahuluan

Baru-baru ini seorang pakar hukum tata negara mengatakan Jakarta sudah bukan lagi ibu kota negara Indonesia sejak 15 Februari 2024[1]. Hal tersebut sesuai ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang berbunyi: "Paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ini."

Banyak pertanyaan tentang bagaimana nasib Jakarta setelah tidak menjadi Ibu Kota Negara lagi. Sebagian besar masyarakat berkomentar bahwa Jakarta akan menjadi pusat bisnis. Jakarta diproyeksikan akan menjadi pusat ekonomi nasional pasca pemindahan ibu kota negara. Tentunya hal ini akan membuat Jakarta tetap akan menjadi magnet bagi investor, masyarakat ataupun pemerintah. Kawasan penyangga Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi diproyeksikan akan menjadi kawasan aglomerasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup besar.[2]

Apapun yang akan terjadi pada Jakarta setelah tidak jadi Ibu Kota Negara, kota ini sudah menorehkan predikat yang penting, yaitu Kota yang Berketahanan. Konsep Kota Berketahanan ini pernah penulis sampaikan di depan Sidang Pleno Pertahanan Militer dan Pertahanan Nir Militer di Aula Merah Putih Universitas Pertahanan RI Sentul pada 15 Juni 2021.[3]

Pada intinya, Konsep Jakarta Kota Berketahanan adalah Jakarta sebagai kota yang menyediakan kesempatan setara bagi  seluruh warganya untuk  hidup aman,  sehat, sejahtera, dan bahagia melalui pelayanan publik dan inovasi. Jakarta SIAP, Jakarta SEHAT, dan Jakarta TERHUBUNG merupakan pilar utama dengan Tata Kelola Pemerintahan dan Kohesi Sosial sebagai pilar pendukung dalam mewujudkan Ketahanan Kota Jakarta.

Sebagai ASN yang pernah bertugas di Pemerintah Provinsi  Jakarta[4], penulis mencatat setidaknya ada 6  kemajuan sebagai kawasan perkotaan yang telah ditorehkan dengan mantap oleh Provinsi  Jakarta, yaitu Smart City, Sustainable Development, Vertical Expansion, Mixed-Use Development, Mobility Solutions, dan Resilience and Adaptation.

 

The Next Level of Urbanization

Smart City adalah Integrasi teknologi digital dan solusi berbasis data untuk meningkatkan infrastruktur perkotaan, layanan, dan kualitas hidup penduduk. Smart City di Provinsi Jakarta memanfaatkan teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan analitik big data untuk mengoptimalkan penggunaan energi, transportasi, pengelolaan limbah, dan layanan publik.

Sustainable Development di Provinsi Jakarta memprioritaskan praktik berkelanjutan untuk meminimalkan dampak lingkungan dan mengatasi tantangan seperti perubahan iklim, polusi, dan penipisan sumber daya. Ini termasuk mengadopsi sumber energi terbarukan, menerapkan opsi transportasi ramah lingkungan, mempromosikan desain bangunan hijau, dan meningkatkan pengelolaan limbah dan sistem daur ulang.

Vertical Expansion adalah strategi untuk mengatasi terbatasnya ruang horizontal yang tersedia. Provinsi Jakarta semakin berkembang secara vertikal, membangun gedung yang lebih tinggi, dan memanfaatkan ruang vertikal secara lebih efisien. Struktur bertingkat tinggi, termasuk perumahan dan gedung perkantoran, dapat membantu mengakomodasi pertumbuhan populasi sambil mengoptimalkan penggunaan lahan dan melestarikan ruang hijau.

Mixed-Use Development di Provinsi Jakarta menekankan pada pengembangan penggunaan campuran, yang menggabungkan ruang hunian, komersial, ritel, dan rekreasi dalam satu distrik atau kompleks bangunan. Pendekatan ini mempromosikan walkability, mengurangi jarak perjalanan, dan menumbuhkan komunitas yang dinamis di mana orang dapat tinggal, bekerja, dan bersosialisasi dalam jarak dekat.

