Penulis: Erick Rahadian Ath Thaariq
3 Hari lalu, Dibaca : 87 kali
Oleh Erick Rahadian Ath Thaariq
(Kelas
XII MIPA 2 SMAN 2 Telukjambe Timur Karawang)
Kebijakan
penambahan kapasitas kelas menjadi maksimal 50 siswa yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah menuai perdebatan luas di kalangan
pendidik dan masyarakat. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis
Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah.
Dedi
Mulyadi mengeluarkan kebijakan ini sebagai respons terhadap tingginya angka
putus sekolah di Jawa Barat yang mencapai 616.080 anak, merupakan angka
tertinggi di Indonesia. Menurut KDM sendiri, kebijakan ini diterapkan untuk
mengakomodasi siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah namun terpaksa ditolak
karena keterbatasan kuota. KDM menyatakan bahwa salah satu penyebab utama anak
putus sekolah adalah biaya transportasi yang mahal ketika harus bersekolah jauh
dari rumah.
Kebijakan
ini hanya berlaku untuk jenjang SMA dan SMK negeri, karena proses pembelajaran
di tingkat ini lebih memungkinkan dibandingkan SD dan SMP karena perbedaan
interaksi belajar. KDM menyatakan kebijakan ini bersifat sementara hingga
Januari 2026 sambil menunggu pembangunan 736 ruang kelas baru dengan anggaran
sekitar “Rp 100 miliar”.
Namun
Gubernur daerah lain dan Pakar Pendidikan mengkritik tajam kebijakan ini karena
berpotensi menurunkan kualitas pembelajaran. Edi Subkhan dari Universitas
Negeri Semarang menyatakan bahwa dengan 50 siswa per kelas, guru akan kewalahan
dalam pengelolaan kelas, dan proses serta hasil belajar menjadi tidak optimal.
Model pembelajaran ceramah ataupun berbasis kerja kelompokakan menyita waktu
lebih lama karena guru harus berkeliling dari satu kelompok ke kelompok
lainnya.
Penelitian
menunjukkan bahwa jumlah ideal siswa per kelas untuk SMA/SMK adalah maksimal 36
orang sesuai Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016. Kebijakan 50 siswa per kelas
jelas bertentangan dengan standar nasional dan kemungkinan menyebabkan over
stimulasi pada siswa karena adanya distraksi suara, gerakan, dan interaksi yang
mengganggu, Kebijakan ini juga mengancam eksistensi sekolah swasta dan
pesantren. Data dari Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) Jawa Barat mencatat
bahwa sekitar 95% dari 3.858 sekolah menengah swasta belum mampu memenuhi 50%
kuota penerimaan siswa baru. Di beberapa daerah, sekolah swasta hanya menerima
7-32 siswa, bahkan ada yang hanya mendapat 6 pendaftar dan terancam tutup, diri
pribadi saya juga berpendapat “sebenarnya jika 1 kelas 50 kursi akan sangat
sesak karena over populated, padahal sebenarnya krisis ini bukan pada jumlah
kursi namun pada pendidikan yang tidak merata di semua kalangan, sebaiknya ada
sebuah evaluasi dari gubernur untuk mengubah kebijakan ini”.
Meskipun
banyak menuai kritik, beberapa pihak mendukung kebijakan ini. Asep Mulyana,
Kepala Sekolah SMAN 3 Purwakarta, menilai langkah ini sebagai solusi pragmatis
dan berani di tengah krisis angka putus sekolah. Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu
Hardian Irfani, menyatakan tidak mempersoalkan kebijakan ini asalkan ruang
kelas besar dan didukung sarana prasarana memadai. Dedi Mulyadi sendiri
mengatakan bahwa "Lebih baik bersekolah walaupun sederhana dibanding tidak
sekolah sama sekali,".
Tapi
Dalam praktiknya di lapangan, tidak semua kelas menampung 50 siswa. KDM
menyatakan hanya 384 kelas yang akan diisi hingga 50 siswa dari total 8.727
ruang kelas SMA/SMK negeri di Jawa Barat. Implementasi kebijakan ini
disesuaikan dengan kapasitas ruang kelas dan ketersediaan fasilitas pendukung.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan berbagai masalah. Di SMA Negeri 20
Bandung, ruang kelas seluas 52 m² yang menampung 42-43 siswa membuat kelas
semakin sempit, kursi dan meja saling berdempetan, serta pergerakan siswa dan
guru menjadi sangat terbatas, juga membuat Hawa menjadi panas
Kesimpulan
Kebijakan
50 siswa per kelas yang dikeluarkan KDM merupakan langkah kontroversial yang
menuai pro dan kontra. Meskipun bertujuan mulia untuk mencegah anak putus
sekolah, namun ini berpotensi mengorbankan kualitas pendidikan, kesehatan
siswa, dan eksistensi sekolah swasta. Menurut diri pribadi saya “Kebijakan ini
memerlukan evaluasi menyeluruh dengan mempertimbangkan aspek pedagogis,
psikologis, dan sosial, serta perlu diselaraskan dengan standar pendidikan
nasional untuk memastikan tentang solusi jangka pendek ini agar tidak
menimbulkan masalah jangka panjang yang lebih serius”.
Salam
Literasi
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back