Loading

MEMBACA KEMARAHAN PRESIDEN JOKOWI DI MASA PANDEMI COVID-19 DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI POLITIK


Penulis: Dr. H. Deden Ramdan MSi
4 Tahun lalu, Dibaca : 1557 kali


Dr. H. Deden Ramdan MSi

Oleh Dr. H. Deden Ramdan MSi

(Warek III Universitas Pasundan)

   

Kemarahan Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara banyak mengundang beragam spekulasi. Presiden Jokowi merasa berang lantaran beliau menilai kerja para menterinya dalam menangani kasus Covid-19 ini lamban, padahal saat ini situasi sedang krisis.

Menurut Jokowi, saat ini Indonesia sedang dalam suasana krisis lantaran pandemi Covid-19 ini memukul ekonomi masyarakat. Tenaga medis hingga masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) membutuhkan bantuan dengan segera. Namun dalam faktanya, Jokowi menilai para pembantunya lamban dalam mendistribusikan stimulus ekonomi terhadap masyarakat selama dalam masa pandemi.

Saat ini pengangguran menyentuh 12,7 juta orang dan kemungkinan akan terus bertambah. Sebelum rapat kabinet, pemerintah telah mempersiapkan dana untuk penanganan Covid-19 yang mencapai 695,20 triliun rupiah, namun dana ini belum disalurkan sesuai tujuannya. Misalnya saja dana untuk kesehatan yang dianggarkan Rp75 triliun baru cair sebesar 1,53 persen. Kemudian penyaluran bantuan sosial untuk rakyat serta stimulus ekonomi bagi dunia usaha juga belum optimal. Dengan nada tinggi, Presiden Jokowi kembali mengingatkan para Menteri bahwa mereka harus bekerja ekstra keras di masa krisis ini. Selain itu, beliau juga menyampaikan ancaman reshuffle bagi Menteri yang masih bekerja biasa-biasa saja.

Dari perspektif Komunikasi Politik, dipublikasikannya video yang merekam kemarahan Jokowi terhadap anggota kabinet merupakan strategi komunikasi politik. Jokowi juga ingin menekankan kinerja Menteri-menteri harus seirama dengan Presiden. Jokowi tidak ingin saat dirinya menerapkan kebijakan tertentu, menterinya malah melakukan hal yang berbeda. Hal ini juga bisa jadi merupakan strategi komunikasi ke dunia internasional yang tujuannya untuk menegaskan kepada dunia bahwa Indonesia serius dalam menangani pandemi Covid-19.

Dalam cuplikan pidato Jokowi memang suara yang condong dalam isi pidato tersebut adalah nuansa kritik terhadap menteri-menterinya. Selain itu di dalam pidatonya bahkan tidak segan Jokowi mengingatkan dengan isu reshuffle kabinet. Dengan kata lain ada dua makna dari peristiwa ini, yakni makna ke dalam dan ke luar (Gun Gun Heryanto, 2020 ). Makna ke dalam terhubung dengan cara Jokowi mengefektifkan kembali rentang kendali atas kinerja para menteri. Presiden tampak secara demonstratif ingin memastikan bahwa dirinya memiliki otoritas penuh dan berada di puncak hierarki birokrasi. Rentang kendali ini indikatornya terlihat dari beberapa kali Jokowi menyebutkan, jika diperlukan, dirinya akan mengeluarkan perppu dan peraturan lainnya.

Selain juga menyebutkan, beberapa evaluasi atas pos-pos kementerian yang dianggapnya belum optimal dalam menangani krisis covid-19. Jokowi menyebut Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, beberapa pos di Kementerian Perekonomian. Indikator lainnya tentu saja ancaman reshuffle yang menjadi hak prerogatif presiden.

Makna ke luar terhubung dengan persuasi ke publik terutama di tengah deraan pandemi. Konstruksi realitas simbolis yang disajikan terhubung dengan keseriusan Presiden dalam memastikan bahwa kabinetnya berkomitmen untuk membenahi kekurangan dengan mengevaluasi kinerja para menteri. Paling tidak, pesan itu diharapkan menjadi manajemen pengelolaan kesan (Impression Management) yang bisa menjembatani Jokowi dengan harapan publik yang tinggi akan hadirnya negara, dalam hal ini pemerintah, untuk mengatasi pandemi Covid-19.                                     

