Penulis: Harya Nanda Syafutra Nasution
5 Hari lalu, Dibaca : 134 kali
Oleh Harya Nanda Syafutra Nasution
(RIMBAWAN 11 SMKN PP CIANJUR)
Belajar Langsung Ekosistem Hutan
Bersama Jurusan Kehutanan SMKN PP Cianjur 15 Oktober 2025 – Berangkat 07.20
WIB, Pulang 16.30 WIB
Tanggal
15 Oktober 2025 menjadi hari yang sangat spesial bagi saya dan teman-teman satu
jurusan Kehutanan SMKN PP Cianjur. Hari itu adalah praktik lapangan pertama
kami ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, tepatnya menuju Curug Cibereum.
Ini bukan hanya sekadar kegiatan jalan-jalan, tetapi juga kesempatan untuk
belajar langsung tentang ekosistem hutan di lapangan —
sesuatu yang sejak awal kami nantikan sebagai siswa jurusan kehutanan.
Pagi
itu, kami berkumpul di sekolah sejak pukul 06.45 WIB untuk persiapan. Walaupun
suasananya santai, terlihat jelas bahwa semua sudah siap secara mental maupun
perlengkapan. Kami membawa buku catatan lapangan, air minum, jas hujan ringan,
dan beberapa peralatan observasi sederhana. Berbeda dari kunjungan sekolah
biasa, kali ini kami berangkat menggunakan angkot
sewaan, bukan bus besar. Tepat pukul 07.20
WIB, angkot kami pun meninggalkan sekolah menuju Cibodas.
Perjalanan
di dalam angkot terasa sangat berkesan. Karena kendaraan lebih kecil, suasana
jadi lebih akrab. Kami sempat bercanda, sambil tetap mendengarkan pengarahan
dari guru pembimbing kami yang menjelaskan tentang karakter hutan montana,
pentingnya menjaga perilaku selama berada di kawasan konservasi, dan apa saja
yang akan diamati nanti. Waktu tempuh menuju lokasi kurang lebih satu setengah
jam, dan sekitar pukul 08.50 kami tiba di pintu masuk Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango.
Begitu
turun dari angkot, udara langsung terasa berbeda — lebih sejuk, lembap, dan
segar. Aroma tanah basah dan dedaunan menyambut kami, seakan memberi ucapan
selamat datang. Sebelum masuk, kami mengikuti briefing singkat dari petugas TNGGP. Kami diingatkan untuk tidak
mengambil apapun dari alam, tidak memberi makan hewan, tidak meninggalkan
sampah, serta wajib mengikuti jalur resmi. Kami lalu berdoa bersama sebelum
memulai perjalanan.
Tepat
sekitar pukul 09.10 WIB, perjalanan
menuju Curug Cibereum dimulai. Jalur awal masih cukup landai dan nyaman,
melewati area yang vegetasinya belum terlalu rapat. Namun setelah melewati
pintu pos pemeriksaan kehutanan, suasananya langsung berubah drastis. Pepohonan
tinggi menjulang dengan batang penuh lumut, daun-daun rimbun menutup sebagian
cahaya matahari, dan suara air mengalir mulai terdengar dari kejauhan.
Selama
perjalanan, guru kami meminta kami tidak hanya berjalan, tetapi mengamati ekosistem hutan secara langsung.
Kami diminta memperhatikan lantai hutan, lapisan vegetasi, kelembaban udara, serta bentuk interaksi antara
organisme di alam. Semakin masuk jalur, kami mulai melihat lumut yang sangat tebal menempel di batang pohon, jamur kecil
tumbuh di kayu lapuk, serta beberapa jenis tanaman paku epifit yang menandakan
bahwa hutan ini memiliki kelembaban tinggi dan ekosistem yang sehat.
Kami
sempat berhenti beberapa kali untuk mencatat pengamatan. Salah satu momen
menarik adalah ketika kami melihat serangga
kecil yang bergerak di antara lapisan serasah daun— tanda bahwa proses
dekomposisi berlangsung aktif. Guru kami menjelaskan bahwa serasah daun bukan
sampah, tetapi sumber nutrisi penting bagi kehidupan hutan. Penjelasan itu
terasa jauh lebih nyata saat kami benar-benar melihatnya langsung di lapangan.
