Loading

Jejak Orang Belanda di Keraton Kasultanan Kasepuhan Cirebon


Penulis: Hafidz/Editor: Mbayak Ginting
2 Tahun lalu, Dibaca : 7655 kali


Alexander (kiri), Sultan Tadjoel Arifin Djamaluddin Aloeda Muhammad Syamsudin Radja Natadiningrat (tengah), Ratu Raja Wulung (kanan) (Foto : R. Besar)

CIREBON, Medikomonline.com – Konflik perebutan tahta Sultan di  Keraton Kasepuhan Cirebon sepeninggal Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat yang belum berakhir, memunculkan persoalan yang selama  bertahun-tahun tidak terungkap ke permukaan.

Namun sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi publik khususnya masyarakat Cirebon dan sekitarnya, yakni masalah babad peteng dan babad terang atau sejarah gelap  juga sejarah terang terkait polemik keturunan atau nasab juga  karut marutnya terkait  tatakelola Keraton Kasepuhan yang diduga sarat dengan penyelewangan anggaran termasuk dugaan hilangnya warisan leluhur Keraton Kasepuhan Cirebon berupa benda benda kuno bersejarah atau benda cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang.

Tentang  polemik perihal dugaan bahwa Sultan Kasepuhan yang bertahta saat ini keturunan Belanda berawal dari Sengketa penolakan yang dimulai sejak 1958 silam.

Saat itu, enam keturunan Sultan Sepuh XI menolak jabatan Sultan XII yang diserahkan kepada Alexander Radja Radjaningrat. Ada enam nama yang menggugat Alexander.  Dua diantaranya yakni Ratu Mas Sophie Djohariah dan Ratu Dolly Manawijah. Keduanya anak dari Sultan Sepuh XI saat menikahi Nji Mas Ruqiyah, yang wafat pada 1979. 

"Sekedar diketahui, Sultan Sepuh XI menikahi Nyi Mas Ruqiyah setelah istri pertamanya, yakni Raden Ayu Radjapamerat wafat pada tahun 1922," ujar narasumber ke Medikomonline.

Kliping Koran Suara Merdeka Tahun 1957.

Berdasarkan kliping koran Harian Suara Merdeka edisi Selasa, 9 Juli 1957 berjudul "Sultan Kasepuhan Kontra Keluarga Keraton" diungkapkan Alexander Radja Radjaningrat dilaporkan oleh keluarga keraton karena telah mengalihkan atau menyewakan tanah-tanah keraton sejak 1923. Dan itu diakui oleh Alexander Radja Radjaningrat.

Setelah berita itu terbit, menurut penuturan Shopie Djohariah, gugatan keperdataan kepada Alexander dimotori oleh Ratu Raja Wulung, yaitu dari orang tua Elang Mas Upi Supriadi yang menghasilkan keputusan baik tingkat pertama maupun tingkat kasasi di mana terdapat hal-hal prinsip yaitu dalil yang disampaikan Alexander bahwa saya berkedudukan sekarang Sultan Sepuh Kasepuhan Cirebon dengan harkat pangkat Sultan Sepuh Radja Radjaningrat Sultan Kasepuhan Cirebon sesuai lembaga asli adat istiadat tradisi Kesultanan Kasepuhan. Demikian saya Sultan Sepuh Radja Radjaningrat Sultan Kasepuhan hal dan hal berkuasa atas seluruh tanah Kesultanan Kasepuhan dan hal sesuatu isi Kesultanan Kasepuhan. Sesuai dengan adat lembaga adat istiadat tradisi Kesultanan Kasepuhan. 

Hal ini dikutip yang tertera dalam putusan Nomer : 82/1958/Pn.Tjn juncto Nomor 279/1963 PT.Pdt nomor 350 K/Sip/1964. Di mana dalam putusannya majelis mengesampingkan apa yang didalilkan oleh Alexander Radja Radjaningrat yaitu mengesampingkan forum previlegiatum yang diajukan oleh tergugat mengabulkan tuntutan penggugat.

Apa yang didalilkan oleh Alexander yang menyatakan dirinya sebagai Sultam Kasepuhan dengan harkat pangkat Sultan Sepuh Radja Radjaningrat Sultan Kasepuhan Cirebon sesuai dengan adat lembaga adat istiadat tradisi Kasultanan ditolak oleh majelis hakim atau dengan kata lain yang bersangkutan tidak diakui sebagai seorang Sultan sebagaimana yang disampaikan. Hal ini menurut Sophie telah melanggar Undang-Undang Mahkamah Republik Indonesia.

Pertimbangan majelis hakim sampai tingkat mahkamah agung pun sama. Mengingat pemahaman forum previlegiatum itu adalah hak seorang yang mendapatkan peradilan khusus di negeri ini sebagaimana terdapat dalam HR dan RBG terdapat perbedaan peradilan bagi bangsa pribumi dan non pribumi. 

"Kalau mengacu kepada keputusan-keputusan di atas, prosesi penobatan atau jumenengan tidak bisa asal-asalan, sebab keraton-keraton di Cirebon berbeda dengan keraton yang ada di Nusantara. Keraton di Cirebon mengacu pada Syariah Islam tidak menggunakan sistem Salic, yakni orang yang menjadi sultan tidak mesti putra pertama laki laki dari Raja. Itu sesuai penelusuran para sejarah dan perubahan terjadi pada masa Syech Syarif Hidayatullah menjadi Sultan  Cirebon pertama," tambah sumber tadi.


Snouck Hurgronje dan Nyai Sangkana. (Foto: Medikomonline)

Catatan terakhir berdasarkan data yang ada masuknya Alexander Radja Radjaningrat di Kesultanan Kasepuhan berawal kedatangan orientalis Belanda Snouck Hurgronje sebagai penasehat Hindia Belanda untuk mempermudah menguasai Indonesia yang pada waktu itu bernama Hindia Belanda.

Singkat cerita Mister Snouck yang dikenal santun, fasih berbahasa Arab, lancar membaca Al Qur'an serta sangat mengerti ajaran Islam yang diperoleh dari kedekatannya dengan Gubernur Ottoman di Kota Jeddah pada tahun 1884 itu, menikahi  wanita pribumi bernama  Nyai Sangkana . Ia  menurut sumber adalah putri dari   seorang penghulu besar asal Ciamis, Jawa Barat.

Dari pernikahan di atas, mereka memiliki empat anak yakni Ema, Umar, Siti Aminah dan Ibrahim. Menurut data yang diambil dari  presentasi dari sejarawan bernama Dr. Achmad Opan S. Hasyim, M.Hum berjudul "Menyibak Jejak Kelam Merengga Masa Depan" dalam bentuk power power point saat seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Nadhatul Ulama (ISNU) di masjid At-taqwa Kota Cirebon pada bulan Agustus 2020 silam, menyebutkan bahwa Pangeran Radja Alexander Goemelar Radja Radjaningrat itu ditukar dengan Ratu Hani semenjak bayi atas permintaan Raden Ajoe Goemiwah Radja Pamerat yang merupakan istri Sultan Sepuh XI. Sultan Sepuh XI Pangeran Aria Adipati Tadjoel Arifin Moch Syamsudin Raja Natadiningrat atau Pangeran Radja Djamaloedin Aloeda tidak memiliki putra lalki-laki.

Alexander kecil dirawat dan tinggal sampai beranjak dewasa hingga menjadi Sultan Sepuh XII atas desakan pemerintahan Hindia Belanda yang pada saat itu Jepang akan masuk melakukan agresi. Dalam konteks aturan adat istiadat keraton manapun jelas menjadi seorang Raja atau Sultan harus keturunan langsung dari leluhurnya bukan dari luar nasab termasuk anak angkat tidak memiliki hak menjadi Raja.atau Sultan.

Disebutkan keturunan Sultan Sepuh XI dari istri Ajoe Goemiwah Radja Pamerat memiliki 4 putri yakni:

1.Ratu Radja Ati Putriningrat ( Goenati)               

2.Ratu Radja Toeti Gartinah Woeloeng Ajoeningrat                  

3.Ratu Radja Kirana                

4. Ratu Radja Hani yang ditukar sewaktu masih bayi dengan Alexander.

Siti Aminah  salah satu anak dari pasangan Snouck Hugronje dan Nyai Sangkana menurut beberapa sumber dan catatan sejarah yang dimiliki  keluarga Keraton Kasepuhan konon tengah mengandung Alexander saat menikah dengan seorang pria yang masih misteri sosoknya. Sosok Alexander pun masih menjadi kontroversi terkait asal usulnya.

Menyikapi  kontroversi sejarah ini, salah seorang tokoh sejarah yang memiliki garis keturanan darah biru tersebut berharap agar sejarah peteng ini segera terungkap dengan cara-cara yang bermartabat sebab keraton bukan sekedar bangunan cagar budaya, melainkan juga seluruh pusaka, perangkat adat tradisi, nilai-nilai luhur dan kehormatan yang disandangnya dan itu butuh figur Sultan yang mumpuni.

"Harus diungkap dengan jelas sejarah babad peteng dan babad terang setidaknya diselesaikan dengan asas keadilan, musyawarah mufakat dan menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan yang berlaku sebab keraton sebagai warisan  leluhur pendiri Cirebon, bukan milik pribadi sultan, bukan pula milik keluarga dan keturunannya," kata narasumber yang enggan disebutkan namanya itu.

