Penulis: Sabda Pewaris Nusantara
7 Hari lalu, Dibaca : 77 kali
Karya Sabda Pewaris Nusantara
Kabut pagi
perlahan mengusap puncak Borobudur. Di kejauhan, Merapi berdiri anggun, seakan
menjaga warisan peradaban yang tak ternilai. Pada dinding-dinding candi, wajah
arca dan relief masih berbicara—diam namun penuh makna. Inilah saksi bisu
bagaimana batu, yang tampak keras dan dingin, bisa berubah menjadi doa, jiwa,
dan simbol kehidupan.
Tradisi memahat
batu di Nusantara sudah ada sejak masa megalitik, ketika nenek moyang
mendirikan menhir untuk menghormati arwah leluhur. Puncak pencapaiannya terjadi
di era Hindu-Buddha, ketika lahir Borobudur, Prambanan, dan ratusan candi
lainnya.
Di balik keagungan
itu, ada sosok silpin dan undagi—para empu pemahat dan arsitek spiritual.
Mereka bekerja bukan sekadar memahat bentuk, tetapi menghidupkan jiwa. Batu
dipilih dengan rasa, diiringi doa, lalu dipahat dengan penuh ketulusan. Setiap
goresan adalah mantra, setiap arca adalah roh yang diundang untuk hadir.
Bagi para pemahat,
batu bukan benda mati. Ia bagian dari semesta. Menjadi penghubung antara
manusia, alam, dan yang ilahi. Proses pemahatan bukan sekadar kerja teknis,
tetapi laku spiritual. Itulah mengapa setiap arca dan stupa terasa bernyawa,
menghadirkan energi harmoni yang melampaui zaman.
Seni pemahatan
arca bukan hanya untuk keindahan. Ia menjadi jalan spiritual, sarana
peribadatan, dan pendidikan moral. Lebih jauh, ia melahirkan komunitas,
menggerakkan ekonomi kerakyatan, memperkaya pariwisata, dan meneguhkan
identitas bangsa. Dari Tulungagung hingga Bali, dari Magelang hingga pelosok
desa, karya para pemahat masih menjadi denyut kehidupan.
Zaman boleh
berubah, tetapi tradisi ini tetap berdenyut. Di Magelang, Tulungagung, dan
Bali, keluarga pemahat masih meneruskan pengetahuan leluhur. Balai konservasi,
yayasan budaya, hingga akademisi ikut menjaga agar ilmu ini tidak hilang.
Bahkan generasi muda kini mulai menggabungkan teknik tradisi dengan inovasi,
menjadikannya lebih dekat dengan dunia modern.
“Arca Hidup” adalah Warisan Budaya Tak Benda bangsa kita. Ia bukan sekadar keterampilan tangan, tetapi nyanyian jiwa. Sebuah jejak peradaban yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Nusantara.
Dalam setiap
pahatan, kita diajak menyadari: budaya bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk
dijaga, dihidupkan, dan diwariskan. Dan di situlah letak Titik Terang—bahwa
kebanggaan pada jati diri bangsa akan selalu bersinar, selama kita mau menjaga
nyawa di balik batu.
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
SAU7ANA Come Back