Prof. Dr. Drs. H. Endang Komara, M.Si
4 Tahun lalu, Dibaca : 2125 kali
Oleh ENDANG KOMARA Prof.,
Drs., Dr., M.Si
(Guru Besar LLDIKTI Wilayah IV Dpk Pada Magister PIPS STKIP Pasundan, Ketua KORPRI dan Ketua Paguyuban Profesor LLDIKTI Wilayah IV, Ketua Dewan Pakar ASPENSI dan Ketua Dewan Pakar DPP GNP TIPIKOR, Komunitas Cinta Indonesia/KACI #PASTI BISA#)
Puasa merupakan ibadah kedua setelah sholat dalam rukun Islam. Ibadah puasa yang dimaksud dalam hal ini adalah ibadah puasa Ramadan. Puasa tidak hanya di masa Rasululah Saw, namun juga telah ada sejak masa Nabi Musa As, meskipun tidak ada ketentuan pada kitab Taurat, Jabur dan Injil tentang peraturan akan waktu dan bilangan dalam berpuasa. Nabi Musa As pernah berpuasa selama 40 hari, sampai saat ini para kaum Yahudi tetap mengerjakan puasa meskipun tidak ada ketentuan, seperti puasa selama seminggu untuk mengenang kehancuran Jerusalem dan mengambilnya kembali, puasa hari kesepuluh pada bulan tujuh menurut perhitungan mereka dan berpuasa sampai malam (Hamka, 2015). Intinya dari berbagai puasa yang dikerjakan adalah mengacu kepada tujuan perbaikan diri dari kesalahan yang pernah diperbuat dan pencegahan diri agar tidak terjadi lagi kesalahan tersebut.
Kesalahan
di atas muncul disebabkan 2 (dua)
syahwat yang mempengaruhi kehidupan manusia, yakni syahwat faraj atau seks dan syahwat lapar. Apabila kedua syahwat
tersebut tidak terkendali maka akan terjadi kesalahan yang dilakukan oleh
manusia, yakni kerakusan dan kesombongan.
Menurut
Ibn Kasir, puasa adalah menahan diri dari
makan, minum, dan berjimak disertai niat yang ikhlas karena Allah Yang
Mahamulia dan Mahaagung karena puasa mengandung manfaat bagi kesucian,
kebersihan, dan kecermelangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak
yang rendah (Ar’Rifa’i: 2011). Oleh karena itu puasa meningkatkan penyembuhan
sifat rakus dan sombong manusia yang awalnya telah diobati dengan shalat
melalui ruku dan sujud agar manusia jujur tentang akan siapa dirinya dan tidak
melakukan kerusakan karena kerakusan dan kesombongan. Puasa juga dapat
mensucikan badan dan mempersempit gerak setan (Al-Mahalli: 2010:93). Pada
permulaan Islam, puasa dilakukan 3 (tiga) hari pada setiap bulan. Kemudian
pelaksanaan itu di-nasakh oleh puasa
bulan Ramadan. Dari Muadz, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa puasa ini senantiasa
disyariatkan sejak zaman nabi Nuh hinga Allah me-nasakh ketentuan itu dengan puasa Ramadan. Menurut tafsir Jalalain,
puasa dapat membendung syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi
maksiat. Buya Hamka (2015) menjelaskan puasa adalah upaya pengendalian diri
seorang hamba terhadap dua syahwat dirinya yaitu syahwat seks dan syahwat perut
yang bertujuan untuk mendidik iradat atau
kemauan dan dapat mengekang nafsu. Keberhasilan pengendalian diri tersebut akan
mengangkat tingkatnya sebagai manusia.
