Penulis: Idris Apandi
8 Hari lalu, Dibaca : 64 kali
Oleh Idris Apandi, Praktisi Pendidikan
Di banyak
sekolah, konflik antara orang tua dan guru kini semakin sering mencuat. Ada
anak yang mengadu merasa “dibentak” oleh guru, lalu orang tua langsung datang
ke sekolah dengan amarah yang meluap-luap. Ada pula yang tanpa klarifikasi mengunggah keluhannya di
media sosial, bahkan sampai melapor ke polisi. Semua dilakukan atas dasar cinta
kepada anak.
Namun, cinta yang tidak disertai kebijaksanaan justru
bisa berubah menjadi racun. Fenomena orang tua yang terlalu reaktif, emosional,
dan hanya mendengar dari satu sisi telah melahirkan dua tipe baru dalam dunia
pengasuhan modern: orang tua toxic
dan orang tua bermental strawberry.
Keduanya sama-sama berpotensi merusak karakter anak dan menghambat keberhasilan
pendidikan yang seharusnya dijalankan bersama antara sekolah, keluarga, dan
masyarakat.
Ketika Orang
Tua Menjadi Racun bagi Tumbuh Kembang Anak
Istilah toxic
parent sebenarnya tidak asing dalam psikologi. Ia menggambarkan orang tua
yang secara sadar atau tidak, menularkan “racun” emosional melalui sikap
mengontrol, memaksakan kehendak, menolak kritik, dan selalu ingin anak terlihat
sempurna.
Dalam
konteks hubungan dengan sekolah, orang tua bermental toxic memiliki ciri-ciri
khas:
·
Selalu menilai anaknya benar, guru salah.
·
Menyerang tanpa tabayyun, klarifikasi, dan tanpa mau mencari fakta di lapangan.
·
Menolak kerja sama dengan pihak sekolah karena merasa paling tahu tentang
anaknya.
·
Menganggap anak sebagai simbol kehormatan pribadi, bukan individu yang harus belajar dari kesalahan.
·
Mendidik
dengan ego, bukan dengan kasih sayang.
Pola seperti ini menciptakan keluarga yang penuh tekanan.
Anak kehilangan ruang untuk tumbuh secara sehat karena segala hal diukur dari
kacamata ego orang tua. Ia belajar bahwa tanggung jawab bisa digantikan dengan
pembelaan orang tua yang membabi buta. Anak memang tampak “dilindungi”, tetapi
sejatinya sedang kehilangan pelindung terpentingnya: kemampuan mengenali dan
memperbaiki kesalahan sendiri.
Mental Strawberry: Rapuh, Mudah
Tersinggung, dan Tak Tahan Kritik
Jika
orang tua toxic adalah racun yang mengontrol, maka orang tua bermental
strawberry adalah gula yang berlebihan. Tampak manis
di luar, tapi mudah rusak ketika sedikit saja terguncang.
Orang tua
bermental strawberry biasanya:
·
Terlalu memanjakan anak dengan alasan kasih
sayang.
·
Tidak tega melihat
anak kecewa atau disalahkan.
·
Menolak segala bentuk teguran dari guru karena dianggap sebagai penghinaan.
·
Menuntut sekolah dan
lingkungan menyesuaikan diri dengan
anaknya, bukan sebaliknya.
·
Menganggap disiplin
atau konsekuensi sebagai kekerasan.
Akibatnya, anak tumbuh dalam dunia yang steril dari
tantangan. Ia tidak belajar tentang konsekuensi, tanggung jawab, dan empati.
Sekali menghadapi kesulitan, ia mudah menyerah, tersinggung, atau menyalahkan
orang lain. Inilah benih dari generasi “mudah baper”, generasi yang hebat di
layar gawai tapi ringkih dalam realitas sosial.
Dampak Buruk bagi Karakter Anak
Baik
toxic maupun strawberry, keduanya berangkat dari niat baik, tetapi berujung
pada kerusakan karakter. Dampaknya bisa terlihat dari beberapa hal berikut:
1.
Hilangnya
kemampuan refleksi diri.
Anak
terbiasa dibela, sehingga tidak belajar menilai kesalahannya sendiri.
2.
Munculnya
mental korban (victim mentality).
Anak
merasa dirinya selalu benar dan disakiti oleh orang lain. Akibatnya, ia sulit
bertanggung jawab.