Sekitar
pukul 10.30, kami tiba di Pos
Panyangcangan, titik istirahat terakhir sebelum menuju Curug Cibereum.
Suara air terjun mulai terdengar semakin jelas, dan rasa lelah otomatis
tergantikan oleh semangat. Perjalanan dilanjutkan, dan hanya sekitar 10 menit
kemudian, tibalah kami di titik utama — Curug
Cibereum.
Pemandangan
saat itu sulit digambarkan dengan kata-kata. Air terjun setinggi kira-kira 70
meter menghantam bebatuan besar, menghasilkan suara gemuruh dan embusan kabut
air yang begitu dingin. Udara di sekitar terasa jauh lebih
sejuk, bahkan hampir menusuk kulit. Saat berdiri di depannya, kami semua
spontan terdiam beberapa detik. Tidak ada yang sibuk mengambil foto. Semua
seperti menghormati kekuatan alam yang sangat mempesona ini.
Setelah
itu, kami duduk bersama di bebatuan aman sekitar curug. Guru kami meminta kami
mengamati lingkungan sekitar tanpa berbicara selama satu menit. Hanya mendengar
suara alam. Saat itu saya merasakan kedamaian yang tidak bisa ditemukan di
sekolah, di rumah, atau di kota manapun. Rasanya seperti benar-benar menyatu
dengan alam.
Setelah
sesi refleksi singkat, kami memulai pengamatan
ekosistem secara langsung dalam kelompok kecil. Ada yang mendata vegetasi,
ada yang mencatat kualitas air secara visual, ada yang meneliti serasah dan
fungi, dan ada juga yang mendokumentasikan interaksi alam yang terlihat. Kami
menemukan bahwa air dari Curug Cibereum
sangat jernih dan dingin, lumut tumbuh subur, dan banyak tanda bahwa
kawasan ini masih sangat terjaga dengan baik. Itu menjadi bukti bahwa
konservasi di TNGGP berjalan efektif.
Sekitar
pukul 12.00 WIB, kami makan siang
bersama di tepi aliran sungai kecil yang berada tidak jauh dari curug, tetap di
zona aman. Makan nasi bungkus sederhana di tengah alam seperti ini terasa jauh
lebih nikmat daripada makan di tempat manapun. Bukan karena lauknya mewah, tetapi
karena suasana dan emosinya yang tidak bisa ditiru.
Setelah
makan dan istirahat ringan, kami lanjut melakukan sesi diskusi dan refleksi.
Guru kami menanyakan pendapat kami tentang apa yang paling berkesan. Jawaban
teman-teman beragam — mulai dari jalanan licin, udara bersih, lumut yang begitu
tebal, hingga keheningan hutan yang sangat “hidup”. Saya pribadi menjawab bahwa
hutan bukan hanya objek pelajaran, tetapi sistem
kehidupan yang benar-benar sadar dan bekerja tanpa henti.
Pukul
13.30 WIB, kami mulai turun kembali.
Perjalanan turun terasa lebih ringan karena kami sudah puas, dan juga karena
jalur terasa lebih mudah ketika berjalan sambil bercerita. Sepanjang jalan kami
tetap menjaga sampah dan sesekali berhenti untuk mengambil dokumentasi
tambahan. Kami tiba kembali di pintu masuk sekitar pukul 16.00 WIB, lalu langsung naik angkot dan bersiap pulang. Tepat
pukul 16.30 WIB, angkot kami
meninggalkan kawasan Cibodas.
Hari
itu bukan hanya sekadar perjalanan studi atau rekreasi. Itu adalah pertemuan pertama kami yang sebenarnya
dengan hutan hidup. Sebuah perjalanan yang membuat kami tidak hanya belajar, tetapi juga menghormati
alam dari hati.
Curug
Cibereum kini bukan hanya tempat wisata bagi kami. Ia adalah bab pertama yang
membuka rasa cinta dan tanggung jawab terhadap hutan sebagai masa depan profesi
kami.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back