Pengendalian
diri merupakan kesabaran dalam menahan muatan kemauannya yang berlebihan,
karena sabar adalah bagian dari puasa. Pengendalian diri menuju kesabaran dalam
menahan diri dari muatan kemauan manusia yang berlebihan adalah dilandasi oleh
niat. Niat yaitu perbuatan yang
diniatkan karena Allah merupakan kajian pokok dalam membawa seorang yang
berpuasa pada maqam atau kedudukan bertakwa, karena dilandasi oleh
keimanan dan ia siap untuk diperintah oleh Allah yang Maharahman. Orang yang
beriman akan terlihat manakala ia siap menerima perintah dari Tuhannya tanpa
memandang berat atau ringannya perintah tersebut dan hal itu dinyatakan sebagai
wujud kepatuhan dan bukti keimanan. Niat juga merupakan penjelasan nyata kepada
seorang hamba untuk mampu berbuat tanpa ada rasa ragu dan takut, sebab niatnya
kepada Allah sebagai Tuhannya telah menghapuskan keraguan dan ketakutan
sehingga setiap perbuatannya hadir dengan kecintaan. Maksimal dan tidak
maksimal yang dilakukan tidak menjadi pikiran seorang hamba, sebab yang ia
lakukan adalah sebatas dengan usahanya dan kesadaran dirinya sebagai hamba yang
tidak luput dari lupa dan salah (Al
insanu mahalul khoto wan nisyan). Atas usahanya telah menjadikan dirinya
berbuat hanya dengan pikiran karena Allah swt, dan serta merta telah lahir rasa
kecintaan mendalam dirinya dengan Allah Swt. Perbuatannya berjalan lancar tanpa
keraguan dan ketakutan karena semua urusan telah dipulangkannya kepada Allah
yang Maharahman sebagai pencipta seluruh alam beserta isinya.
Muatan
hikmah di bulan Ramadan dalam ibadah puasa adalah bertujuan untuk memberikan
penyembuhan penyakit rakus dan sombong seorang hamba dengan secara maksimal.
Dua sifat di atas hadir dikarenakan volume kelupaan dan kesalahan manusia yang
membesar dan tidak terbendung. Oleh karena itu, himah dalam ibadah puasa di
bulan Ramadan ini mestinya mampu mendukung upaya pengobatan 2 (dua) sifat buruk
tersebut sehingga tradisi kelupaan dan kesalahan yang permanen tidak akan
bertahan dalam diri seorang hamba dan akan mendukung metode pengobatannya
melalui sholat dan gerakan ruku dan sujud.
Himah puasa Ramadan terhadap kesolehan sosial antara lain: Pertama, kejujuran. Kejujuran merupakan
suatu sifat yang menyadari akan siapa dirinya dan ia berbuat sesuai dengan apa
yang menjadi kodratnya, sehingga ia menyampaikan kata, perbuatan dan tindakan
sesuai dengan apa yang dinyatakan dari yang memberinya amanat. Kejujuran
akan megantarkan dirinya kepada kepercayaan
seseorang untuk memberikan amanah kepada karena ia memiliki sifat amanah yang
hadir dari kejujuran dirinya. Sebagaimana Rasulullah Saw pernah bersabda yang
artinya: bagimulah berlaku jujur, karena kejujuran akan mengantarkanmu kepada
kebaikan dan kebaikan akan membawakanmu kepada surga (kebahagiaan).
Hubungan
kejujuran dengan puasa ibadah Ramadan adalah puasa menyadarkan dirinya sebagai
seorang hamba bukan seorang yang berpredikat dunia, penguasa, pejabat dan
predikat dunia lainnya. Meskipun ia berpredikat dunia namun sejatinya ia tetap
menempatkan diri sebagai yang berpredikat hamba dan merupakan predikat
sejatinya. Dengan puasa yang
dilaksanakan di bulan Ramadan, di mana diturunkan Al-Qur’an (kumpulan kewahyuan
Allah Swt) telah mengingatkan dirinya bahwa yang menjadi predikat termulia dan
tertinggi serta tidak tertandingi di antara makhluk adalah predikat Tuhan,
yaitu Allah yang Maharahman tidak yang lainnya sama sekalipun. Hal di atas
terlihat dari bukti perbuatan saat seorang
hamba Allah Swt melakukan puasa Ramadan dan puasa lainnya saat ia berada
sendirian. Tentunya ia mampu melakukan penipuan dengan meminum setetes atau
seteguk dari minuman yang ia punya, namun ia mengakui bahwa Allah melihatnya
dan tentuanya ia telah melakukan penipuan pada dirinya sendiri karena ia telah
membatalkan puasanya meskipun tiada ada satupun manusia atau
seorang hamba yang menyaksikannya.
