Loading

Sumpah yang Ditulis Ulang: Ketika Puisi Menyalakan Api Pemuda di Depok


Penulis: Lucy
4 Hari lalu, Dibaca : 57 kali


Halaman kantor PWI mulai dipenuhi anak-anak berseragam putih-merah, biru, dan abu-abu.

DEPOK, Medikomonline.com Pagi menyapa Kota Depok dengan kelembutan yang nyaris seperti bisikan. Langit biru muda berhiaskan awan tipis, dan cahaya matahari menyusup malu-malu di antara dedaunan halaman Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Selasa (28/10/2025). Tak ada panggung megah, tak ada pengeras suara. Tapi justru di kesederhanaan itulah, kata-kata menemukan rumahnya.

Di halaman kecil itu, para wartawan menata meja dan kursi. Bendera merah putih berkibar pelan, seolah ikut menyambut sebuah perayaan yang tak biasa: lomba puisi dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Pagi yang Dihidupkan oleh Kata

Sekitar pukul sembilan, halaman kantor PWI mulai dipenuhi anak-anak berseragam putih-merah, biru, dan abu-abu. Mereka datang dengan map berisi puisi, ditemani orang tua yang tak kalah antusias. Tawa gugup dan suara kamera ponsel bersahutan, menangkap momen yang mungkin akan jadi kenangan seumur hidup.

Ketua PWI Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah, menyambut mereka dengan senyum teduh dan suara lantang, “Pagi ini bukan sekadar lomba. Ini adalah cara kita memperbarui sumpah—bukan dengan darah, tapi dengan tinta dan kata.”

Menulis di Tengah Deru Digital

Di era ketika jempol lebih cepat dari pikiran, menulis puisi terasa seperti langkah mundur. Tapi justru di situlah maknanya. Di ruang sederhana itu, kata-kata menjadi perlawanan sunyi terhadap kebisingan dunia digital.

“Menulis adalah cara kita menata hati,” ujar Adie Rakasiwi, juri sekaligus wartawan senior dan penyair. “Kalau anak muda tak lagi menulis, siapa yang menjaga nurani bahasa kita?”

Dan ketika puisi-puisi mulai dibacakan, ruangan itu berubah menjadi taman kecil tempat kata tumbuh dan mekar.

Empat Suara, Empat Cahaya

Dari puluhan karya, empat pelajar terpilih sebagai juara. Mereka datang dari jenjang berbeda—SD, SMP, SMA—namun pagi itu, mereka setara: sama-sama anak bangsa yang bicara dengan bahasa hati.

JuaraNamaSekolahJudul PuisiHadiahISyesa Agni FatinSMA Arrahman Depok _Cahaya di Pelupuk Nusantara_ Rp 1 juta + Piagam + VoucherIINaurah NabihahSMA PGRI Depok _Lentera Bangsa_ Rp 750 ribu + Piagam + VoucherIIIKhanza Nayla OktavianySDN Depok Jaya 1 _Anak Bangsa_ Rp 250 ribu + Piagam + VoucherIVElok PermataputriSMPN 32 Depok _Bangkit Generasi Muda Indonesia_ Rp 250 ribu + Piagam + VoucherSyesa menulis dengan ketenangan yang dalam, Naurah menyulut kesadaran lewat kritik sosial, Khanza membawa semangat polos yang menyentuh, dan Elok menghidupkan kembali gema Sumpah Pemuda dengan lantang.

Kantor Wartawan, Panggung Sastra yang Tak Terduga

Hari itu, kantor PWI bukan sekadar tempat kerja para jurnalis. Ia menjelma menjadi ruang sastra, tempat anak-anak menulis sejarah kecil mereka sendiri. Buku tamu yang biasanya diisi pejabat, kini dipenuhi nama-nama siswa dengan tulisan miring dan tinta biru.

“Saya melihat masa depan di mata mereka,” ucap Rusdy lirih, memandangi para peserta yang sibuk berfoto.

Sumpah yang Tak Lagi Diteriakkan, Tapi Ditulis

Sekitar pukul sebelas, acara ditutup. Langit semakin cerah, anak-anak berpamitan dengan senyum lebar. Tapi di balik keceriaan itu, ada haru yang menggantung di udara.

Wartawan senior Musa Sanjaya menulis dalam catatannya:

 “Sumpah Pemuda hari ini tak diucapkan di podium, tapi di antara bait-bait yang lahir dari pena anak bangsa.”

Dan mungkin ia benar. Karena pagi itu, di kantor wartawan kecil di Depok, Sumpah Pemuda tidak sekadar diperingati—ia dihidupkan kembali, lewat kata-kata yang jujur, tulus, dan penuh harapan.(Lucy)

Tag : No Tag

Berita Terkait