Mobility Solutions di Provinsi Jakarta berfokus pada penciptaan sistem transportasi yang efisien dan berkelanjutan. Ini termasuk mengembangkan jaringan transportasi umum yang terintegrasi, memperluas jalur sepeda dan infrastruktur ramah pejalan kaki, mempromosikan kendaraan listrik dan otonom, dan mendorong layanan mobilitas bersama seperti ride-sharing dan bike-sharing.

Resilience and Adaptation di Provinsi Jakarta sangat berguna pada saat kota menghadapi tantangan dari bencana alam dan kejadian terkait iklim, tingkat urbanisasi berikutnya akan memprioritaskan strategi ketahanan dan adaptasi, sebagaimana yang pernah penulis sampaikan pada Sidang Pleno Pertahanan Militer dan Pertahanan Nir Militer di Universitas Pertahanan. Ini melibatkan perancangan kota dengan infrastruktur yang tangguh, penerapan sistem peringatan dini, peningkatan tanggap bencana dan rencana pemulihan, serta peningkatan keterlibatan dan kesiapsiagaan masyarakat.

Keenam next level of urbanization tersebut pernah penulis kumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul Best Practices Smart Governance Provinsi  Jakarta[5]“ hasil kerja sama DPD IKAL  dengan Pemerintah Provinsi  Jakarta.

 

Analisis Astagatra

Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur akan membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan di Jakarta. Berikut ini disampaikan hasil analisis Astagatra terhadap Jakarta pasca pemindahan ibu kota.

1.     Ideologi

Jakarta tetap akan memainkan peran penting dalam penyebaran dan pengembangan ideologi Pancasila. Institusi pendidikan, lembaga riset, dan pusat kajian ideologi yang ada di Jakarta akan terus mempromosikan nilai-nilai Pancasila.

Meskipun pusat pemerintahan pindah, Jakarta tetap menjadi simbol ideologi nasional yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa.

2.     Politik

Dengan berkurangnya fungsi sebagai pusat pemerintahan, Jakarta akan lebih fokus pada pengelolaan pembangunan daerah. Hal ini bisa memperkuat otonomi daerah Jakarta dalam menjalankan pemerintahan dan mengelola sumber daya.

Jakarta tetap menjadi tempat penting bagi aktivitas politik, dengan keberadaan kantor pusat partai politik dan organisasi masyarakat yang aktif dalam dinamika politik nasional.

3.     Ekonomi

Jakarta akan semakin mengukuhkan posisinya sebagai pusat ekonomi dan bisnis nasional. Infrastruktur yang sudah maju dan adanya pusat-pusat keuangan besar akan menarik lebih banyak investor.

Jika Jakarta dan Provinsi Jawa Barat bergabung, ini akan menciptakan kawasan ekonomi yang sangat kuat dengan sumber daya manusia dan ekonomi yang luar biasa besar. Kolaborasi ini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.

Kawasan penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan terus berkembang sebagai kawasan aglomerasi ekonomi dengan pertumbuhan yang signifikan, didukung oleh infrastruktur yang terintegrasi.

4.     Sosial Budaya

Jakarta akan terus menjadi melting pot dengan keberagaman budaya yang kaya. Pusat seni, budaya, dan hiburan akan terus berkembang, mencerminkan pluralisme sosial yang dinamis.

Peningkatan infrastruktur dan fasilitas umum akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas tinggi akan menarik penduduk dari berbagai daerah.

5.     Hankam (Pertahanan dan Keamanan)

Meskipun pusat pemerintahan pindah, Jakarta tetap menjadi prioritas dalam hal keamanan nasional. Penguatan infrastruktur keamanan dan peningkatan kerja sama keamanan internasional akan memastikan stabilitas kota.

Jakarta akan terus memprioritaskan keamanan kota dan pengelolaan risiko, terutama terkait dengan ancaman terorisme dan bencana alam.

6.     Geografi

Investasi dalam infrastruktur seperti transportasi publik, jalan tol, dan fasilitas umum lainnya akan terus berlanjut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Upaya untuk mengatasi masalah lingkungan seperti banjir dan polusi udara akan semakin ditingkatkan, dengan fokus pada pengembangan kota yang berkelanjutan.

