Loading

Pemikiran Confusius dan Deng Xiao Ping dalam Pendidikan Inklusif di Tiongkok


Penulis: Iim Imandala
4 Tahun lalu, Dibaca : 1166 kali


Iim Imandala

Oleh Iim Imandala

Ph.D. Candidate di Nanjing Normal University (NNU) Tiongkok dan Guru SLBN Cicendo Kota Bandung

Pengurus Pusat Ikatan Guru Pendidikan Khusus (IGPKhI)


Confusius

Confusius (770-476 SM) seorang guru bangsa bagi rakyat Tiongkok, bahkan dunia internasional pun mengenalnya melalui pemikiran-pemikiran yang telah banyak mempengaruhi dunia pendidikan. Bangsa Tiongkok berhasil mengkristalisasi buah karya Confusius menjadi salah satu landasan filosofis dalam kehidupan dan dalam praktik bernegara. Melalui kitab yang diberi nama Li Ji (Kitab Hak Asasi) telah menjadi pedoman filosofis untuk pendidikan di Tiongkok. Nilai-nilai budaya edukatif banyak digali dari kitab tersebut dan dianggap masih relevan hingga masa kini. Confusius dalam kitab tersebut menulis pula tentang hak-hak bagi penyandang disabilitas, salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan[1]. Lebih jauh lagi, dalam kita Li Ji itu dituliskan pula bagaimana hak penghidupan bagi penyandang disabilitas. Hak penghidupan tersebut berupa pekerjaan yang harus didukung oleh penguasa/pemerintah dan harus didukung oleh sistem sosial pada masa itu[2]. Meskipun demikian, dalam kenyataan saat itu, konsep atau gagasan Confusius belum dapat diterima dan dijalankan oleh masyarakat dan penguasa pada masa itu. Hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat mewujudkannya, yaitu para murid dan pengikut setia Confusius.

Berdasarkan manuskrip kitab bersejarah tersebut, bangsa Tiongkok patut berbangga karena secara otentik sejak sebelum masehi sudah memiliki pemikiran maju untuk memenuhi hak pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas. Yang dan Wang meyakini bahwa bangsa negeri tembok raksasa lebih maju 2000 tahun di banding bangsa Eropa dalam pemikiran hak penyandang disabilitas[3]. Para ahli pendidikan khusus terus menggali nilai-nilai edukatif dalam kitab Li Ji, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan inklusif.

Menghargai perbedaan kemampuan, meyakini setiap orang memiliki potensi, dan persamaan hak dalam hukum merupakan beberapa nilai yang berhasil digali dalam kita Li Ji. Kemudian nilai-nilai itu dijadikan landasan dalam implementasi pendidikan bagi penyandang disablitas[4]. Dalam konteks mutakhir saat ini, nilai-nilai itu dikaitkan dengan pendidikan inklusif. Pakar pendidikan dan departemen pendidikan tidak banyak mengikuti model pendidikan inklusif yang datang dari Western, tapi lebih fokus implementasi nilai budaya dalam sistem pendidikan inklusif. Apa yang dapat dilakukan saat ini, meskipun belum full inclusion, maka dilakukan. Meskipun hanya sanggup menerima dan hanya inklusif parsial, maka lakukanlah. Fokusnya adalah pemenuhan hak pendidikan sesuai nilai-nilai kitab Li Ji.

Deng Xiao Ping

Mantan pemimpin tertinggi bangsa Tiongkok, Deng Xiao Ping (1904-1997), pernah berkata, “Tidak peduli kucing itu hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus”. Rupanya ucapan tersebut telah menjadi landasan berbagai kebijakan pemerintah Tiongkok, tidak hanya berkaitan dengan bidang ekonomi dan perdagangan, namun telah menginspirasi pula dalam kebijakan pendidikan di Tiongkok. Termasuk telah menginspirasi kebijakan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Jika ucapan Deng Xiao Ping itu ditafsirkan dalam konteks pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus maka artinya semua anak-anak berkebutuhan khusus harus sekolah, walau bagaimana pun kondisinya yang penting masih memiliki potensi.