Presiden Jokowi sejak awal pidatonya secara tegas mengatakan bahwa kinerja kementerian-kementerian yang dimaksud Jokowi ada yang tidak memiliki progress yang baik, bahkan Jokowi menegur bahwa sepertinya ada menteri yang santai-santai saja dalam situasi genting karena Pandemi Covid-19 ini. Presiden Jokowi terus mengatakan bahwa sense of crisis-nya harus sama, para Menteri harus melakukan tindakan yang tidak biasa bahkan out the box karena situasinya memang menuntut Menteri ini untuk melakukan tindakan yang luar biasa (extra ordinary). Hal ini sesungguhnya menjadi kata kunci pertama bahwa isu perombakan kabinet bisa terjadi karena ada kementerian yang kinerjanya tidak baik di mata Jokowi.

Tentunya isu ini yang menjadi bahan perbincangan hangat oleh para politisi khususnya para partai pengusung pemerintah, ditambah lagi dalam cuplikan videonya sangat jelas Jokowi mengatakan tidak segan-segan untuk melakukan reshuffle kabinet. Untuk kali ini terlihat bahwa niat Jokowi merombak kabinet dengan tujuan perbaikan kinerja karena memang beban pemerintah karena dampak Covid-19 ini sangat banyak sekali. Rasa-rasanya minim sekali tudingan bahwa Pak Jokowi merombak kabinet untuk kepentingan Political Sharing (politik bagi-bagi) bagi para elite politik. Tetapi dalam pengambilan keputusan reshuffle kabinet Jokowi harus tetap hati-hati, apalagi jika nama menteri yang akan diganti adalah salah satu menteri elite partai politik, tentunya hal ini harus menjadi analisis skema sirkulasi elite.

Vilfredo Pareto dalam The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986) mengingatkan bahwa proses sirkulasi elite itu hubunganya respirokal dan bersifat saling ketergantungan. Maka dari itu dalam pengambilan keputusan ini khususnya menteri yang namanya berasal dari elite partai politik harus dihitung secara matang, jangan sampai dengan niat memperbaiki kinerja dan salah dalam mengambil keputusan maka bukan hal yang tidak mungkin dalam internal koalisi bisa terjadi keguncangan politik, terlebih salah satu nama menteri tersebut dari partai politik yang memiliki suara besar di dalam koalisi.

Memang Pandemi covid-19 ini banyak merugikan di berbagai aspek kehidupan manusia salah satunya adalah sektor politik yaitu citra kinerja pemerintah dalam menangani permasalahan ini. Lagi-lagi masyarakat tahunya bahwa icon pemerintah adalah presiden, di mana baik atau buruknya situasi negara tergantung oleh kinerja pemerintah dan presiden yang menguasai penuh kekuasan pemerintahan.

Efek Covid-19 tentunya mendapatkan efek buruk terhadap presiden yaitu tentang citra kinerja pemerintahannya. Tetapi di dalam pidato tersebut terbaca  bahwa makna tafsir politik pidato itu di antaranya presiden ingin mengatakan bahwa kesalahan pemerintah saat ini bukan hanya dikarenakan oleh presiden, tetapi juga karena kinerja menteri-menteri yang buruk. Tentunya ini akan menjadi sebuah pembelaan Jokowi atas kinerjanya yang mungkin dalam 3 bulan terakhir tidak baik di mata masyarakat.

