Loading

Kapankah


Penulis : Heru Pramono (Wartawan Medikomonline.com Ciamis)
8 Bulan lalu, Dibaca : 441 kali


Penulis : Heru Pramono (Wartawan Medikomonline.com Ciamis)

Penulis : Heru Pramono (Wartawan Medikomonline.com Ciamis)

Genta pesta demokrasi di negri tercinta ini merupakan resonansi yang gaungnya masih terasa. Tersisa inti sari suara nyata yang sedang di tunggu-tunggu bangsa Indonesia. 

Berharap KPU selaku panglima tertinggi mampu kapan menghentikan terompet demokrasi sehingga pesta demokrasi benar-benar usai dengan siraman tirta nirmala yang melapangkan dada semua anak bangsa. 

Sebab masih banyak agenda negara ke depan yang masih dan harus di rampungkannya demi menuju Indonesia Raya di tanah Nusantara tercinta.

Jika Indonesia ada karena ragam budayanya ( upacara, pakaian, rumah adat tradisional, alat musik tradisional, tarian adat tradisional, senjata tradisional, lagu daerah, makanan khas dll). Maka ini artinya ada nuansa kuat kemanunggalan dalam kesetaraan yang terikat kuat oleh sabuk khatulistiwa.

Sekiranya anak bangsa mampu merangkum kekayaan alam dan mengelola sebaik mungkin (Emas, Tembaga. Batu Bara, Minyak Bumi, Bauksit, Timah, Nikel, Pasir Besi, Mineral non logam dan Mineral Industri). Belum juga kekayaan yang ada di dasar lautan yang tak akan habis di kuras tanpa batas, sungguh Indonesia adalah negara kaya raya.

Sekelumit informasi di atas mampu menggugah rasa nasionalis anak bangsa ini. Maka tentu jiwa-jiwa penuh kesadaran dan meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan segelintir elit saja. 

Kedewasaan dalam berpolitik akan mampu mendudukkan konsep politik secara proporsional, apakah itu konsep politik klasik, konsep politik kelembagaan, konsep politik kekuasaan, konsep politik fungsionalisme, bahkan konsep politik konflik.

Saat ini umur Indonesia menuju 79 tahun, sekiranya merunut kesamaan dalam keragaman budaya maka ada fase-fase besar kedigdayaan negara atau kerajaan yang ada di Nusantara ini. 

Mulai dari fase Kerajaan Kutai dan kerajaan Tarumanegara di abad 4, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mataram Kuno dan kerajaan Majapahit di abad 8. Belum lagi ribuan kerajaan lainnya yang ada di negeri ini. 

Maka mestinya ini menjadi bukti bahwa kita selaku anak bangsa harus mampu dan dewasa di dalam berpolitik dan hanya dengan bekal wawasan nusantara, maka kemampuan politik kita akan setara dengan kenegarawan kita.

Mustahil tanpa wawasan nusantara yang memadai, kita akan bisa tampil memimpin negri hanya mengandalkan sugih bondo (kaya harta benda) sugih kanca (kaya teman). 

Kita kesatria bangsa harus memiliki jati diri, sebagaimana filosofi Jawa yang di pegang teguh oleh bapak Joko Widodo selaku Presiden saat ini. Beliau dengan santun, tegas penuh keyakinan tulus menyampaikan pesan sakral bahwa "lamun sira sekti, ojo mateni" sekiranya kamu sakti, jangan sekali-kali menjatuhkan ; "lamun siro banter, ojo ndhisiki" sekiranya kamu cepat, jangan selalu mendahului ; "lamun sira pinter ojo minteri" Meskipun kamu pintar, jangan sok pintar.

Konsep luhur dari leluhur bangsa Indonesia sebagaimana yang di sampaikan bapak Jokowi di atas bukanlah retorika diplomasi basa basi. Namun beliau telah memberi dan membuktikan diri di negri tercinta ini.

Namun sayangnya, kadang ada sebagian kecil anak bangsa yang terkadang belum mampu mematutkan diri sebagai manusia yang bersyukur. 

Mereka berkiblat politik adalah panglima tertinggi dan menaruh adab dan moral di dalam almari pandora. Wahyu langit di posisikan sebagai katalisator ego-ma, bukan sebagai acuan dasar a-gama. Maka berlarut larut lah kemelut pesta demokrasi ini dan berisiknya kaleng-kaleng suara di tabuh oleh kera-kera massa.

Sementara di sudut dusun nan asri, para petani kembali menanam padi. Para nelayan sibuk menjala ikan. Para buruh riang memikul beban kehidupan. Semua demi menghentikan omelan sang istri. Semua demi menghentikan tangisan si upik.

Apapun yang terjadi, ya sudahlah. Sebab aku hanyalah selembar kapas yang ringan dan mudah tertiup angin. 

Diriku remah serapuh krupuk yang akan hancur di guyur setetes air. Namun diriku selalu hamba Tuhan dan anak negeri, setidaknya selalu berdoa kepada Gusti Allahku, semoga Allah memberikan aku negeri yang gemah ripah loh jinawi dengan mengetrapkan tata tentrem kerta raharjo dimana semua anak bangsa bisa legowo dan bersikap asah asih asuh marang sak pada pada dan berani mensenandungkan kidung "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mbangun Karsa, Tut Wuri Handayani". Dengan semangat "rawe rawe rantas, malang-malang putung" dan juga semangat kerja secara bahu membahu dengan corsa "holopis kuntul baris". 

Quo vadis? Tan Anom Kawasen

Tag : No Tag

Berita Terkait