Penulis: Tatang Sunendar
13 Hari lalu, Dibaca : 430 kali
Oleh Tatang Sunendar
Menjadi
guru adalah sebuah panggilan jiwa, bukan sekadar pekerjaan. Tugas guru tidak
hanya mentransfer pengetahuan, melainkan mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi, menumbuhkan karakter, serta
menginspirasi peserta didik agar tumbuh sesuai kodratnya. Oleh karena iru
menjadi guru bukan sekadar berdiri di depan kelas dan menyampaikan pelajaran.
Lebih dari itu, guru adalah penuntun, penginspirasi, dan pembentuk karakter
generasi penerus bangsa. Dalam praktiknya, tugas ini tidak mudah. Ada banyak
tantangan yang harus dihadapi, termasuk kelemahan dalam proses mengajar yang
sering muncul tanpa disadari.
Sesuai
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, seorang guru dituntut memiliki empat
kompetensi utama: pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Dari
keempatnya, kompetensi pedagogik memegang peranan kunci. Guru harus mampu
memahami karakteristik peserta didik, merancang pembelajaran dengan matang,
melaksanakan proses pembelajaran yang mendidik, serta melakukan penilaian dan
refleksi untuk perbaikan berkelanjutan.
Menurut
pakar pendidikan Prof. Suyanto, guru profesional adalah guru yang “mengajar
dengan hati dan berpikir dengan strategi.” Guru bukan hanya menyampaikan
materi, tetapi juga merancang pengalaman belajar yang bermakna dan
memberdayakan. Sejalan dengan itu, Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa guru
adalah “pamong”, yakni penuntun tumbuhnya potensi anak, bukan sekadar pemberi
instruksi.
Namun,
realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru masih memiliki kelemahan
dalam mengajar. Kelemahan ini bukan untuk dipermalukan, melainkan sebagai
cermin refleksi untuk memperbaiki diri.
Salah
satu kelemahan yang sering terjadi adalah cara mengajar yang monoton. Metode
ceramah digunakan terus-menerus, membuat siswa pasif dan cepat bosan.
Solusinya, guru perlu memvariasikan metode mengajar, seperti diskusi kelompok,
eksperimen, pembelajaran berbasis proyek (PBL), atau pendekatan STEM. Dengan
cara ini, kelas menjadi lebih hidup dan siswa terdorong untuk aktif berpikir
kritis.
Kelemahan
lain adalah kurangnya pemahaman terhadap karakter siswa. Guru sering
memperlakukan semua siswa dengan pendekatan yang sama, padahal setiap anak
memiliki gaya belajar dan kemampuan berbeda. Mengadakan observasi, asesmen
diagnostik, dan pendekatan personal dapat membantu guru merancang pembelajaran
berdiferensiasi sesuai kebutuhan siswa.
Banyak
guru juga terlalu fokus pada nilai. Nilai ujian sering dijadikan tolok ukur
utama keberhasilan, sementara proses belajar kurang dihargai. Padahal, menurut
John Dewey, proses belajar yang bermakna terbentuk melalui pengalaman dan
refleksi. Guru sebaiknya memberi penekanan pada proses, memberikan umpan balik
yang membangun, dan menggunakan penilaian autentik agar siswa berkembang secara
utuh.
Masalah
kesabaran juga menjadi tantangan. Tekanan administratif dan perilaku siswa yang
beragam sering membuat guru mudah tersulut emosi. Solusinya, guru perlu
mengasah komunikasi empatik, menerapkan pendekatan restoratif, dan membangun
iklim kelas yang positif.
Begitu
pula dengan gaya mengajar otoriter, yang kerap membuat suasana belajar tegang.
Guru profesional membangun disiplin dengan pendekatan positif, kesepakatan
bersama, dan dialog terbuka, bukan dengan ketakutan.
Kurangnya
motivasi yang diberikan kepada siswa juga sering terjadi. Guru sibuk mengejar
target kurikulum tanpa menyemangati peserta didik. Padahal, dorongan
motivasional sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Menyisipkan kata-kata
inspiratif, memberikan pujian atas usaha kecil, atau menciptakan atmosfer kelas
yang suportif adalah langkah sederhana namun berdampak besar.
Di era
digital, ketidaksiapan guru dalam memanfaatkan teknologi juga menjadi kelemahan
tersendiri. Padahal, teknologi adalah pintu menuju pembelajaran yang lebih luas
dan menarik. Guru dapat mulai dengan langkah kecil, seperti menggunakan video
pembelajaran, platform kuis interaktif, atau aplikasi sederhana untuk
memperkaya pengalaman belajar.
Selain
itu, evaluasi pembelajaran yang kurang komprehensif sering membuat kemajuan
siswa tidak terpantau dengan baik. Evaluasi seharusnya tidak hanya berfokus
pada ujian akhir, tetapi juga mencakup asesmen formatif, portofolio, dan
refleksi siswa. Ini akan memberi gambaran lebih menyeluruh tentang proses
belajar.
Guru
juga sering terlalu mendominasi kelas, tidak memberi ruang kepada siswa untuk
bertanya, berpendapat, atau terlibat aktif. Padahal, pembelajaran yang bermakna
terjadi melalui dialog dua arah. Guru perlu menjadi fasilitator yang memberi
kesempatan luas bagi siswa untuk berpartisipasi.
Kelemahan
berikutnya adalah perencanaan pembelajaran yang kurang matang. Mengajar tanpa
rencana yang jelas membuat kegiatan belajar tidak fokus dan kurang terarah.
Solusinya, guru perlu menyusun RPP atau modul ajar dengan memperhatikan tujuan,
langkah pembelajaran, serta teknik asesmen yang sesuai.
Guru
juga kerap tidak mengaitkan materi dengan kehidupan nyata. Materi yang abstrak
dan jauh dari keseharian membuat siswa sulit memahami relevansinya. Dengan
menggunakan pendekatan kontekstual, pembelajaran akan terasa lebih dekat dan
bermakna.
Tak
jarang, refleksi diri diabaikan. Guru jarang mengevaluasi efektivitas
pembelajaran yang telah dilakukan. Padahal, menurut Donald Schön, guru
reflektif selalu belajar dari praktiknya sendiri dan melakukan perbaikan
berkelanjutan. Melibatkan rekan sejawat atau meminta umpan balik dari siswa
bisa menjadi langkah awal yang baik.
Terakhir,
hubungan guru dan siswa yang kurang hangat sering menjadi penghambat besar
dalam proses belajar. Ketika hubungan kaku dan berjarak, siswa merasa enggan
terbuka. Solusinya, bangun komunikasi dua arah yang hangat dan jadilah sosok
yang dapat dipercaya siswa. Hubungan emosional yang positif merupakan fondasi
terciptanya suasana belajar yang menyenangkan.
Semua
kelemahan tersebut bukanlah akhir, melainkan titik awal untuk perbaikan. Guru
profesional bukanlah guru yang sempurna, melainkan guru yang mau belajar,
terbuka terhadap kritik, dan terus berbenah. Sebagaimana pesan Ki Hajar
Dewantara, “Pendidikan adalah tuntunan
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Maka orang bijak berkata “Guru yang hebat bukanlah yang tak pernah
salah, melainkan yang selalu belajar dari kelemahannya untuk menjadi lebih baik
setiap hari……………. Semoga.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back