Upaya penanggulangan wabah virus corona yang harus disorot justru adalah kepemimpinan Jokowi. Luapan amarah itu seolah ingin menunjukkan bahwa kegagalan penanganan pandemi covid-19 terjadi akibat kinerja bawahannya. Kemarahan yang disampaikan Jokowi itu diduga dilakukan dengan terencana. Apalagi rekaman video tersebut baru diunggah lebih dari satu pekan sejak kemarahan itu berlangsung. Kemarahan Jokowi yang akhirnya ditunjukkan ini tak cuma menjadi strategi untuk mengetahui respons publik namun juga mengetahui respons dari kawan maupun seteru politiknya. Sejak lama Jokowi telah memiliki strategi serupa terhadap sejumlah persoalan jajaran di bawahnya yang mencuat ke publik. Sebut saja polemik yang terjadi di Kabinet Kerja Jilid I antara Menko Perekonomian Sofyan Jalil dan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Jokowi berhasil melakukan lokalisasi masalah sehingga polemik yang muncul saat itu seolah bukan menjadi tanggung jawab Jokowi. Upaya ini pula yang dilakukan Jokowi dalam menghadapi penanganan covid-19.

Tetapi harus dipahami oleh para menteri bahwa taktik pemindahan tekanan ini sekaligus juga bermakna negatif, yaitu untuk menjadi semacam alat legitimasi politik bagi Presiden jika nanti Presiden harus melakukan reshuffle atau mengganti komposisi para anggota kabinet. Jokowi yang sudah menyiapkan skenario 'reshuffle' jika keadaan tidak berubah, sedang mengais dukungan publik agar keputusan politik yang akan diambilnya tentang reshuflle kabinet atau apa pun, bisa memiliki legitimasi. Karena legitimasi sangatlah penting bagi seorang pemimpin. Tanpa dukungan publik atau legitimasi, keputusan politik sang pemimpin bisa menjadi boomerang. Artinya ketika nanti ada reshuffle kabinet maka publik akan satu kubu dengan Jokowi atau mendukung langkah Jokowi tersebut, sekaligus melindungi Jokowi dari serangan partai politik atau kelompok kepentingan yang akan marah dan kecewa atas perombakan kabinet nanti meskipun seharusnya Pak Presiden konsisten dengan Menjawab Reshuffle itu untuk Apa bukan untuk Siapa.

Dalam psikologi politik, video berisi kemarahan Jokowi yang diunggah pihak istana adalah wacana politik dengan menggunakan Teori Jarum Hipodermik (Hypodhermic Needle Theory) yang mengasumsikan bahwa setiap pesan politik yang disampaikan kepada masyarakat akan berpengaruh  positif dan ini berarti bertujuan kekuasaan, karena bertujuan untuk memancing reaksi marah dari publik terhadap kinerja para personel kabinet yang kinerjanya tidak benar. Artinya ini menjadi semacam alat konsolidasi persepsi dan kepentingan dukungan politik kepada sang presiden, bukan sebuah wujud komunikasi biasa dengan tujuan transparansi kinerja pemerintahan.

Dengan sikap Presiden seperti itu publik yang melihatnya lalu setuju dengan kemarahan presiden akan memahami bahwa molornya Bansos, buruknya pembagian BLT, dan mandeknya dana-dana stimulus ekonomi, terutama untuk UKM dan usaha mikro juga stimulus bagi industri, dan lainnya adalah murni kesalahan para menteri, bukan kesalahan Presiden. Dengan kata lain, kemarahan presiden dan konten atau isi pesannya sengaja diunggah oleh pihak istana untuk menjadi wacana yang menciptakan relasi kekuasaan yang mendisiplinkan publik.

Dalam hal ini, video tersebut adalah alat kekuasaan untuk menciptakan wacana-wacana yang memberi efek kuasa yang menguntungkan citra Jokowi. Ketika wacana tentang masalah ini terus dipersepsi secara positif oleh publik, maka alat propaganda ini sukses memberi efek kuasa yang sukses mengendalikan publik, dan menguntungkan langkah politik Presiden ke depan namun advantage yang memperkuat posisi presiden ini seharusnya juga dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan & kemaslahatan rakyat yang hari-hari ini dibebani masalah yang luarbiasa sebagai dampak dari Pandemi Covid-19. Wallahu'Alam Bissawab. ***

Tag : No Tag

Berita Terkait