Ucapan mantan pemimpin Tiongkok itu bukan omong kosong, faktanya memang benar telah menghasilkan perubahan dalam dunia pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas usia sekolah. Menurut Pang dan Richey, pada tahun 1970an ada 20% dari populasi anak penyandang disabilitas yang telah bersekolah, kemudian terus meningkat. Pada tahun 2006 sebanyak 55% anak penyandang disabilitas telah bersekolah[5]. Anak-anak tersebut ada yang bersekolah di sekolah luar biasa (SLB), ada pula yang sekolah di sekolah reguler. Angka tersebut akan terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya, terutama pada masa kepemimpinan Xi Jin Ping tahun 2013 hingga 2016 mencapai angka sedikitnya 66% dari populasi anak-anak penyandang disabilitas usia sekolah[6]. Bahkan prediksi tahun 2019 bisa mencapai 80% hingga 90%. Pertambahan itu pun bersamaan dengan pendirian sekolah luar biasa di seluruh wilayah Tiongkok. Tercatat oleh departemen pendidikan Tiongkok hingga tahun 2015 terdapat lebih dari 600.000 unit sekolah reguler berbagai satuan pendidikan dan SLB sebanyak lebih dari 1500 unit. Pembangunan fasilitas pendidikan terus digenjot yang penting semua anak bisa memperoleh haknya untuk sekolah.

Dampak lainnya yang masih terasa hingga saat ini adalah terhadap kebijakan pendidikan inklusif yang berlangsung di Negeri Panda ini. Kebijakan Kementrian pendidikan lebih menekankan yang penting semua sekolah reguler menerima semua jenis anak berkebutuhan khusus, mengenai model layanannya dapat menyesuaikan dengan kondisi anak dan daya dukung fasilitas, serta sumber daya manusia yang dimiliki oleh sekolah. Kebijkan tersebut dilandasi juga oleh masih sedikitnya SLB yang ada di Tiongkok, sedangkan keberadaan anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh wilyaha negeri. Oleh karena itu, sekolah reguler wajib menerima anak berkebutuhan khusus untuk dididik bersama anak-anak pada umumnya. Situasi tersebut membutuhkan bentuk layanan pendidikan atau pembelajaran yang dapat mengakomodir kemampuan anak-anak berkebutuhan khusus.

Layanan yang lebih banyak dilakukan sekolah reguler hingga saat ini adalah menyediakan ruangan khusus di dalam lingkungan sekolah dan mendatangkan guru khusus. Layanan seperti demikian dianggap paling akomodatif saat ini. Melalui layanan tersebut, anak-anak berkebutuhan khusus, pada waktu-waktu tertentu belajar bersama dengan teman sebayanya di kelas yang sama dengan pelajaran yang sama, didampingi atau tidak dampingi oleh guru khusus. Pada waktu tertentu pula mereka ditarik ke ruang atau kelas khusus untuk belajar bersama guru khusus. Layanan pendidikan dan pembelajaran ini terus berproses menuju kondisi yang lebih baik, hingga menemukan model layanan yang ideal bagi semua anak, tidak hanya untuk anak-anak berkebutuhan khusus saja.

Penutup

Pemikiran Confusius dan Deng Xiao Ping terus mengalami evolusi dan revolusi menjadi landasan kajian filosofis dan teoritis. Buah pemikiran yang tidak sembarang itu diharapkan menjadi berwujud implementatif praktek-praktek terbaik dalam konteks pendidikan untuk semua anak. Generasi saat ini dan para pakar perlu mengimbangi adanya kebutuhan daya dukung fasilitas pendidikan, sumber daya pendidik, tata kelola sistem pendidikan, kesiapan anggaran pendidikan, dan inovasi model pembelajaran. Tentunya itu semua membutuhkan waktu yang panjang, namun melalui aksi nyata meskipun hanya langkah kecil, tentunya sangat berarti menuju perubahan yang lebih baik dan akan sampai pada waktunya.

Sumber: iimimandala.gurusiana.id

Tag : No Tag

Berita Terkait