Oleh
karena itu, hakikat kejujuran adalah kesadaran seorang manusia bahwa dirinya
bukan siapa-siapa akan tetapi adalah sebagai seorang hamba. Apapun predikatnya
di dunia, maka ia tetap sebagai seorang hamba Allah sehingga perbuatan yang
dilakukannya adalah untuk mencari dan memperoleh keridhoan dan kecintaan Allah
Swt. Kedua, pengakuan kepemilikan
Allah Swt. Puasa Ramadan memberikan sentuhan yang halus dan lembut kepada setiap
hamba Allah Swt untuk menyadari bahwa langit dan bumi beserta isinya adalah
ciptaan Allah Swt dan otomatis adalah milik-Nya. Hal tersebut terbukti dalam
pelaksanaan puasa datang instruksi haram untuk minum dan makan (batal
puasanya), ia tidak dapat meminum dan memakan minuman dan makanan yang
dinyatakan dan dipersaksikan bahwa keduanya adalah miliknya. Kesadaran bahwa
harta yang dianggap adalah milik kita ternyata bukanlah milik kita dan hanya
titipan sementara selama di dunia.
Pendidikan
tersebut diwajibkan kepada kita setiap tahun sebagai teguran agar kita tidak
kembali dan larut dalam kelupaan dan melakukan kesalahan. Teguran tersebut
diteruskan oleh pecinta Allah dengan melakukannya puasa sunnat seperti enam
Syawal, Senin dan Kamis juga puasa sunnat lainnya. Kegiatan puasa sunnat
tersebut sebagai kekuatan perasaan yang besar antara seorang hamba dengan Allah
Swt sehingga hari-hari dan waktunya diingatkan oleh kesadaran diri bahwa segala
yang ada berupa harta dan fasilitas dunia lainnya adalah milik Allah Swt, bukan
miliknya dan hanya titipan Allah untuknya. Ketiga,
kesadaran akan kelemahan diri dan kuat dengan pertolongan Allah yang
Mahasuci. Dengan berpuasa telah menyadarkan seorang hamba bahwa ia merupakan
makhluk yang lemah. Apakah ia seorang pejabat besar, seorang penguasa yang berjaya
dan penguasa yang kaya raya bahkan seorang juara dalam beladirinya, maka ia
akan lemah saat setengah perjalanan berpuasa dan merasakan haus, lapar dan
serbuan godaan syahwat untuk ia terdorong dalam berbuka. Sesungguhnya, hal tersebut telah
menyadarkannya bahwa tidak ada celah baginya untuk menyatakan dirinya adalah
makhluk yang kuat tanpa pertolongan Allah Swt. Pertolongan tersebut datang saat
azan Maghrib berkumandang dan kesadaran seorang hamba akan meningkat bahwa disamping pengakuan
bahwa dirinya sebagai mahkluk yang lemah juga mengakui bahwa ia bisa menjadi
kuat dengan pertolongan dan izin Allah yang Maharahmah. Kesadaran tersebut akan
memberikan rasa kehati-hatian seorang hamba Allah Swt untuk berbuat di setiap
nafas kehidupannya, sehingga perbuatannya senantiasa mendatangkan rahmat
bagi alam semesta karena perbuatannya
dilandasi oleh akhlak yang mulia (shaleh). Keempat.
Amal Jariah, yakni sedekah yang diberikan dalam bentuk apapun namun memberi manfaat
yang Panjang tidak putus bagi orang lain, sehingga pahalanya pun akan terus
mengalir kepada orang yang melakukan
sedekah ini meski orang tersebut telah meninggal dunia. Pada bulan Ramadan saling berbagi makanan
kepada orang yang sedang berpuasa dan suka menolong orang lain. Hal tersebut
sesuai dengan Hadist Nabi Muhammad Saw, bahwa barang siapa yang memberi makan
orang berbuka puasa, ia akan mendapatkan
pahala seperti yang berpuasa (HR Turmudzi).
Mudah-mudahan
dengan Syaum Ramadan 1441 H bisa meningkatkan kesalehan ritual (habluminalloh), juga dituntut bisa
meningkatkan pula kesalehan sosial (habluminannas)
dengan cara memiliki rasa simpati dan empati terhadap lingkungan sekitarnya,
terutama masyarakat yang terkena dampak Pandemi Covid-19 *** Semoga ***.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalli,
Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Sayuti.
2010. Tafsir Jalalain. Terjemahan
Bahrun Abu Bakar, Jilid I. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ar’Rifa’I,
Muhammad Nasib. 2011. Ringkasan Tafsir
Ibnu Kasir. Terjemahan Budi Permadi, Jilid I. Jakarta: Gema Insani.
Hamka.2015.
Tafsir Al-Azhar, Jilid I. Jakarta:
Gema Insani
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer