Penulis: Muslich Taman
3 Hari lalu, Dibaca : 95 kali
Oleh Muslich Taman, Humas SMAN I Rumpin & Penulis Buku: Guru Sang Arsitek Masa Depan
Tanggal
22 Oktober 1945 bukan sekadar angka dalam kalender sejarah. Ia adalah tonggak
penting perjuangan bangsa Indonesia. Saat para ulama dan santri ‘turun gunung’,
bukan dengan kata-kata, tetapi dengan nyawa. Pada hari itu, KH.Hasyim Asy’ari mengeluarkan
Resolusi Jihad, sebuah seruan suci untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari
ancaman kembalinya penjajah Belanda, yang membonceng sekutu.
Isi
Resolusi Jihad sangat tegas: bahwa membela tanah air dari penjajah adalah
fardhu ain bagi setiap muslim yang mampu. Seruan ini menjadi bahan bakar
spiritual dan moral pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang
kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Di balik kobaran senjata, Resolusi
Jihad menunjukkan bahwa agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Melainkan
saling menguatkan.
Namun
kini, 80 tahun telah berlalu sejak fatwa monumental itu diumumkan. Penjajah
bersenjata telah pergi, namun tantangan zaman justru semakin kompleks. Tidak
lagi dalam bentuk moncong senapan, melainkan dalam rupa kemalasan, kebodohan,
kemiskinan, perpecahan, permusuhan pada saudara, dan krisis moral. Maka,
pertanyaan yang relevan, “Apa bentuk Resolusi Jihad hari ini?”
Jihad
Intelektual: Menuntut Ilmu sebagai Ibadah.
Santri
hari ini tidak lagi dituntut mengangkat senjata. Tetapi mengangkat pena, membaca
buku, mengkaji kitab, berdiskusi, dan mengasah akal. Dalam dunia yang bergerak
cepat oleh teknologi dan informasi, jihad santri adalah jihad intelektual:
belajar dengan sungguh-sungguh, memperkaya wawasan, menggali ilmu pengetahuan, dari
siapa pun dan di mana pun. Tanpa merasa cukup dan tanpa mengenal lelah. Menuntut
ilmu bukan sekadar tugas pribadi, tetapi bagian dari pengabdian kepada agama
dan bangsa. Jangan pernah menyerah dalam mengejar cita-cita. Sebab, sebagaimana
pesan Imam Asy-Syafi’I, “Barangsiapa yang tidak tahan letihnya belajar, maka ia
akan menanggung perihnya kebodohan.”
Santri
masa kini harus menjadi pelita di tengah kegelapan zaman. Menguasai ilmu agama
sekaligus ilmu dunia, serta mengamalkannya dengan ikhlas demi kemaslahatan
umat. Inilah jihad: menghidupkan ilmu dan menebarkannya.
Jihad
Sosial: Merajut Persatuan dan Merawat Kebersamaan.
Jihad
juga tidak hanya soal individual, tetapi juga sosial. Santri mesti menjadi agen
perekat di tengah masyarakat, yang kerap tercerai-berai oleh perbedaan dan
kepentingan. Jihad sosial adalah membangun hubungan yang harmonis, menjadi
penghubung bukan pemutus, perekat bukan peretak, dan pemersatu bukan pemecah
belah.
Sebagaimana
para kiai dulu menjadi tokoh pemersatu dan pencerah, maka santri kini dituntut
menjadi pelopor kehidupan sosial yang penuh kasih sayang, saling menghargai,
dan saling menguatkan. Menjadi penjaga persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Generasi
muda mesti ingat pesan emas yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari: “Hubbul
Wathan Minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).” Pernyataan ini
bukan sekadar slogan, tetapi bentuk nyata bagaimana keislaman dan keindonesiaan
bersatu dalam jiwa. Mengalir bersama dalam urat nadi santri.
Jihad
Moral: Menjadi Benteng Akhlak Bangsa.
Di
tengah derasnya arus budaya asing yang cenderung membawa nilai-nilai yang
merusak, santri adalah benteng terakhir moral bangsa. Jihad moral berarti
menjaga akhlak, menjadi teladan dalam kejujuran, kesederhanaan, dan integritas.
Kasat
mata, betapa mudahnya generasi muda terseret dalam gaya hidup permisif,
kehilangan arah, dan menjauh dari nilai-nilai luhur. Di sinilah semangat santri
harus hadir. Bukan menghakimi, tetapi menuntun. Bukan menendang, tetapi
merangkul. Bukan mengejek, tetapi mengajak. Bukan hanya dengan dalil, tetapi juga
dengan keteladanan.
Imam
Al-Ghazali pernah berkata, “Rusaknya manusia, karena rusaknya ulama. Dan
rusaknya ulama, karena cinta dunia.” Santri, sebagai calon ulama, memikul
tanggung jawab besar untuk menjaga integritas moral, menjauh dari cinta dunia
yang membutakan, dan terus menerangi jalan umat.
Jihad:
Bukan Hanya Perang, Tetapi Perjuangan Sehari-hari.
Momentum
Hari Santri 2025 ini harus menjadi ruang refleksi. Bahwa jihad bukan melulu
tentang perang fisik. Jihad adalah perjuangan tanpa henti untuk menata
kehidupan —secara intelektual, sosial, dan moral. Jihad hari ini adalah
membentuk peradaban yang berkeadilan, berilmu, dan berakhlak.
Resolusi
Jihad 22 Oktober 1945 adalah warisan agung yang tak boleh lapuk dan mati dalam
buku sejarah. Ia harus terus hidup, dinamis, menjelma dalam perilaku santri dan
para penuntut ilmu. Di ruang kelas, di tengah masyarakat, di panggung-panggung
keilmuan dan kebudayaan.
Mari
kita warisi semangat itu, dengan menyadari bahwa tanah air ini memanggil bukan
untuk dipertahankan dengan peluru, tetapi dengan ilmu, cinta, dan keteladanan. Santri
dan para penuntut ilmu harus menulis sejarah baru. Sejarah yang tak lagi
ditorehkan dengan darah, tetapi dengan gagasan, kerja nyata, dan akhlak mulia.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Jika kamu bukan anak raja, juga bukan anak ulama
besar, maka jadilah penulis,” tegasnya.
Selamat
Hari Santri 2025. Santri Siaga Jiwa Raga, Merawat Indonesia, Membangun
Peradaban Dunia!
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Indramayu Diguncang Gempa Magnitudo 4.4, Kedalaman 280 Kilometer
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back