7.     Sumber Kekayaan Alam

Jakarta tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun pengelolaan sumber daya yang ada, seperti air dan lahan, akan semakin diperhatikan untuk mendukung kehidupan urban yang berkelanjutan.

Walaupun begitu, Jakarta memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi yang menjadi aset utama dalam mendorong inovasi dan perkembangan ekonomi.

8.     Demografi

Jakarta akan terus menarik migrasi dari daerah lain karena peluang ekonomi yang besar. Meskipun demikian, pertumbuhan populasi mungkin akan stabil dengan kebijakan urbanisasi yang lebih terencana.

Peningkatan kualitas hidup melalui perbaikan infrastruktur, fasilitas umum, dan layanan sosial akan menjadi prioritas untuk memastikan Jakarta tetap nyaman dan layak huni.

Dengan analisis Astagatra ini, dapat disimpulkan bahwa Jakarta akan terus memainkan peran penting sebagai pusat ekonomi dan bisnis nasional. Penggabungan (merger) dengan Provinsi Jawa Barat dan pengembangan kawasan penyangga akan meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan akan menjadi kunci dalam memastikan Jakarta tetap menjadi kota yang menarik dan berdaya saing tinggi pasca pemindahan ibu kota negara ke IKN di Kalimantan Timur.

 

Bagaimana Jakarta Pasca Ibu Kota Negara?

Penulis mengusulkan untuk dilakukan merger dua provinsi besar ini, yaitu Jakarta dan  Jawa Barat. Secara keseluruhan, merger Jakarta dan Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat menciptakan pemerintahan yang lebih efisien, ekonomi yang lebih kuat, dan kualitas hidup yang lebih baik bagi warga kedua wilayah. Namun, tentu saja, implementasi yang baik dan perencanaan yang matang sangat diperlukan untuk mencapai manfaat tersebut.

Dengan merger ini, ekonomi regional dapat diperkuat karena Jakarta sebagai pusat ekonomi terbesar di Indonesia, akan terintegrasi dengan Jawa Barat yang juga memiliki potensi ekonomi besar. Hal ini bisa menciptakan sinergi yang lebih baik dalam perdagangan, industri, dan investasi. Kota Jakarta memiliki infrastruktur yang lebih lengkap dan maju dibandingkan Kota Bandung. Dengan perpindahan ibu kota provinsi ke Jakarta, Jawa Barat bisa memanfaatkan infrastruktur ini untuk meningkatkan pelayanan publik dan efisiensi administratif.

Merger Kota Administratif Jakarta Timur dengan Kota Bekasi dan Jakarta Selatan dengan Depok dapat membantu dalam penataan ruang dan tata kelola kota yang lebih efisien. Dengan demikian, pengembangan wilayah bisa lebih terencana, mengurangi masalah kemacetan, dan meningkatkan kualitas hidup warga. Merger juga akan memungkinkan penyederhanaan birokrasi dan efisiensi dalam pelayanan pemerintahan. Dengan satu pemerintahan provinsi yang lebih besar, pengelolaan sumber daya manusia dan anggaran bisa lebih efektif.

Jakarta sebagai pusat kebudayaan dan sejarah bisa menarik lebih banyak wisatawan, dan dengan status sebagai ibu kota provinsi, potensi pariwisata bisa dikembangkan lebih jauh, termasuk promosi budaya Jawa Barat yang kaya. Merger dapat memperkuat rasa kebersamaan dan identitas regional, dengan menggabungkan keunikan budaya dari Jakarta dan Jawa Barat. Hal ini dapat menciptakan masyarakat yang lebih kohesif dan harmonis.

Dengan satu entitas pemerintahan yang lebih besar, masalah lingkungan seperti polusi, pengelolaan sampah, dan konservasi dapat ditangani dengan lebih terkoordinasi dan efisien. Penggabungan ini memungkinkan perencanaan pembangunan yang lebih terpadu dan komprehensif. Proyek infrastruktur besar dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan skala yang lebih besar dan dampak yang lebih signifikan.

