Penulis: Sabda Pewaris Nusantara
6 Hari lalu, Dibaca : 121 kali
Oleh Sabda Pewaris Nusantara
Nusantara, sejak
dahulu kala, telah menjadi pusat peradaban adidaya kebudayaan yang sangat
diperhitungkan di mata dunia. Letaknya yang strategis di antara belahan bumi
utara dan selatan menjadikannya incaran berbagai bangsa karena kekayaan sumber
daya energi, hayati, dan rempah-rempahnya yang tiada duanya. Tak hanya itu,
keindahan alam dan keunggulan karya seni serta budaya adi luhung Nusantara
menjadikannya magnet bagi peradaban dunia.
Masyarakat
Nusantara dikenal ramah, menjunjung tinggi gotong royong, dan memiliki tradisi
saling menyapa yang hidup dalam interaksi sosial antarkerajaan. Meski hubungan
eksternal cenderung harmonis, dinamika kekuasaan di internal kerajaan kerap
menimbulkan perebutan tahta yang menguras energi bangsa sendiri.
Namun, sejarah mencatat,
kekayaan Nusantara itulah yang kemudian menjadi alasan utama datangnya
bangsa-bangsa asing—Portugis, Spanyol, Belanda (VOC dan Batavia), Inggris
(EIC), Prancis, hingga Jepang. Mereka datang sebagai pedagang, lalu menjelma
menjadi penjajah melalui strategi politik pecah belah. Satu per satu kerajaan
di Nusantara tumbang.
Perang demi perang
pun terjadi. Namun bukan hanya wilayah dan kekuasaan yang lenyap—kekayaan
budaya dan pengetahuan luhur pun turut tergerus. Seni, sistem kepercayaan,
hingga nilai-nilai adi luhung yang hidup dalam karya dan ritual kebudayaan
perlahan sirna. Harta budaya dirampas; manuskrip dilenyapkan; sistem pendidikan
diganti dengan pola pikir kolonial, materialistis, dan liberal.
Akibatnya,
generasi demi generasi tercerabut dari akar jati dirinya. Fenomena yang dahulu
hanya terjadi pada suku-suku pribumi di benua Amerika dan Australia, kini mulai
dirasakan oleh anak bangsa sendiri. Generasi muda perlahan lupa akan sejarah
dan warisan leluhurnya.
Lebih dari itu,
potensi unggulan bangsa seperti bahan baku mineral dan kekayaan hayati belum
sepenuhnya dimanfaatkan karena lemahnya dukungan terhadap pendidikan dan riset
berbasis budaya. Kekuatan utama bangsa, yakni integrasi ilmu, iman, dan ikhsan,
kian melemah. Akal sehat yang seharusnya menjadi cahaya peradaban justru
menguap, digantikan keberanian semu dan penderitaan dalam kemerdekaan yang tak
sepenuhnya merdeka.
Namun, di tengah
kegelapan itu, muncul secercah harapan. Sejak diimplementasikannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, serta berdirinya
Kementerian Kebudayaan, arah kebijakan bangsa mulai menemukan titik cahayanya.
Inilah "TITIK TERANG" yang menjadi fondasi lahirnya Nusantara
baru—Indonesia Maju yang berlandaskan Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal
Ika.
Perjalanan masih
panjang. Namun kesadaran kolektif ini adalah awal bagi kebangkitan peradaban.
Saatnya bangsa ini menyalakan kembali lentera yang sempat padam, dan
mengobarkan cahaya baru menuju generasi emas.
(Bersambung...)
Tag : No Tag
Berita Terkait
Rehat
Tajuk
Memahami Pemikiran Jenderal Dudung Abdurachman
PERLUNYA MENGUBAH CARA PANDANG PEDAGANG DI LOKASI WISAT...
Berita Populer
Arief Putra Musisi Anyar Indonesia
Ketua Umum GRIB H Hercules Rozario Marshal, Saya Bagian Dari Masyarakat Indramayu
Project Fly High Terinspirasi dari Pengalaman Hidup Dr Joe dan Tamak
Dari Kegiatan Aksi Sosial, Hercules Kukuhkan Ketua DPC GRIB JAYA Se-Jawa Barat
Chief Mate Syaiful Rohmaan
SAU7ANA
GMBI Kawal Kasus Dugaan Penipuan PT. Rifan Financindo Berjangka di PN Bandung
Ivan Lahardika Arranger dan Komposer Indonesia
SAU7ANA Come Back
Mika Andrian Artis & Executive Producer