Anak-anak pasangan Snouck Hurgronje-Nyai Sangkana ( Foto: Medikomonline)

Sementara itu berbekal pengetahuannya tentang budaya Islam, mister Snouck Hurgronje tercatat menulis buku yang berjudul " De.Atjehers".

Menurut sumber, saat Sultan Sepuh XI wafat, calon satu-satunya seharusnya Pangeran Muhammad Sugiono, anak hasil pernikahan kedua setelah istrinya wafat dengan Ratu Roekiyah.

"Ratu Roekiah itu bukan selir sebagaimana yang dihembuskan oleh keluarga Arief Natadiningrat karena pernikahannya dilakukan kurang lebih 3 tahun setelah istri pertamanya wafat dan Alexander sendiri menikah dengan Nyai Mintarsih serta memiliki anak bernama Sultan Maulana Pakuningrat," ungkap  sumber tadi.

Raden Rahardjo Djali yang melakukan jumenengan atau penobatan  sebagai Sultan Kasepuhan sebagai Sultan Sepuh Aloeda II oleh keluarga besarnya pada 18 Agustus 2021 silam dinilai berbagai kalangan adalah tepat, termasuk langkahnya menempuh jalur hukum dengan menggugat  PRA Luqman Zulkaedin ke pengadilan.

Pasalnya itu merupakan bagian dari solusi karena selain harus menggunakan hukum adat, juga harus menyelesaikan sengketa melalui jalur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

"Kami selaku kuasa hukum Raden Rahardjo Djali atau Sultan Sepuh Aloeda II telah melayangkan gugatan ke PN Cirebon dengan nomer perkara 76/Pdt./G/2021/PN.Cbn  kepada PRA Luqman Zulkaedin yang saat ini menduduki tahta Sultan Kasepuhan," ujar Tjandra Widyanta SH kepada Medikomonline.

Tjandra yang merupakan Alumni Taplai Angkatan I Th 2021 Lemhannas RI tersebut menambahkan, pihaknya tetap mengedepankan aturan. Menurutnya, di Negara hukum segala persoalan sengketa harus didasarkan pada mekanisme hukum.

"Semua masalah atau sengketa  harus diselesaikan melalui atau aturan hukum yang berlaku, seperti klien kami Raden Rahardjo Djali diklaim sebagai pemegang amanah dan dinobatkan oleh keluarga besar Kasepuhan asli menjadi Sultan Kasepuhan dengan gelar Sultan Sepuh Aloeda II tetap menggunakan jalur hukum dalam menyelesaikan sengketa termasuk menggunakan hukum adat yang sudah berlaku  sejak ratusan tahun lalu," ujar Tjandra didampingi partnernya Elvis Kristian Suparna SH.

Tjandra Widyanta lebih dalam berharap agar marwah syiar Islam dan kewibawaan Keraton Kesultanan Kasepuhan Cirebon harus ditegakkan kembali dengan tindakan nyata melalui perjuangan proses hukum yang berlaku termasuk aturan adat bukan inkonstitusional.

Kembali terkait sejarah Alexander,   Pangeran Soegiono sendiri menyerahkan kembali ke Alexander karena kegiatan dan jabatan dan karirnya di Bank Indonesia tidak dapat ditinggalkan.  Pangeran Soegiono hanya pesan ke Alexander untuk tetap menjaga apa yang ditinggalkan para leluhur. Tapi malah diduga Alexander ini kebablasan.

Sejarah baik gelap atau terang  sejatinya harus diluruskan apalagi menyangkut Keraton yang merupakan aset bangsa untuk generasi mendatang. Kepada semua kalangan pun jangan mudah begitu saja percaya pada cerita sejarah tanpa memiliki data dan bukti yang konkret .

Keraton jangan dijadikan ajang kepentingan pribadi atau golongan dengan alasan apapun. Momentum konflik ini dapat dijadikan untuk membersihkan sejarah gelap yang selama ini bak api dalam sekam.

Pihak Keraton sendiri diharapkan harus transparan serta tidak egosentris.  Pasalnya, keraton itu bukan milik pribadi atau keluarga keraton saja, namun keraton adalah milik masyarakat yang memiliki nilai sejarah yang luhur serta merupakan aset bangsa sekaligus cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang.  

Generasi mendatang pun  dapat menghormati nilai-nilai sejarah leluhurnya yang banyak memiliki kearifan lokal untuk dapat dipelajari,  juga diharapkan tidak gagap memahami sejarahnya sendiri. Kejujuran mengungkap sejarah adalah bagian dari membuat sejarah itu sendiri untuk generasi anak cucu nanti.

Tag : No Tag

Berita Terkait