Pemikiran tentang merger ini penulis peroleh setelah membongkar naskah lama yang berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan Jakarta. Pada awal tahun 1970 terjadi perang ide (Oorlog van ideeën) antara Bang Ali dan Mang Ihin yang bisa menjadi pertimbangan mendasar (fundamentele overweging) untuk menata kembali Provinsi  Jakarta pasca mengemban tugas sebagai Ibu Kota Negara.[6] Provinsi  Jakarta dengan Provinsi Jawa Barat ternyata pernah berselisih keras terkait perbatasan dua wilayah yang kala itu sama-sama dipimpin oleh tokoh nasional yang memiliki bobot, kelas, dan karakter yang sama lantaran keduanya lahir dari rahim Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kedua Kepala Daerah tersebut yakni Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin memimpin  Jakarta dan Mayor Jenderal TNI Solihin Gautama Purwanegara saat itu memimpin Jawa Barat. Pernah pada suatu saat ketika menghadapi permasalahan pemekaran wilayah, yaitu masalah perbatasan Provinsi  Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, kedua tokoh ini terlibat dalam suatu perang tanding yang seru, perang (dalam tanda petik) para negarawan, mengutip tulisan Ramadhan KH dalam buku 'Membenahi Jakarta menjadi Kota yang Manusiawi'.

Solihin GP yang saat itu belum lama diangkat menjadi Gubernur Jawa Barat ingin menemui Ali Sadikin ke Jakarta. Mendapat kabar tersebut, Bang Ali merespon baik keinginan koleganya sesama Gubernur itu dan seraya memutuskan menjemput Mang Ihin, panggilan akrab Solihin GP di perbatasan wilayah Jakarta-Jabar.

Dari penentuan titik jemput itu, ada pesan tersirat Bang Ali terkait hal yang akan dibahasnya saat bertemu. Waktu Mang Ihin muncul di Gubernuran, Bang Ali menerima Mang Ihin di operation room Balaikota. Di ruangan itu sudah disiapkan peta yang masih bertirai. To the Point bang Ali bilang ke Mang Ihin 'Mang Ihin, saya akan mendasarkan penyambutan saya pada peta ini. Karena kita orang-orang praktis, harus operasional.

“Saya ditugaskan oleh rakyat saya untuk memenuhi kebutuhan pengembangan Jakarta. Oleh karena itu, daerah ini (Bekasi, Tangerang dan Bogor), ini dan ini harus masuk wilayah Jakarta. Toh Jawa Barat tidak bisa membangun," sambung Bang Ali.

Mendengar pernyataan Bang Ali tersebut, seketika Mang Ihin sontak menolak permintaan Bang Ali dengan ucapan 'kalau sepotong-potong seperti maunya Bang Ali, no way. Jabar bisa membangun atau tidak, itu soal lain. Harus kira-kira dulu dong siapa gubernurnya'.

Menurut Mang Ihin, strategi Bang Ali itu kerdil. Mang Ihin berfikir secara strategis tawaran bang Ali tidak akan membawa perkembangan yang luar biasa. Mang Ihin malah meminta Bang Ali belajar ke pengalaman nenek moyang mereka saat Galuh pindah ke Pajajaran, Bogor, karena mau menyatukan komunitas di Jawa Barat dengan Jakarta. Ke utara sampai Sunda Kelapa. Dari Bogor bisa dikuasai. Ke barat, sampai Banten. Ke timur, sampai Cirebon.

Mang Ihin bahkan menantang Bang Ali untuk menyatukan Jakarta dengan Jawa Barat. Bang Ali Gubernurnya. Ibukotanya Jakarta. Bandung hanya kotamadya. Baru Mang Ihin akan mengalah. Karena mang Ihin berprinsip jika strategi itu adalah siapa yang bisa berkompetisi bila potensi Jawa Barat dan Jakarta menyatu.

Alih-alih mendapat dukungan Mang Ihin, dari cara bicara Mang Ihin jelas menandakan bahwa Mang Ihin tidak setuju dengan apa yang ditawarkan Bang Ali. Padahal, Bang Ali berkeyakinan Pembangunan akan lebih cepat jika dilaksanakan oleh . 'Sekarang kita perang perbatasan' Mang Ihin sampai menyatakan sikap seperti itu.

Pasca pertemuan tersebut, bahkan adu argumen terjadi bukan hanya di operation room itu saja, tapi sampai di luar gedung. Kemudian orang mengira mereka berdua sebagai dua gubernur yang berseteru dan bermusuhan. Perundingan mereka sangat emosional.

Namun anehnya, penolakan Mang Ihin tidak lantas membuat Bang Ali kecewa. Sebaliknya, Bang Ali menilai Mang Ihin sebagai sosok orang yang memiliki karakter sama dengan Bang Ali. Ia tidak mau kalah, ingin maju, gigih, bahkan dijadikan sparring partner yang menyenangkan buat Bang Ali.

Dari suasana itu bisa digambarkan bahwa bang Ali meskipun tegas, terkesan keras dan tempramen, namun sangat menghargai argumentasi dan keputusan orang untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.

Di mata Bang Ali, Mang Ihin sangat menaruh perhatian pada masalah wilayahnya. Karena Jawa Barat daerah agraris, ia memperdalam benar masalah pertanian. Sedang Bang Ali memperdalam soal industri, perdagangan, dan jasa.

Solihin GP bukan saja tidak setuju dengan perluasan wilayah Jakarta. Secara prinsip, mengubah batas wilayah Kota Bandung pun ia tidak mau. Bupati Bandung-nya pun tidak mau. Padahal ibukota-ibukota provinsi lainnya sudah diperluas.

Bukan Bang Ali kalau menyerah, Bang Ali tetap kukuh ingin menyelesaikan soal perbatasan Jakarta dan Jabar. Apa yang sudah dikejar bang Ali mutlak harus didapat. Hemat Bang Ali agar masalah itu jangan sampai tertunda terus. Bang Ali ingin mengadakan suatu terobosan waktu itu. Tidak mau adanya perasaan khawatir, ada konflik. Dan dalam hal ini harus ada keberanian. Itu karakteristik Bang Ali.

Singkat cerita, kesepakatan dua Gubernur itu pun tercapai. Sekalipun tidak seperti yang diinginkan oleh Bang Ali, kesepakatan itu yakni ada pelurusan-pelurusan garis batas, yang tadinya berbelok-belok lalu diluruskan. Terselesaikannya batas-batas itu karena ada tekanan dari . Bukan tanpa tanggung Jawab, nampak kenegarawanan Bang Ali yakni menyediakan biayanya, ruangan, rumah, dan perkantoran untuk sekretariat Jabotabek.

Dari cara kedua pemimpin ini menghadapi persoalan kerakyatan, kedaulatan, kewilayahan, pembangunan dan peradaban patut dihormati, disegani bahkan diapresiasi setinggi-tingginya.



[1] CNN Indonesia, 2024, Pakar: Jakarta Sudah Bukan Ibu Kota Negara Indonesia Sejak 15 Februari, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240306170515-20-1071268/pakar-jakarta-sudah-bukan-ibu-kota-negara-indonesia-sejak-15-februari.

[4] Memori Jabatan Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata, https://www.slideshare.net/DadangSolihin/memori-jabatan-deputi-budpar-252120410

[5] DPD IKAL DKI, 2023, Best Practices Smart Governance Provinsi DKI Jakarta , https://www.slideshare.net/DadangSolihin/best-practices-smart-governance-provinsi-dki-jakarta

[6] Radar Nonstop, 2021, Cara Negarawan, Begini Ali Sadikin dan Solihin GP Selesaikan Perbatasan Jakarta-Jabar, https://m.radarnonstop.co/read/29429/Cara-Negarawan-Begini-Ali-Sadikin-dan-Solihin-GP-Selesaikan-Perbatasan-Jakarta-Jabar

Tag : No Tag

Berita Terkait