3.
Menurunnya
rasa hormat terhadap guru dan aturan.
Jika melihat orang tuanya melawan atau menghina guru,
anak pun kehilangan rasa hormat terhadap otoritas.
4.
Tumbuhnya
pribadi egois dan tidak tangguh.
Anak mudah tersinggung, sulit diajak kerja sama, dan
tidak tahan kritik.
5.
Rapuh dalam menghadapi kehidupan nyata.
Ketika dewasa, anak seperti ini mudah stres, sulit
bekerja dalam tim, dan tidak tahan gagal.
Dampak tersebut tidak hanya merugikan anak secara
pribadi, tetapi juga mengganggu ekosistem pendidikan. Guru kehilangan
kewibawaannya, sekolah kehilangan kepercayaan publik, dan proses pendidikan
kehilangan ruhnya: pembentukan karakter.
Mengapa Orang Tua Bisa Menjadi Toxic dan
Strawberry?
Tidak
semua orang tua berniat buruk. Banyak dari
mereka hanya salah arah dalam mengekspresikan cinta. Tekanan sosial, gaya hidup
serba cepat, dan media sosial membuat banyak orang tua takut anaknya gagal,
sedih, atau “berbeda dari anak orang lain.” Ketakutan itu berubah menjadi sikap
protektif berlebihan.
Sebagian lagi muncul karena kurangnya komunikasi antara sekolah dan keluarga.
Saat anak bercerita dengan versi sepihak, orang tua langsung bereaksi tanpa
klarifikasi, seolah menjadi “pahlawan” bagi anaknya. Padahal, tanpa disadari,
reaksi emosional itu justru menanamkan pelajaran keliru: bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan
kemarahan, bukan dialog.
Upaya Menghindari Mental Toxic dan
Strawberry
Menjadi
orang tua yang sehat secara emosional adalah proses belajar yang panjang. Tidak
ada yang sempurna, tapi semua bisa diperbaiki. Berikut beberapa langkah konkret
agar orang tua tidak jatuh ke dalam jebakan toxic dan strawberry:
1.
Dengarkan
dengan hati, bukan dengan amarah.
Saat anak bercerita, jangan buru-buru menyimpulkan.
Tanyakan dengan tenang: “Kamu yakin begitu kejadiannya?” atau “Bagaimana
kalau kita bicarakan bersama gurumu?”
2.
Bangun komunikasi sejajar dengan guru.
Guru bukan musuh, tetapi mitra dalam mendidik anak.
Setiap masalah sebaiknya diselesaikan lewat dialog dan kerja sama, bukan emosi.
3.
Ajarkan anak bertanggung jawab.
Biarkan
anak menghadapi konsekuensi dari perbuatannya. Teguran bukan bentuk kebencian,
melainkan bagian dari pendidikan karakter.
4.
Kendalikan
ego dan emosi.
Orang tua
adalah cermin bagi anak. Jika orang tua marah tanpa kendali, anak belajar bahwa
marah adalah cara menghadapi masalah.
5.
Perbanyak
literasi pengasuhan.
Ikuti
kegiatan parenting, baca buku, atau dengarkan pandangan para pendidik. Orang
tua yang terdidik akan lebih bijak dalam mendidik.
6.
Tanamkan
nilai moral dan spiritual di rumah.
Nilai
kejujuran, tanggung jawab, empati, dan kesabaran harus hidup dalam keseharian,
bukan hanya dalam nasihat.
Cinta yang Mendidik, Bukan Memanjakan
Cinta
sejati dalam pengasuhan bukanlah tentang seberapa sering kita membela anak,
tetapi seberapa kuat kita membimbingnya agar mampu berdiri sendiri.
Mendidik anak berarti membiarkannya belajar dari kesalahan, jatuh lalu bangkit,
menangis lalu mengerti, agar kelak ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang tangguh
dan berkarakter.
Orang tua
yang bijak tidak selalu berada di pihak anak, tetapi berada di pihak kebenaran
— karena hanya kebenaranlah yang bisa menuntun anak menuju kedewasaan.
Maka,
sebelum melangkah dengan emosi, mari refleksikan:
Apakah reaksi kita selama ini benar-benar demi kebaikan anak, atau hanya demi
menenangkan ego kita sendiri?
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back